Oleh Sartinah
(Pemerhati Masalah Publik)
Duka kembali menyelimuti negeri ini di bulan Ramadan. Kapal penjaga kedaulatan laut, KRI Nanggala-402 yang sedang melakukan misi latihan penembakan torpedo di perairan utara Pulau Bali pada 21 April 2021, dinyatakan subsunk atau tenggelam. KRI Nanggala-402 memuat 53 awak yang juga dinyatakan gugur.
Tenggelamnya KRI Nanggala-402 pabrikan Jerman tersebut kembali membuka perdebatan tentang pentingnya melakukan peremajaan alutsista nasional. Salah satunya dari Co-founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, yang menilai tragedi tenggelamnya KRI Nanggala bisa menjadi momen peremajaan alutsista nasional. Menurutnya lagi, slogan “kerja, kerja, kerja” yang menunjukkan kehadiran negara dalam memberi rasa aman kepada masyarakat, tetap saja tidak boleh mengabaikan keselamatan prajurit dan kondisi alutsista sendiri (tempo.co, 25/4/2021).
Hilangnya KRI Nanggala-402 menjadi insiden ketiga pada armada TNI AL. Sebelumnya ada dua KRI lain yang juga mengalami insiden, yakni KRI Rencong-622 buatan Korea Selatan tahun 1979, yang tenggelam dan terbakar di Papua Barat pada September 2018. Selanjutnya, KRI Teluk Jakarta-541 buatan Jerman Timur pada 1979 yang tenggelam di Jawa Timur pada Juli 2020.
Musibah Berulang akibat Salah Prioritas
Berulangnya musibah di darat, laut, dan udara membuktikan ada yang salah dengan pe-riayah-an negara di bidang militer. Mirisnya, insiden yang menimpa kapal selam tersebut juga turut mengorbankan banyak prajurit terlatih. Seharusnya sejak awal pemerintah berbenah terhadap kondisi alutsista negeri ini. Bukan justru menunggu musibah kembali berulang, kemudian berdalih belum mampu melakukan peremajaan terhadap alutsista karena mahalnya investasi di bidang militer.
Dengan luas wilayah lautan yang sebesar 3.273.810 km², tampaknya menjadi ironi ketika alutsista yang dimiliki tidak berbanding lurus dengan luas wilayahnya. Memiliki kapal selam yang hanya lima untuk menjaga lautan, juga menjadi muskil bagi militer untuk berjaya di lautan. Padahal, ancaman dan teror akan terus datang dari darat, udara, dan laut untuk mengganggu kedaulatan negeri ini.
Di antara ancaman tersebut, misalnya kasus-kasus sengketa wilayah dengan negara lain, kejahatan kemanusiaan dan ekonomi (seperti penyelundupan), serta ekses negatif lainnya yang akan terjadi karena lemahnya pertahanan negara. Ditambah lagi alutsista yang akan menyokong pertahanan negara tidak memadai. Hal ini tentu akan menjadikan negeri ini kian diremehkan dan dipandang sebelah mata oleh negara lain.
Padahal, kecanggihan dan kekuatan alutsista menjadi faktor penting dalam menjaga kedaulatan. Tenggelamnya KRI Nanggala-402 tentu menjadi ironi di negeri maritim. Bagaimana tidak, dengan wilayah lautnya yang sangat luas, tetapi negeri ini seolah tidak serius memprioritaskan alutsista hanya dengan dalih anggaran terbatas.
Seharusnya negeri ini memiliki dua belas kapal selam untuk menjaga kedaulatan lautnya. Sayangnya, harapan tersebut ternyata jauh dari realita. Di bawah sistem kapitalisme, pembangunan kesejahteraan menjadi prioritas di atas aspek lainnya, termasuk alutsista. Namun sayang, kesejahteraan yang diukur dari peningkatan pembangunan infrastruktur, nyatanya jauh panggang dari api. Infrastruktur hanya dinikmati oleh segelintir orang, sementara kesejahteraan rakyat tetap menjadi sebuah ilusi.
Demikianlah, kesalahan prioritas dalam mengambil kebijakan ternyata bisa berdampak fatal. Sebagaimana yang menimpa KRI Nanggala-402. Oleh karena salah prioritas, 53 prajurit terbaik dan terlatih harus gugur sebelum berperang. Dengan dalih keterbatasan dana, penjagaan kedaulatan terpaksa menggunakan kapal selam yang sudah tua.
Perhatian Islam Terhadap Militer
Sejatinya, kecanggihan persenjataan dan kemampuan militer menjadi penentu kekuatan sebuah bangsa. Bagaimana negeri ini mampu menjaga batas-batas wilayah di darat, laut, dan udara jika alutsista yang dimiliki masih tak sebanding dengan luasnya wilayah? Belum lagi, beberapa insiden yang mengorbankan nyawa prajurit justru bukan saat mereka berperang, tetapi saat latihan.
Hal ini tentu membutuhkan perhatian negara agar para penjaga kedaulatan atau militer tetap berjaya, baik di darat, udara, maupun laut dengan peralatan canggih. Sebab, militer merupakan bagian dari politik, bahkan merupakan ujung tombak dari manuver-manuver politik terutama yang berkaitan dengan hubungan luar negeri.
Di bawah naungan Islam, negara memberi perhatian besar terhadap militer. Bahkan, negara diwajibkan membangun industri militer yang canggih untuk menggentarkan musuh. Allah SWT. berfirman:
_“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya ….”_ (TQS. Al-Anfal: 60).
Peran urgen militer tidak hanya sebatas menjaga pertahanan. Namun, militer dalam Islam juga memiliki misi mulia, yakni menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad. Dengan misi mulia tersebut, militer memang dituntut untuk memiliki dan menguasai persenjataan yang canggih.
Oleh karena itu, negara akan membangun industri kemiliteran untuk menunjang kekuatan negara. Terkait dengan pendanaan yang memang cukup besar, negara akan mengambil dana baitulmal dari pos kepemilikan negara, yakni jizyah, fa’i, humus, dan usyur. Jika dana tersebut masih belum mencukupi, maka negara akan mengambilnya dari pos kepemilikan umum. Jika masih belum juga mencukupi, maka negara akan menarik pajak ( dharibah) dari warga negara untuk waktu yang terbatas.
Keterlibatan negara secara langsung dalam mengurusi militer dan disokong oleh pendanaan yang kuat, menjadikan militer mampu menjalankan fungsinya dengan maksimal. Hanya di bawah naungan Islam, negara mampu berdaulat tanpa didikte oleh negara lain. Militer pun berjaya menjaga kedaulatan dengan alutsista canggih dan memadai. Tak kalah penting, hal ini tentu akan menghindarkan insiden tenggelam atau kecelakaan yang disebabkan kapal yang sudah tua sebagaimana terjadi pada KRI Nanggala-402.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 0
Comment here