Opini

Intelektual Muslim Ideologis Melawan Arus Islamofobia

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Novianti

wacana-edukasi.com– Seorang Rektor Institut Teknologi Kalimantan atau ITK, menjadi perbincangan setelah tulisannya yang berisi ujaran yang melecehkan ajaran Islam viral di media sosial. Ia menyebut mahasiswi berjilbab dengan istilah manusia gurun. Pernyataannya ini jelas mengarah kepada ajaran Islam karena perempuan menutup kepala dengan kerudung merupakan identitas seorang muslimah.

Dari jejak digitalnya, Budi Santosa nampaknya memiliki sentimen negatif terhadap Islam meski ia mengaku muslim. Sebelumnya ia permah menyindir mahasiswi yang menolak ajakan salaman dosen pembimbingnya dan mengatakan agar mahasiswi yang bersangkutan jangan bersikap kemayu.

Ketua Bidang Dakwah dan Ukhwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Muhammad Cholil Nafis menyebut pandangan Budi Santoso tidak mencerminkan sosok akademisi dan guru besar. Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam), Mahfud MD turut mengkritik apa yang ditulis rektor ITK ini tidak bijaksana. Sedangkan Anggota DPR yang juga Ketua Badan dan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon menyebut yang bersangkutan sudah terpapar islamofobia (republika.co.id, 01/05/2022).

Pendidikan Sekuler Lahan Subur bagi Islamofobia

Sebagai seorang intelektual apalagi dengan gelar professor, Budi Santoso seharusnya berhati-hati dalam mengungkapkan pendapat yang disebarkan ke umum. Ia berkedudukan penting di lembaga perguruan tinggi dan tinggal di Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim. Mestinya ia tidak menyampaikan pernyataan yang menunjukkan atau memancing kebencian terhadap Islam.

Menurut Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, tulisan Budi Santosa sudah terkategorikan pernyataan SARA yang dapat dipidanakan. Isi tulisan menunjukkan permusuhan terhadap suatu ajaran agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia. Ini berpotensi melanggar Pasal 156a KUHP (republika.co.id, 02/05/2022).

Peristiwa ini menunjukkan gelar akademik tidak menjamin tingkat berpikir mendalam, kerangka berpikir benar serta pemahaman yang lurus. Tulisan Budi Santoso membuktikan kedangkalan pemahamannya, bias serta penuh prasangka terhadap Islam. Ini merupakan indikasi terpapar Islamofobia.

Lahirnya Islamofobia di kalangan intelektual menjadi konsekuensi dari pendidikan sekularisme. Gaya pendidikan dengan formula kurikulumnya kering dari nilai-nilai Ilahiyah. Tujuan pendidikannya sebatas materi yang mengukur keberhasilan dari nilai dan angka-angka.

Pendidikan sekuler merusak mentalitas dan pemikiran para intelektual karena hanya menjejali dengan pengetahuan-pengetahuan yang berorientasi pada dunia. Tidak ada ruang bagi perbincangan tentang akhirat karena wahyu Allah yang seharusnya sebagai ilmu tertinggi dimusnahkan.

Sekularisasi terus berestafet dengan kapitalisme yang menjadi driver dalam pendidikan modern hari ini menyebabkan berkembangnya pragmatisme yang tercermin dalam tujuan pendidikannya sangat mengedepankan materi. Jauh dari tujuan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas pribadi di hadapan Allah.

NIlai-nilai yang dikembangkan seperti relativisme dimana kebenaran bersifat relatif dan subyektif, memahami teks agama dengan pendekatan hermeneutik sehingga Al-Quran diintepretasi dengan penafsiran sesuai hawa napsu, berfikir kritis terhadap segala sesuatu termasuk mempertanyakan kebenaran dalam agama yang diyakininya.

Dampaknya muncullah para intelektual yang terbajak dalam visi misi yang jauh dari harapan sebagai generasi bertaqwa. Keahliannya ditelikung oleh kaum kapitalis, lebih berperan sebagai sekrup bagi industri. Yang lebih berbahaya, tanpa sadar dijadikan agen-agen Barat untuk melawan agamanya sendiri.

Akar Penyebab Islamofobia

Kemunculan Islamofobia memiliki sejarah panjang yang tidak bisa dipisahkan dari perseteruan kaum nasrani dan umat Islam. Perang Salib yang berlangsung selama 2 abad ((antara 1095-1291 M) telah meninggalkan dendam dan muncul di abad modern ini dengan wajah Islamofobia.

Islamofobia berkembang pasca peristiwa 9/11 ketika Amerika Serikat menyeru perang melawan terorisme. Islam dikait-kaitkan dengan berbagai peristiwa seperti ledakan bom dengan tujuan mencitrakan Islam sebagai agama yang menebar kebencian.

Hal ini dilakukan karena ada kepentingan Barat sebagaimana yang dirumuskan dalam dokumen Rand Corporatioan. Ini bagian dari war on Islam untuk mewujudkan wajah Islam sesuai keinginan Barat.

Kaum intelektual menempatkan nalar sebagai kemampuan utamanya dengan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat awam. Mereka memiliki ilmu pengetahuan, wawasan dan gerak langkahnya sangat menentukan perkembangan di masa depan.

Barat memanfaatkan kaum intelektual sebagai corong untuk menyuarakan opini yang akan mengarahkan angin sesuai kepentingan mereka. Melalui sekularisasi dunia pendidikan, terlahir intelektual bercorak pemikiran Barat dan anti terhadap ideologi Islam. Tsaqofah Barat yang diajarkan yang kemudian membentuk cara pandang agama bukan bagian penting dalam ilmu pengetahuan. Agama sarat dengan aturan-aturan dipandang pengekang kebebasan berpikir, berekspresi dan menyebabkan manusia terjerat dalam kejumudan.

Tak heran, pendidikan sekuler melahirkan intelektual Islamofobia. Akan muncul intelektual-intelektual lainnya yang semodel jika tidak ada perubahan revolusioner dalam sistem pendidikan saat ini.

*Peranan Intelektual beridiologi Islam*

Kaum intelektual disebut dengan kata berbeda dalam Al Quran yaitu ulil albab. Namun, konsep Ulil Albab tidak sebatas memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan melainkan senantiasa berzikir yaitu terhubungkan dengan Allah SWT dalam situasi apapun.

Mereka memiliki peranan sangat penting dalam sebuah transformasi sosial. Kaum intelektual muslim adalah kaum yang harus berada di tengah masyarakat, tumbuh bersama mereka sehingga mengetahui persoalan dan realitas yang ada. Kaum intelektual harus membawa masyarakat agar kehidupan mereka terbebas dari kebodohan, ketidakadilan serta perbudakan.

Dalam konteks hari ini, keberadaan intelektual Muslim sangat dibutuhkan. Intektual yang memahami Islam sebagai sebuah idiologi dan sistem kehidupan. Di tengah kemunduran peradaban yang dicirikan oleh rapuhnya jiwa manusia serta bertumpuk-tumpukan perosial multi dimensi, kaum intelektual Muslim memliki tugas besar.

Intelektual muslim tidak hanya bersuara sebatas retorika melainkan menelurkan gagasan untuk memberikan solusi jangka pendek. Tetapi juga memilki tanggung jawab mengubah realitas yang sangat jauh dari konsep kehidupan yang Allah tentukan dalam Al Quran.

Ada dua fokus utama tanggung jawab kaum intelektual. Pertama, menjadi garda terdepan dalam perang pemikiran, sebuah strategi kaum kafir untuk meracuni umat Islam saat ini. Induk dari segala kerusakan adalah sekularisme yang diturunkan dalam berbagai bentuk serta propaganda yang halus. Kedua, menyadarkan bahwa saat ini umat Islam di berbagai negeri muslim dalam keadaan terjajah, menjadi budak-budak yang dimanfaatkan untuk kepentingan industri para kapital.

Untuk bisa meraih kedua tujuan tersebut, para intelektual muslim harus memahami kemana arah perubahan ini harus diarahkan, model tatanan masyarakat seperti apa yang ingin diwujudkan. Dalam proses mengawal perubahan tersebut, maka asasnya harus berdasarkan pada prinsip tauhid karena inilah nilai tertingggi yang harus dijunjung seorang Muslim.

Oleh karena itu, keberadaan intelektual Muslim ideologis mutlak diperlukan karena memiliki peranan vital dan strategis. Melahirkan sosok demikian tidak bisa berharap dari pendidikan sekuler yang diterapkan di lembaga pendidikan formal saat ini. Perlu upaya serius untuk pembinaan oleh keluarga-keluarga muslim dan kelompok yang ingin mengembalikan Islam pada habitatnya sebagai pemimpin di muka bumi.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 10

Comment here