Oleh: Ratni Kartini, S.Si. (Pemerhati Kebijakan Publik)
wacana-edukasi.com– Sepanjang tahun 2021, produk impor pangan membanjiri negeri ini. Tanpa bisa dicegah, pangan impor tumpah ruah. Padahal di dalam negeri, panen raya beberapa produk sedang dinanti. Namun sayangnya pembuat kebijakan tidak mau peduli. Seolah-olah menutup mata dari kondisi stok pangan yang masih ada.
Tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sejak Januari-Juni 2021 atau sepanjang Semester I-2021, Indonesia telah melakukan impor pangan hingga US$ 6,13 miliar atau setara dengan Rp 88,21 triliun. Indonesia mengimpor komoditas pangan yang beragam. Komoditas pangan tersebut terdiri dari berbagai jenis daging, susu, kopi, teh, cabai, bawang putih, lada, kedelai. Serta jagung, gandum, tepung gandum, minyak goreng, mentega, kentang, kelapa, kelapa sawit. Hingga berbagai jenis rempah-rempah juga diimpor oleh Indonesia, seperti cengkeh, kakao, tembakau, dan ubi kayu (Www.cncbindonesia.com, 13/08/2021).
Adanya barang impor yang membanjiri tanah air tentu saja membawa dampak terhadap produk lokal. Kondisi tersebut membuat khawatir para pelaku usaha dalam negeri. Mereka mengeluhkan barangnya harus tersaingi oleh produk-produk impor. Harga produk impor relatif lebih murah dengan produk lokal walaupun dengan kualitas yang sama. Akhirnya produk-produk lokal tersingkir.
Lalu mengapa negara kita tiap tahun tetap melakukan impor pangan? Langkah apa yang harus ditempuh oleh negara supaya kemandirian pangan terwujud?
Impor, Solusi Praktis ala Kapitalis
Alasan yang sering dijadikan pembenaran pemerintah untuk melakukan impor salah satunya adalah bahwa kebutuhan pangan nasional terus meningkat tapi produksi pangan tidak bisa memenuhinya. Hal ini dikarenakan tingginya ancaman dari alam terhadap tanaman-tanaman pertanian yang ditanam para petani di Indonesia. Seperti serangan hama, serangan organisme penyakit tanaman dan perubahan iklim.
Berkurangnya jumlah lahan pertanian akibat adanya peralihan fungsi lahan juga menjadi penyebab produksi pangan di dalam negeri berkurang. Lahan yang semula untuk pertanian menjadi untuk sektor usaha dan pemukiman. Selain itu kurang berpihaknya kebijakan pemerintah terhadap langkah-langkah pengembangan sektor pertanian. Terutama dalam hal penerapan teknologi baru di sektor pertanian seperti rekayasa genetik bibit pangan. Oleh karenanya membuat negara kita kian sulit memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
Ditambah lagi adanya Perpres No.58 Tahun 2020 yang memuluskan kebijakan impor. Dalam perpres tersebut, pemerintah menetapkan penataan dan penyederhanaan izin impor barang dan bahan baku untuk pencegahan atau penanganan bencana. Selain itu, penataan dan penyederhanaan izin impor guna pemenuhan kebutuhan lainnya yang ditetapkan pemerintah (Www.katadata.co.id, 23/4/2020).
Jika saja penguasa kita ada kemauan (political will) untuk keluar dari zona nyaman (dengan kebijakan impornya) dan lebih fokus mengupayakan agar negara memiliki kemandirian pangan, tentu saja Indonesia akan mampu. Hanya saja akibat penerapan ekonomi kapitalisme, akhirnya pemerintah terjebak dengan solusi praktis ala kapitalis yaitu kebijakan impor untuk mengatasi kesediaan pangan.
Solusi Islam dalam Ketahanan Pangan
Islam memiliki konsep jelas dalam pengelolaan pangan. Islam memandang bahwa pangan adalah salah satu kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi negara. Oleh karena itu negara harus mewujudkan kemandirian pangan. Untuk merealisasikannya, negara melakukan peningkatan produktivitas lahan dan produksi pertanian melalui ekstensifikasi pertanian. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menghidupkan tanah-tanah mati. Tanah mati yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja dengan cara memagarinya dengan maksud untuk ditanami. Maka tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu.
Selain itu Islam mendorong kebijakan intensifikasi pertanian. Yakni optimalisasi lahan pertanian dengan meningkatkan hasil pertanian. Caranya melalui peningkatan kualitas benih, pemanfaatan teknologi pertanian, hingga membekali para petani dengan ilmu yang mumpuni. Tentu saja semua itu diiringi dengan adanya dukungan dan fasilitas dari negara.
Untuk menjamin adanya pasokan pangan, negara menetapkan mekanisme pasar yang sehat. Selain itu negara melarang penimbunan, penipuan, praktik ribawi, dan monopoli. Kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan penawaran dan permintaan, bukan dengan kebijakan pematokan harga.
Terkait dengan impor pangan, maka Islam memandang hal ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri. Perdagangan luar negeri ini tidak dilihat dari aspek barang yang diperdagangkan, tetapi dilihat dari orang yang melakukan perdagangan. Bisa saja impor dilakukan kepada negara-negara yang diperbolehkan untuk menjalin kerja sama (negara muahid), tapi tidak bisa mengimpor dari negara kafir harbi fi’lan. Dalam Islam impor ini pun tentu saja dilakukan dengan mengutamakan kemaslahatan rakyat, bukan profit oriented sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Wallahu a’lam bisshowwab
Views: 17
Comment here