Oleh: Kiki Zaskia, S. Pd (Aktivis Perempuan Sulawesi Tenggara)
wacana-edukasi.com, OPINI– Kekerasan seksual kian marak. Baik dilembaga formal (pendidikan) maupun non formal (keluarga). Pada tahun 2022 Kementerian PPPA menyebutkan, kekerasan seksual terhadap anak 9.588 kasus. Tahun sebelumnya, 4.162 kasus. Adapun, FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia), menyampaikan siaran persnya, bahwa setiap pekan terjadi 1 kasus kekerasan seksual pada anak di satuan Pendidikan, dalam 5 bulan korban capai 202 anak. Selama rentang Januari-Mei 2023. Baik sekolah dibawah Kemendikbud maupun Kemenag RI, berdasarkan pendataan dimedia massa. Disisi lain, mirisnya anak usia belasan tahun terlibat prostitusi dengan open BO seharga 5 juta, bahkan 500 ribu.
Sikap Pemerintah
Menyikapi kondisi ini pemerintah mengeluarkan regulasi teranyarnya dengan UU TPKS pada 9 Mei 2022 No. 12/2022. Kemudian, mengeluarkan Permenag No. 73/2022 tentang PPKS pada satuan pendidikan di bawah kemenag. Ditambah lagi dengan pendirian Pusat Penguatan karakter (PUSPEKA) mengeluarkan berbagai modul pembelajaran PPKS. Hingga, hukum Kebiri.
Solusi Tumpang Tindih
Pemerintah menklaim bahwa langkah-langkah tersebut efektif dalam mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual. Buktinya, dengan banyaknya pelaku/terdakwa yang dimejahijaukan. Namun, pada kenyataannya kasus kekerasan seksual terus bermunculan. Sedangkan kasus-kasus sebelumnya belum tuntas.
Sebab, dalam menuntaskan satu permasalahan pemerintah selalu menggunakan-pembacaan-atau teknis-teknis sektoral. Artinya, tidak menganggap bahwa kasus kekerasan seksual itu berkelindan dengan pengaturan masyarakat yang lain, seperti HAM (Hak Asasi Manusia). Jadi, dalam produk hukum, UU TPKS misalnya yang menghendaki “Sexsual Consent”. Tatkala suatu perbuatan tidak bisa dikatakan asusila selama adanya ungkapan menyetujui atau suka-sama suka dalam berhubungan seksual. Bahkan, jika tidak adanya pengaduan dari tetangga, keluarga, bahkan ayah-ibunya jika ada seorang anak misalnya yang bermaksiat atau aborsi, selama pelaku tidak merasa dirugikan itu tidak dijatuhi sanksi.
Disisi lain, pada sektor media massa dalam pengaturan pornoaksi dan pornografi masih abu-abu. Konten pornografi masih banyak berseliweran karena dianggap sebagai produktifitas seni. Seperti sinetron-sinetron percintaan remaja yang kian menjamur. Sebut saja, film dua garis biru yang mengangkat hubungan diluar pernikahan remaja. Lebih ngeri lagi, film LGBT, Sianida. Film-film tersebut tayang tanpa sensor, tersebar luas dimedsos dan tentunya amat mudah untuk diakses pada semua kalangan usia.
Sekularisme Biang Kerok Kekerasan Seksual Pada Anak
Pada dasarnya tidak terlepas dari konstelasi politik global. Human Right atau HAM hingga kesetaraan gender. Dalam paham global menjadikan hak asasi manusia sebagai landasan bertingkah-laku. Semua orang berhak atas apa yang dikehendaki tanpa membutuhkan aturan dari manapun dan siapapun. Adapun, ketidaksetaraan gender juga dianggap menjadi pemicu kekerasan seksual. Sebab, perempuan atau anak perempuan dianggap lemah dan berada dikelas bawah. Sehingga, kini perempuan diaruskan untuk berada pada jabatan tinggi diranah publik; parlemen, pangsa pasar. Menganggap kesetaraan gender dianggap sebagai solusi.
Padahal, apabila diinsafi pada negara dengan indeks kesetaraan gender yang paling tinggi seperi Scandinavia, nyatanya masih saja marak kekerasan seksual pada anak yaitu insex. Tentu ini semakin menggambarkan secara jelas bahwa pemerintah gagal membaca akar masalah kasus kekerasan seksual. Bahkan, semakin membuat keruh keadaan dengan menjadikan perempuan sebagai komoditas; perempuan menjadi bintang iklan misalnya dalam iklan mobil dan rokok. Tentu, itu semua pada dasarnya tidak ada kaitannya dengan keberadaan perempuan dan justru mengeksploitasi perempuan yang juga berpengaruh tentunya dengan pengasuhan anak. Sekularisme, menjadi alat bagaimana merusak generasi muslim.
Perlindungan Anak Dalam Islam
Islam, sebagai Ideologi mempunyai aturan kehidupan yang sempurna dengan institusi Khilafah menjadikan anak sebagai harta yang berharga. Sehingga, Islam melindungi anak dengan tuntas tak hanya sektoral saja.
Pertama, sistem politik yang independent, pantang tunduk pada kehendak asing, serta negara menjadi pengurus & pelindung umat. Yakni, Khilafah memiliki ketahanan yang kuat dari segala intervensi apatah lagi yang menyangkut kebijakan. Kebijakan yang diambil berdasarkan Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ sahabat dan qiyas. Sumber hukum yang berasal dari pencipta tentunya meniscayakan kesempurnaan aturan.
Kedua, sistem ekonomi yang akan menjamin kesejahteraan, mencegah eksploitasi, dan kezaliman dengan langkah-langkah:
Khalifah akan mengakhiri pembayaran utang berbasis bunga atau riba dari IMF dan semua pinjaman lain karena Khilafah adalah negara mandiri tidak bergantung pada bantuan asing;
Menghapus perekonomian rakyat berbasis riba, menutup bank-bank ribawi dan mengalihkannya pada akad-akad sesuai syariat;
Melarang semua bentuk penimbunan kekayaan
Menstabilkan pasokan uang dan harga dengan memastikan mata uang kertas sepenuhnya didukung emas dan perak yang mencegah inflasi serta khilafah akan menghilangkan segala bentuk pajak
Mengelola semua sumber daya milik umum dan menggunakannya untuk kepentingan umum sehingga semua merasakan manfaat dari aset-aset penting.
Meninjau kembali lahan-lahan pertanian sehingga para pemilik lahan yang mengabaikan tanahnya akan diberi peringatan untuk segera mengolahnya. Jadi tidak boleh menumpuk lahan, sedangkan yang ingin bekerja tidak punya lahan.
Langkah-langkah tersebut menjadi langkah konkrit untuk jaminan kesejahteraan sehingga himpitan ekonomi terstruktur pada masyarakat tidak lagi menjadi musibah yang berujung pada prostitusi dll.
Ketiga, sistem pendidikan untuk membentuk pribadi bertakwa dan mempunyai skill membangun peradaban. Dalam Islam, pendidikan hadir dengan landasan yang tuntas yaitu akidah Islam. Bahwa manusia berasal dari Allah SWT, tujuannya untuk beribadah pada Allah SWT dan juga akan kembali pada Allah SWT. Pendidikan Islam akan mendidik insan yang bertauhid diawal pengajarannya agar sejak dini terdidik untuk mengetahui bahwa ada pencipta dalam semesta ini bersama dengan syari’atnya. Tentu, implementasinya pada SDM akan mengembangkan apapun dengan asas yang jelas yaitu meraih rida Allah SWT. Bukan semata untuk mendapatkan gelar, materi hingga popularitas. Hal-hal tersebut hanya menjadi wasilah untuk menjalankan syari’at Allah SWT dalam membangun karya disekitarnya.
Keempat, sistem sosial yang menjaga kebesihan masyarakat dan mengukuhkan ketahanan keluarga. Islam mempunyai pengaturan diranah umum dan khusus. Diranah umum dibolehkan hanya untuk bertransaksi jual-beli, pendidikan dan kesehatan. Adapun dalam aturan khusus, bahwa ketika perempuan berada dalam rumah maka berlaku aturan khusus yaitu perempuan hanya bisa membuka auratnya yang biasa terlihat pada mahramnya. Tidak boleh berada dirumah jika ada laki-laki ajnabi.
Kelima, sistem sanksi sehingga menutup pintu maksiat. Sanksi dalam Islam sangat tegas dan dijadikan sebagai wasilah penghapus dosa-dosa diakhirat kelak. Seperti rajam bagi yang berzina.
Keenam, sistem informasi untuk mencegah berkembangnya pemikiran dan budaya rusak. Informasi di filter supaya tidak merusak pemikiran perempuan dan anak dengan tidak memberikan ruang konten pornografi, bahkan film maupun iklan-iklan yang berpotensi pornografi.
Keenam langkah tersebut memberi solusi tuntas bukan sekadar sektoral saja karena pada dasarnya permasalahan kekerasan seksual berkelindan dari semua aspek kehidupan yang sudah rusak diasuh oleh sistem sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Views: 36
Comment here