Oleh : Risma Ummu Medinah
wacana-edukasi.com, OPINI– Dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) pada hari Jumat 9 Desember 2022, Indonesia kali ini mengambil tema “Indonesia Pulih Bersatu Melawan Korupsi”. Indonesia Corruption Watch (ICW) berharap bahwasanya peringatan ini bukan sekadar jargon, kegiatan seremonial, atau sekedar lipstik pemerintah untuk meraup simpati masyarakat.
Namun, peringatan ini harus digunakan sebagai momentum seriusnya pemerintah di dalam pembenahan aspek politik dan hukum dari seluruh cabang kekuasaan untuk mengembalikan ruh pemberantasan korupsi seperti sedia kala.
Sistem Politik Demokrasi Kotor Lahirkan Para Koruptor
Berdasarkan olah data KPK, sejak 2004 hingga 2022 dari segi penindakan sudah ada 22 gubernur, 161 bupati/wali kota dan wakil, serta 297 pejabat eselon I hingga eselon III yang tersandung korupsi. Khusus 2022 saja, KPK sudah menangkap 18 bupati/wali kota dan wakil serta 31 pejabat eselon I hingga eselon III. Total perkara penyuapan berada pada angka tertinggi yaitu 867 kasus selama rentang 18 tahun ( tirto.id-Jumat, 9 Des 2022 10.00 WIB).
Sistem Politik kotor demokrasi telah menyeret para pejabat bergumul dalam lingkaran setan yang tidak pernah bisa keluar malah semakin terjerat. Kalau kita melihat ke belakang banyak kasus mega korupsi yang menyeret pejabat tinggi yang kasusnya seperti bola liar tidak jelas dan memakan waktu lama.
Sistem Politik Demokerasi berbiaya tinggi, proses rumit dan panjang sehingga lahirlah pejabat politik yang tersandera utang politik. Sistem demokrasi yang mahal ini pastilah menyuburkan para koruptor. Selanjutnya mereka menggandeng para pengusaha dan menunggangi negara untuk kepentingan mereka maka lahirlah sistem politik oligarki.
Dengan kewenangan politik dan kekuatan uang mereka bisa memproduksi kebijakan yang menguntungkan bisnis dan politik mereka. Bahkan dengan kewenangan politik dan kekuatan uang, mereka bisa membuat undang-undang yang melindungi dari ancaman pidana korupsi atau setidaknya menyulitkan pemberantasan korupsi.
Inilah konsekuensi logis penerapan politik demokrasi sekuler terjadi sebuah birokrasi transaksional yang sudah ghalib ditemukan saat ini pada siapapun yang ingin duduk di kursi kekuasaan. Tak ayal dengan uang semuanya akan mudah untuk ditaklukan dan diatur sesuai dengan keinginan. Berkelindan dengan pemimpin yang tidak menjadi teladan serta tidak tegas dalam memberikan sanksi kepada para koruptor dan penerima suap.
Terlebih citra KPK saat ini sangat lemah kepercayaannya dimata masyarakat. Upaya pelemahan KPK itu tampak dengan Adanya revisi ke-3 UU KPK. Lahirnya UU no. 7 tahun 2020 yang merupakan perubahan ke-3 atas UU 24 tahun 2004 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menegaskan KPK sedang dilemahkan secara sistematis. Ditambah terjadi pelanggaran etik yang dilakukan ditubuh KPK sendiri sehingga sulit dijadikan teladan.
Lahirnya RKUHP baru baru ini dalam draft 4 Juli 2022 masalah korupsi semakin terpinggirkan dan tidak dijadikan suatu masalah yang krusial. Karena dalam naskah RKUHP ada pelemahan sistematis tentang pemberantasan korupsi. Sederhananya yang ada berpotensi mendegradasi upaya pemberantasan korupsi.
Jelaslah kalau kita mengandalkan korupsi bisa tuntas dengan sistem demokrasi kapitalis yang diterapkan saat ini tentu hanya utopis.
Islam Memberi Solusi Tuntas Kasus Korupsi
Islam mempunyai seperangkat aturan yang komprehensif untuk mengatur permasalahan manusia pun termasuk korupsi. Ada upaya preventif dalam syariat Islam yang menjadikan masalah korupsi diminimalisir atau dihilangkan.
Dengan sistem Islam maka lahirlah pejabat yang memiliki ketakwaan yang kuat sehingga tidak akan terjerat korupsi karena takut penghisaban Allah atas amanah kepemimpinannya. Pemilihan ulil amri (khalifah) , kepala daerah dan majelis umat dihasilkan dengan biaya yang sangat murah dan teknis pemilihan yang mudah alias tidak ribet. Tidak perlu adanya pergantian pemimpin selama pemimpin bersikap adil dan menerapkan Al Qur’an dan sunnah.
Pemberian gaji bagi para pejabat sesuai dengan manfaat yang diberikan. Pejabat haram menerima uang selain dari gaji yang didapatkan tidak dengan syar’i (ghulul).
Rasulullah saw. berkata, “Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” (HR Abu Dawud). Di dunia ia mendapat hukuman yang keras selain hartanya disita.
Keteladanan pemimpin dalam sistem Islam pun sangat luar biasa. Dulu, Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena digembalakan bersama beberapa unta lain di padang rumput milik Baitul Mal. Hal ini dinilai Umar sebagai penyalahgunaan kekuasaan negara.
Pemerintahan Islam akan membentuk Badan Pemeriksa Keuangan. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Dawlah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Sanksi tegas dalam Islam memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Karena itu hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Nyatalah hanya sistem Islam yang mampu mencegah korupsi dan memberantas korupsi. Sehingga para penguasa betul betul mampu menjalankan amanahnya untuk kesejahteraan umat. Maka sudah menjadi keharusan mengganti sistem Politik Demokrasi yang kotor dengan sistem Islam yang berasal dari Allah SWT.
Wallahu a’lam bishawab.
Views: 15
Comment here