Opini

Impor Cabe Membunuh Petani di Kala Pandemi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Watini Aatifah

“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu akan menjadi miliknya.”

(HR, Tirmidzi,Abu Daud)

Wacana-edukasi.com — Beberapa wilayah di Indonesia saat ini musim panen cabai, musim panen adalah waktu yang dinanti-nanti para petani, sayangnya musim panen kali ini menyakiti hati petani. Kebijakan pemerintah lebih pedas dari cabai yang ditanam oleh petani. Harga cabai anjlok di saat musim panen tiba. Ada apa?

Dikutip dari suatu media, Anggota Komisi IX DPR RI Slamet mengatakan, harga impor cabai yang anjlok di pasaran menandakan adanya masalah serius dari pemerintah. Pemerintah harus hadir melindingi petani Indonesia. Jangan hanya berpikir impor terus, sementara nasib petani kita semakin sengsara.

Slamet menyatakan Impor cabai di semester 1 2021 sebesar 27,851 ton. Naik 54 persen dibanding tahun 2020 sebesar 18.075 ton. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan realisasi impor pada Semester 1-2020 yang hanya sebanyak 18.075,16 ton dengan nilai U$34,38 juta. Cabai yang diimpor pemerintah pada umumnya adalah cabai merah, termasuk juga cabai rawit merah.

Selain itu, baru-baru ini juga beredar video yang memperlihatkan seorang petani mengamuk dan merusak kebun cabai miliknya. Kemarahannya ini diduga kesal dan melampiaskannya dengan cara menginjak-injak tanaman cabai dikebunnya. (rctiplus)

Bagaimana tidak kecewa, hasil panen yang diharapkan para petani cabai yang seharusnya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari nyatanya harus dijual murah karena bersaing dengan harga cabai hasil impor, untuk membeli pupuknya saja mungkin tak cukup apalagi untuk membeli kebutuhan yang lainnya. Belum lagi benih cabai dan obat-obatan penyubur tanaman agar hasil panen maksimal, ditambah tenaga dan waktu yang diberikan para petani untuk mengurus tanamannya, ini semua tidak sebanding dengan harga jual, Sungguh pedas kebijakan penguasa di saat pandemi seperti ini, dimana seharusnya penguasa bisa menopang dan membantu memenuhi kebutuhan rakyatnya, memaksimalkan hasil panen petani agar bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari malah mencekik dengan mengimpor cabai dari luar negeri, sehingga memutus roda perekonomian masyarakat, hal Ini sangat melukai hati rakyat.

Namun beberapa petani yang tak putus asa, mereka membagi-bagikannya secara gratis karena harga anjlok hingga Rp5.000 per kg nya, Saya sebagai ibu rumah tangga mencoba memanfaatkan cabai murah tersebut, membeli beberapa kg untuk dikeringkan, dengan alasan agar bisa disimpan lebih lama dan mengurangi beban para petani cabai karena tidak laku. Namun hal tersebut tidak cukup mengobati sakit hati petani cabai. Harus ada dukungan dari penguasa agar petani bisa makmur, harus ada kerja sama antara penguasa dengan petani untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Karena kebijakan penguasa sangat berpengaruh atas kemakmuran petani-petani di negeri ini.

Dalam salah satu media seorang peneliti pusat Study Ekonomi kerakyatan Yogyakarta, Hempri Suyatna menyayangkan kebijakan adanya impor cabai yang dilakukan pemerintah Indonesia pada saat pandemi. Negara sebenarnya bisa memfasilitasi pengembangan industri industry olahan cabai dan juga membangun sistem atau teknologi penyimpanan cabai agar tahan lama tapi tidak pernah dilakukan.

Hempri kemudian menambahkan problem utama pemerintah yakni tidak pernah serius membangun kedaulatan pangan di negara sendiri. Mereka sibuk mengisi kantong sendiri untuk mengembalikan modal politik dan mempertahankan kekuasaan dan melayani para investor asing hingga lupa dengan kewajiban mereka sebagai pelayan rakyat, hingga masyarakat terlantar dan tak terurus.
Penguasa di negeri ini menganut sistem demokrasi kapitalisme, sistem ini membuat produktifitas di negeri ini justru sangat tergantung pada korporasi bahkan impor pangan. Hal ini berimplikasi pada hilangnya kendali negara atas penyediaan cadangan pangan padahal Indonesia dianugrahi kekayaan sumber daya alam yang luas dan subur namun tidak dimanfaatkan secara maksimal, Hal ini menyebabkan harapan mandiri pangan tidak terealisasikan.

Berbeda dengan pandangan Islam. Islam memiliki konsep jelas dalam pengelolaan pangan, yaitu visi mewujudkan kemandirian pangan dan jaminan pasokan pangan. Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara, maka negara akan melakukan beragam upaya untuk merealisasikannya, seperti peningkatan produktifitas lahan dan pertanian. Hal ini bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah-tanah mati, dalam islam tanah mati adalah tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja, baik dengan memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkan atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menanaminya.

Rasulullah SAW bersabda;
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu akan menjadi miliknya.” (HR, Tirmidzi,Abu Daud)

Bila terdapat tanah yang diterlantarkan selama tiga tahun, maka hak kepemilikan tanah itu akan hilang, negara mengambil alih dan mendistribusikan kepada rakyat yang mampu mengelolanya, dengan begitu tak ada istilah lahan kosong dibiarkan tanpa pemanfaatan untuk kemaslahatan rakyat, untuk meningkatkan produksi pertanian harus melakukan intensifikasi pertanian yaitu mengoptimalisasi lahan dengan pertanian bisa dengan peningkatan kualitas benih dan penggunaan obat-obatan pemanfaatan teknologi dan menyebarkan teknik-teknik di kalangan petani, membantu pengadaan benih serta budidayanya. Hal ini berbanding terbalik dengan sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. maka dari itu hanya sistem Islamlah yang mampu dan sudah terbukti menyejahterakan masyarakat.

Walahualam bisowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 3

Comment here