Opini

Indonesia Tidak Baik-Baik Saja, Benarkah?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Sumariya (Aktivis Muslimah)

Wacana-edukasi.com, OPINI– Beberapa waktu lalu, media sosial dihebohkan dengan penggunaan gambar berlambang Garuda Pancasila berlatar belakang warna biru dengan kalimat “Peringatan Darurat”. Gambar tersebut disandingkan dengan tagar #KawalPutusanMK yang sempat trending di platform X (Twitter).

Menyusul rencana DPR melakukan revisi UU Pilkada yang menyelisihi keputusan Mahkamah konstitusi (MK). Namun, kemudian beredar postingan dengan gambar serupa namun memiliki narasi “Indonesia Baik-baik Saja”. Dalam unggahan pada Kamis (22/8/2024), salah satu akun mencuitkan gambar tangkapan layar berisi pesan WhatsApp yang mengindikasikan bahwa seruan tersebut bagian dari kampanye.

Bahkan dikabarkan untuk setiap unggahan yang diposting di Instagram akan mendapat Rp10 juta, sementara postingan di TikTok mendapat Rp15 juta, sehingga total Rp25 juta untuk dua kali posting.

Setelah ditelusuri, ada beberapa akun Instagram yang memang menyerukan “Indonesia Baik-baik Saja”, salah satunya milik Wasekjen Gerindra Kawendra Lukistian meskipun ia tidak mengunggah potret yang dimaksud. Alhasil, unggahan tersebut menuai kritik dan cemooh dari warganet lainnya. Namun, hingga saat ini masih belum bisa dipastikan kebenaran dari gambar tangkapan layar yang beredar, (suara.com, 23/8/2024).

Betapa memprihatinkan kondisi negeri ini, rakyat menderita akibat kebijakan politik yang dilegalkan penguasa. Penguasa tidak mengurus rakyat dengan benar dan tidak fokus memberikan solusi atas kebutuhan rakyat. Rakyat hidup dalam kemiskinan, kelaparan, kebodohan, kebobrokan moral, hingga kezaliman. Tetapi ketika rakyat bergerak memprotes penguasa, penguasa justru menutupi kondisi rusak, mereka menyewa para buzzer untuk membentuk citra negeri ini baik-baik saja.

Parahnya lagi, masyarakat beranggapan negara telah melanggar konstitusi tatkala DPR menganulir keputusan MK, terkait soal ambang batas parlemen dan syarat batas usia calon kepala daerah. Padahal, kejadian tersebut niscaya terjadi karena sistem politik saat ini yakni Demokrasi memang meniscayakan kejadian tersebut terjadi. Prinsip sistem Demokrasi adalah kedaulatan hukum di tangan rakyat.

Sangat jelas bahwa prinsip ini batil, pasalnya ketika manusia diberikan hak untuk membuat hukum, niscaya hukum yang disepakati bersama itu pasti zalim. Hukum tersebut bisa meninggikan sebagian manusia sekaligus merendahkan manusia yang lain. Rakyat yang memiliki kesempatan menjadi wakil rakyat dengan mudah menggunakan kekuasaannya untuk meraih kepentingan mereka.

Sementara RUU Pilkada ini jelas digunakan untuk mengurus kepentingan keluarga tertentu, karena penguasa dalam sistem Demokrasi fokus mempertahankan eksistensi kekuasaan mereka bahkan melebarkan sayap kekuasaannya agar kepentingan ini dapat berjalan dengan mulus.

Rakyat biasa dalam sistem Demokrasi dibuat berpikir pragmatis, tidak mendalam. Rakyat dibuat susah memenuhi kebutuhan pokok maupun kebutuhan publiknya, akhirnya rakyat hanya akan berpikir bagaimana mereka bisa makan untuk hari esok, bisa hidup terjamin, bisa sekolah, bisa berobat, dan bagaimana mereka bisa bertahan hidup. Faktanya, sebagian masyarakat tidak memahami persoalan secara mendasar karena kesadaran politik mereka juga rendah, mereka tidak memahami realita yang sedang terjadi sehingga terkecoh dengan propaganda buzzer.

Hal ini berujung pada kondisi yang mengerikan, yaitu rakyat tidak memahami hak dan kewajiban penguasaan terhadap rakyatnya yang seharusnya menjadi raa’in (pengurus).

Sangat berbeda dengan kondisi rakyat yang hidup dalam sistem yang shahih, sistem yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, yakni sistem Islam yang diterapkan secara praktis oleh negara Khilafah. Negara Khilafah membangun rakyatnya agar memiliki kemampuan berpikir cemerlang dan mendalam. Dengan level berpikir yang seperti ini, rakyat akan memahami hakikat mereka hanyalah seorang hamba Allah. Pemahaman ini akan mengantarkan mereka pada kesadaran harus senantiasa terikat aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala di semua level kehidupan, baik itu level individu, masyarakat, bahkan urusan negara.

Maka, ketika negara telah menerapkan aturan Islam, masyarakat akan berani melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa agar kehidupan bernegara diatur dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan hukum manusia. Tindakan amar makruf nahi munkar kepada penguasa merupakan hukum syariat.

Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sabdanya memuji aktivitas dakwah kepada penguasa:

“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata baik) di hadapan penguasa yang zalim.”
(HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadis ini hasan).

Untuk membentuk masyarakat yang berpikir cemerlang dan mendalam, Islam memiliki kurikulum pendidikan yang akan membangun kesadaran politik dan juga semangat untuk taat syariat, mendorong umat untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Sistem pendidikan Islam berbasis akidah Islam di mana output generasi yang dihasilkan harus memiliki kepribadian Islam.

Tolak ukur kepribadian Islam dilihat dari pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) harus sesuai Islam. Kepribadian Islam diberikan kepada anak-anak di setiap jenjang level pendidikan, baik di sekolah maupun kampus. Anak-anak akan diajarkan bahwa Islam adalah sebuah mabda’ (ideologi) melalui kurikulum yang sudah ditentukan.

Dengan mekanisme demikian Insya Allah, dapat dipastikan generasi yang lahir adalah generasi yang berpikir cemerlang dan mendalam dalam memandang kehidupan beserta persoalannya. Dengan demikian, negara tidak membutuhkan buzzer pencitraan karena semua aparat taat syariat juga profesional dalam berkarya. Dalam Islam, penguasa adalah raa’in (pengurus), mereka akan menjalankan tugas tersebut seoptimal mungkin karena mereka sadar tanggung jawab mengurus urusan rakyat ini akan dimintai pertanggung jawabannya hingga ke akhirat.

Sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Tidaklah seorang manusia yang diamanahi Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengurus urusan rakyat, lalu mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya.”
(HR. Bukhari)

Wallahu a’lam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 7

Comment here