Oleh : Tatuk Neneng Solekhat
wacana-edukasi.com, OPINI– Konflik agraria sangat sering terjadi sejak masa lampau hingga kini. Hal ini muncul karena berbagai macam sebab, diantaranya adalah penguasaan atas tanah, serta perebutan sumber daya alam (SDA). Konflik tersebut umumya juga melibatkan banyak pihak, serta banyak peraturan. Oleh karena itu konflik agraria merupakan perkara yang kompleks.
Sejak pertengahan abad XIX hingga awal abad XX banyak sekali konflik agraria terjadi di seluruh negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Di negeri ini konflik agraria terjadi karena penerapan undang-undang agraria yang melahirkan hak erfpacht atau yang sekarang dikenal dengan hak guna usaha (HGU). Undang-undang ini memberikan kesempatan kepada perusahaan -perusahaan besar asing untuk menguasai lahan hingga menggusur tanah pertanian milik rakyat. Konflik tersebut terjadi baik di pulau Jawa maupun di luar Jawa.
KPA (Konsorsium Pembangunan Agraria) mencatat dalam kurun waktu delapan tahun terakhir ini di Indonesia telah terjadi 73 konflik agraria akibat dari proyek strategis nasional (PSN). Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menjelaskan konflik agraria itu terjadi di seluruh sektor pembangunan, mulai dari infrastruktur, pembangunan properti, pertanian, agribisnis, pesisir dan tambang, lautan dan pulau – pulau kecil (cnnindonesia, 24/09/23).
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pembangunan sirkuit Mandalika di NTB. Pembangunannya memang sudah kelar, bahkan sudah terpakai untuk ajang kompetisi motoGP. Hanya saja sirkuit Mandalika ini menyisakan pilu bagi warga terdampak. Pakar PBB untuk HAM saat itu menyatakan terdapat indikasi perampasan tanah masyarakat saat pengerjaan proyek Mandalika. Ada yang tidak mendapatkan ganti rugi sepadan, bahkan ada juga yang mengatakan tidak mendapat kompensasi ganti rugi dari lahan mereka yg sudah rata dengan tanah.
Selanjutnya adalah pembangunan tol Padang-Pekanbaru tahun 2021. Pada saat itu masyarakat sekitar mengeluh dan merasa khawatir pembangunan tol tersebut akan mengakibatkan kehilangan tempat tinggal, sumber pendapatan dan kenyamanan bagi masyarakat. Namun pada akhirnya proyek tersebut tetap berjalan sesuai rencana proyek strategis nasional.
Begitu pula dengan konflik yang berlangsung saat ini, konflik Rempang-galang. Konflik ini bermula ketika masyarakat sekitar menolak pembangunan proyek eko-city. Proyek tersebut membuat masyarakat sekitar harus kehilangan tempat tinggal juga mata pencaharian di tempat itu. Masyarakat sekitar bersikeras menolak janji manis berupa hunian tetap. Pada akhirnya terjadi bentrok antar warga dengan aparat. 43 warga yang berdemo ditangkap oleh aparat.
Semua itu hanya beberapa contoh konflik agraria yang muncul di Indonesia, masih banyak lagi konflik-konflik lainnya seperti konflik proyek lumbung pangan atau food estate di Sumatra Utara, pembangunan bandara dan kilang minyak di Air Bangis, Sumatera Barat, proyek tambang pasir royal boskaris, serta pengadaan tanah bagi infrastruktur kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN). Dampak dari masalah ini, banyak warga yang akhirnya terlempar dari tanahnya sendiri dan terpaksa menjadi tenaga kerja upah murah ataupun pekerja non-formal yang bermigrasi ke kota hingga luar negeri.
Para Kapital (Oligarki) Melenggang
Sederet konflik tersebut menunjukkan realita bahwa negara hanya sebatas penyedia karpet merah bagi investor, baik asing maupun lokal. Atas nama proyek strategis nasional, perampasan tanah dan hak rakyat menjadi dalil pembenar bagi penguasa untuk mengakomodasi kepentingan para oligarki. Istilah oligarki saat ini sedang mewarnai ruang publik. Masyarakat saat ini banyak yang telah menyadari bahwa sebenarnya negeri ini hanya dikuasai segelintir orang, yaitu para elit borjuis. Banyak kebijakan yang dibuat untuk memberikan angin surga bagi para oligarki.
Penguasa seharusnya adalah pengayom yang mengayomi rakyat. Namun realitanya sekarang penguasa hanya sebatas pengayom para oligarki. Dalam kamus oligarki tidak ada nama rakyat dalam kepentingan mereka. Oligarki kekuasaan telah menggarong tanah-tanah rakyat dan berlindung dibalik proyek-proyek negara. Mereka bekerja sama dengan para investor mendanai proyek-proyek strategis. Siapakah investor yang dimaksud? Tidak lain dan tidak bukan adalah para pemilik modal (kapital) dan korporasi.
Sistem kapitalis sekuler menjadi habitat para kapital untuk mengeruk keuntungan pribadi. Sebab dalam sistem ini orientasi besarnya adalah keuntungan materi. Negara tak lagi menjadi periayah bagi rakyatnya. Namun justru hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator saja.
Solusi Islam Terhadap Konflik Agraria
“Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. Al-hadid: 2).
Dari ayat ini kita bisa mengambil dua hal penting. Pertama, pemilik hakiki atas tanah adalah Allah Swt.
Kedua, pengolahan tanah harus ditetapkan berdasarkan hukum Allah semata, dan Allah memberikan keleluasaan kepada manusia mengelola tanah tersebut sesuai hukum yang diwahyukan-Nya.
Dalam Islam tanah dapat dimiliki seseorang dengan berbagai sebab, diantaranya: jual-beli, hibah, waris, ihyaul mawar atau sering disebut dengan menghidupkan tanah mati, tahjir atau membuat batas atas tanah mati, iqtha atau pemberian negara kepada rakyat.
Islam menetapkan setiap individu rakyat bisa memiliki tanah dengan cara mengelola tanah mati, yakni tanah yang tidak bertuan dan tidak ada pemiliknya. Rasullullah saw. bersabda “Barang siapa menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya, dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain) (HR.Tirmizi, Abu Daud dan Ahmad).
Lain halnya menurut sistem kapitalis sekarang, kepemilikan tanah tergantung dengan selembar sertifikat. Kepemilikan tanah bertahun-tahun bahkan dihuni turun temurun bisa diambil negara hanya karena tidak bersertifikat.
Adapun dalam Islam, kepemilikan tanah yang sudah dihuni bertahun-tahun tidak dapat diambil paksa oleh siapapun termasuk negara sekalipun. Inilah bentuk keadilan dalam Islam. Negara hanya boleh mengambil tanah rakyat untuk kepentingan kemaslahatan umat atas ridho dari si pemilik tanah, dengan mekanisme ganti untung. Negara tidak diperbolehkan menggusur paksa apalagi bertindak sewenang-wenang.
Islam telah menetapkan bahwa negara adalah pelindung sekaligus pengurus segala urusan rakyanya, termasuk mengurus persoalan terkait pertanahan. Sudah begitu banyak kezaliman dirasakan oleh masyarakat akibat penerapan ideologi kapitalis. hanya sistem Islam yang bisa menjawab apa dan bagaimana berlaku adil untuk mewujudkan amanah kepada rakyatnya.
Wallahua’lam bishawab
Views: 33
Comment here