Oleh: Ilma Mahali Asuyuti
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Negara sangat zalim ketika menentukan standar hidup layak dengan jumlah minimal yang sejatinya tidak layak untuk terwujud kesejahteraan. Karena hal ini berarti negara membiarkan rakyat hidup dalam keterbatasan atau kekurangan. Ini tidak bisa dilepaskan dari cara pandang negara terhadap rakyatnya yang mengikuti sistem kapitalisme.
Mengutip CnnIndonesia.com, buruh ramai-ramai merespon rilis Badan Pusat Statistik (BPS) terkait standar hidup layak 2024 sebesar Rp1,02 juta per bulan.
Meski namanya ‘standar’, BPS menegaskan ini bukan kriteria layak atau tidaknya kehidupan warga Indonesia. Standar hidup layak hanya bagian dalam pengukuran indeks pembangunan manusia (IPM).
Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) mengkritik penggunaan istilah ‘standar’ dalam survei BPS. Presiden ASPIRASI Mirah Sumirat, mewanti-wanti bahaya salah makna data ini, dimana berpotensi disamakan dengan komponen hidup layak (KHL).
KHL ini yang sejatinya menjadi standar kebutuhan pekerja alias buruh untuk hidup layak dalam satu bulan. Komponen ini dikabarkan bakal kembali dipakai pemerintah sebagai salah satu dasar perhitungan upah minimum provinsi (UMP).
Terlepas dari perdebatan istilah milik BPS, Mirah menilai kecilnya angka standar hidup layak itu mencerminkan upah murah yang diterima buruh Indonesia. Ia menegaskan pendapatan pekerja yang diperoleh saat ini memang jauh dari kata layak.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi, juga tak mengerti dengan parameter standar hidup layak ala BPS. Ia mempertanyakan apa poin-poin yang disurvei sehingga menghasilkan angka Rp1,02 juta per bulan.
(CnnIndonesia.com, Kamis, 28 November 2024).
Problematika tentang hidup layak tidak akan pernah selesai selama sistem yang diterapkan masih sistem kapitalisme. Pada faktanya, angka kemiskinan semakin meningkat seiring dengan sulitnya lapangan pekerjaan. Ini tidak bisa dilepaskan dari cara pandang negara terhadap rakyatnya yang mengikuti sistem kapitalisme.
Dalam sistem kapitalisme, rakyat bukan menjadi prioritas perhatian, karena penguasa tidak menjadikan pengurusan rakyat sebagai tugas pokok penguasa. Di sisi lain, kapitalisme mengukur kesejahteraan dari pendapatan per kapita (besarnya pendapatan rata-rata semua penduduk di suatu negara).
Pendapatan per kapita tidak bisa dijadikan sebagai ukuran kesejahteraan, karena dalam kapitalisme sistem gaji dihitung berdasarkan kebutuhan hidup paling minim bagi setiap individu, dan perhitungan itu bisa diotak-atik agar biaya produksi bisa ditekan seminim mungkin.
Sistem kapitalisme tidak bisa mewujudkan kesejahteraan, karena sistem ini berorientasi pada keuntungan dan membatasi rakyat dengan standar hidup layak dengan ukuran yang tak layak. Pada prinsipnya, kapitalisme hanya akan mengeluarkan modal yang sedikit dan menghasilkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Alhasil, lagi-lagi rakyat yang menjadi sasaran keegoisan para penguasa kapitalis, salah satunya dengan menetapkan dan menaikkan pajak misalnya, sedangkan rata-rata gaji para buruh hanya dalam kisaran Rp 1 jutaan, tetapi dipaksa mencukupkan gaji dengan kebutuhan hidup yang justru semakin naik.
Realitanya, kisaran gaji Rp 1 jutaan tidak bisa mencukupi segala kebutuhan rakyat, karena ekonomi yang sedikit harus bergelut dengan kebutuhan hidup yang semakin tinggi, belum termasuk biaya pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Itu semua hasil dari sistem kapitalisme yang membuat penguasa tidak lagi menjadikan rakyat sebagai tanggung jawab mereka.
Sistem kapitalisme juga menjadikan para penguasa sibuk memenuhi standar gaya hidup saat ini yang serba hedonisme (mewah) dan materialistik, sedangkan rakyat ditekan untuk bisa hemat dengan gaji yang justru tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Selain itu, sulitnya lapangan pekerjaan juga menjadi faktor semakin tingginya angka kemiskinan, sehingga semakin banyak pula rakyat yang sulit untuk memenuhi standar hidup yang layak. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh asing juga menjadi faktor semakin naiknya harga kebutuhan hidup, karena para kapitalis selalu menjadikan keuntungan sebagai tujuan mereka tanpa melihat nasib rakyat.
Jika saja SDA dikelola secara mandiri oleh negara tanpa melibatkan pihak asing, akan mudah bagi rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan.
Tetapi, hal ini hanya akan terwujud jika sistem yang diterapkan oleh negara adalah sistem Islam, karena Islam menjadikan negara sebagai raa’in (pengurus) yang wajib mengurus rakyat termasuk menjamin terwujudnya kesejahteraan individu per individu. Dalam sistem Islam, kelayakkan hidup manusia tidak diukur per kapita, melainkan diukur dari terjaminnya individu per individu rakyat memenuhi kebutuhan pokok mereka.
Sistem ekonomi Islam juga memiliki konsep tentang kepemilikkan harta termasuk SDA yang merupakan milik umum, sehingga negara menetapkan apa saja yang termasuk kepemilikkan umum yang wajib dikelola oleh negara. Hasil pengelolaan ini pun akan dikembalikan kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Islam juga menetapkan kebutuhan pokok rakyat, seperti sandang, pangan dan papan juga layanan kesehatan dan pendidikan, menjadi tanggung jawab negara. Negara juga akan mewajibkan para laki-laki untuk bekerja dan menafkahi keluarga mereka, sehingga dari gaji tersebut mereka bisa mendapatkan kelayakkan hidup dengan selayak-layaknya.
Tentu dengan akses yang mudah, karena lapangan pekerjaan akan dibuka untuk rakyat tanpa melibatkan pihak asing. Sistem gaji dalam ekonomi Islam juga disesuaikan dengan jasa para pekerja, bukan diperkirakan berdasarkan produksi seorang pekerja dan bukan pula berdasarkan batas taraf hidup yang paling rendah.
Sehingga para pekerja bisa mendapatkan upah yang sesuai. Cara Islam mengatur standar kelayakkan hidup manusia sangat bisa diterapkan, jika negara yang mengurus umat dipimpin oleh sistem Islam dalam institusi Khilafah. Sebab hanya Khilafah satu-satunya negara yang bersifat raa’in atau pengurus bagi rakyatnya.
Views: 7
Comment here