Penulis: Fara Melyanda (Aktivis Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI— Akhir-akhir ini, sejumlah laman media menampilkan perubahan warna logo garuda dengan latar hitam. Perubahan ini melambangkan bahwa Indonesia sedang dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Hal ini pun memicu aksi demonstrasi bertajuk Indonesia gelap yang diprakarsai oleh kalangan mahasiswa.
Dilansir tirto.id, 18/2/2025, belum genap setahun sejak logo Garuda berlatar biru darurat ramai di jagat maya, kini lambang itu kembali muncul dengan latar hitam. Perubahan warna yang lebih suram ini mencerminkan bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja dan kekhawatiran publik terhadap tanah air semakin membuncah.
Sebanyak 1.623 personel gabungan dikerahkan untuk mengawal unjuk rasa aliansi dan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, agar tidak mencapai Istana Negara. Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Pol Susatyo Purnomo Condro, menyatakan bahwa personel tersebut berasal dari Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, TNI, Pemprov DKI Jakarta, dan instansi terkait lainnya (beritasatu.com, 17/2/2025).
Perubahan warna logo garuda dari biru ke hitam merupakan simbol peringatan darurat yang mencerminkan krisis atau situasi genting di Indonesia. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran publik terhadap keadaan negara, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, maupun isu-isu lainnya yang sedang terjadi.
Aksi demo Indonesia Gelap, yang diprakarsai oleh kalangan mahasiswa di berbagai daerah, mengajukan beberapa tuntutan kepada pemerintah sebagai bentuk protes terhadap berbagai kebijakan yang dianggap merugikan rakyat. Namun, tuntutan tersebut belum sepenuhnya menyentuh akar permasalahan yang mendasari krisis yang terjadi, sehingga solusi yang ditawarkan masih bersifat parsial.
Bahkan, ada pihak yang mengusulkan kembali ke sistem Demokrasi kerakyatan, padahal gelapnya Indonesia saat ini merupakan dampak dari penerapan sistem Kapitalisme-Demokrasi yang terbukti gagal menyejahterakan rakyat. Faktanya, meskipun rezim telah berganti berkali-kali, keadaan negeri ini tidak semakin maju, melainkan justru semakin mundur dan terpuruk dalam berbagai aspek, mulai dari ekonomi, politik, hingga moral masyarakat. Krisis yang terus berulang menunjukkan bahwa akar permasalahan bukan sekadar pada individu pemimpin, melainkan pada sistem yang diterapkan.
Seharusnya, mahasiswa lebih melek politik dan bersikap kritis terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Namun, mereka juga harus mampu menawarkan solusi yang tepat dan komprehensif, bukan sekadar mengkritik tanpa arah. Mahasiswa tidak boleh bersikap netral dalam menghadapi ketidakadilan, apalagi menjadi oportunis yang hanya mengejar kepentingan duniawi. Adapun solusi yang benar dan hakiki adalah solusi yang berlandaskan Islam, yang mampu menghadirkan keadilan serta kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Sebut saja, pada masa pemerintahan Imperium Ottoman (Khilafah Utsmaniyah), diterapkan sistem pemerintahan yang bersih dan adil, sehingga rakyatnya dapat hidup sejahtera. Ini merupakan bukti nyata keberhasilan sistem Islam dalam memakmurkan rakyatnya. Belum pernah ada sistem pemerintahan yang berkuasa hampir 14 abad dengan tinta emas, kecuali Islam-sesuatu yang belum mampu dicapai oleh sistem pemerintahan mana pun, bahkan termasuk Demokrasi.
Mahasiswa seharusnya menjadi agen perubahan yang mengemban risalah Islam dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Mereka harus berani mengoreksi penguasa berdasarkan spirit amar ma’ruf nahi munkar, serta secara konsisten menyuarakan solusi Islam sebagai satu-satunya jalan keluar dari berbagai krisis yang melanda negeri ini. Sebab, hanya dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, keadilan dan kesejahteraan dapat terwujud, menggantikan keterpurukan yang dihasilkan oleh sistem Kapitalisme-Demokrasi.
Islam tidak hanya menawarkan solusi parsial, tetapi sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh, mencakup politik, ekonomi, hukum, dan sosial. Dengan demikian, masa depan Indonesia dapat dipastikan gemilang, bukan lagi terjebak dalam kegelapan atau keterpurukan yang tiada ujung.
Mahasiswa juga harus memiliki keteguhan dalam berpegang pada Islam hingga akhir hayat, menjadikannya sebagai landasan utama dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Dengan pemahaman yang kuat terhadap aqidah Islam, mereka dapat menjadi agen perubahan yang membawa kebaikan bagi masyarakat. Sayangnya, banyak mahasiswa hari ini yang hidup bagaikan pucuk pohon ditiup angin-mudah terbawa arus tanpa pendirian yang kokoh, terpengaruh oleh tren, ideologi asing, dan kepentingan pragmatis yang justru menjauhkan mereka dari perjuangan hakiki.
Sejarah emas Islam mencatat banyak pemuda yang namanya harum sepanjang masa karena berjuang dan berkontribusi dalam memuliakan Islam. Mereka memiliki keimanan yang kokoh serta sadar bahwa di pundak mereka kelak akan diletakkan amanah memimpin umat dan membangun negeri. Masa muda bukanlah waktu untuk terjerumus dalam hedonisme dan bersenang-senang tanpa batas, mengabaikan halal dan haram, sambil beranggapan bahwa usia masih panjang.
Masa muda hanya datang sekali, dan waktu tidak dapat diputar kembali. Jika masa muda dihabiskan untuk memuaskan hawa nafsu, penyesalan akan datang di hari tua. Bahkan, tak sedikit orang yang mengalami kerusakan jiwa dan raga sejak usia muda. Imam Hasan al-Basri pernah berpesan, “Wahai kaum pemuda, tanaman yang masih muda pun bisa rusak dan mati karena hama, sehingga tidak bisa mencapai masa panen.”
Oleh karena itu, sudah seharusnya pemuda bergabung dengan kelompok dakwah ideologis, mengkaji Islam sebagai ideologi, bukan sekadar ilmu pengetahuan, serta terlibat dalam dakwah Islam agar dapat mengawal perubahan sesuai dengan teladan Rasulullah. Sungguh, kemuliaan Islam hanya akan tampak jika umat, khususnya pemuda, senantiasa berdakwah untuk menegakkan Islam.
Views: 4
Comment here