Oleh: Supartini Gusniawati, S.Pd (Aktivis Muslimah Kabupaten Bandung)
Wacana-edukasi.com Sebuah hotel milik artis Cynthiara Alona digerebek aparat karena dicurigai sebagai lokasi prostitusi online. Saat digerebek, menurut Kombes Yusri Yunus (Kabid Humas Polda Metro Jaya), korban ada 15 orang. Semuanya anak di bawah umur, rata-rata 14-16 tahun. Sekitar 30 kamar yang ada di hotel tersebut terisi oleh anak-anak dan pria hidung belang (cnnindonesia.com,19/03/2021).
Dalam kasus ini, polisi telah menetapkan tiga orang tersangka, yaitu Cynthiara Alona selaku pemilik hotel, DA selaku mucikari dan AA selaku pengelola hotel. Menurut pengakuan Alona, hal itu terjadi untuk menutup biaya operasional hotel selama masa pandemi Covid-19. Karena, selama masa pandemi penghuni cukup sepi. Sehingga, ada peluang agar operasional hotel tetap berjalan yaitu dengan menerima kasus-kasus perbuatan cabul di hotelnya. Dengan adanya bisnis ini diharapkan operasional hotel bisa tertutupi. Ketiganya dijerat dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 296 KUHP dan atau Pasal 506 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun penjara.
Menurut Kepala RT 04 Sentanu, kegiatan di Hotel Alona banyak membuat masyarakat gusar. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghentikan prostitusi ini. Namun, tak digubris oleh pihak hotel.
Berbagai aduan pun muncul, diantaranya dari calon pekerja seks yang masih berusia 19 tahun. Dia mengaku melamar kerja di tempat tersebut dengan ekspektasi sebagai pegawai hotel ternyata akan dijadikan pekerja seks. Aduan yang lain muncul dari yayasan penyalur pembantu yang mengeluhkan pekerja mereka dipekerjakan oleh hotel Alona dan tidak kembali ke yayasan mereka.
Perlu kita garis bawahi, dalam sistem kapitalis ini, prostitusi seolah-olah dilindungi. Kemarahan dan penolakan warga agar negeri ini bersih dari zina, tidak akan cukup untuk bisa menghentikan praktik maksiat ini. Apalagi, sudah dikaitkan dengan masalah ekonomi.
Sistem ekonomi kapitalis telah menjadikan acuan bahwa untuk memenuhi kebutuhan manusia diperlukan alat pemuas yang bersifat materi, tanpa memperhatikan apakah halal ataukah haram. Yang penting kebutuhan terpenuhi dan menghasilkan keuntungan.
Maka, untuk menghentikan kemaksiatan ini dibutuhkan tanggung jawab negara dengan menerapkan sistem Islam. Islam sebagai agama yang sempurna memiliki seperangkat aturan agar warga negara bersih dari perzinahan, diantaranya :
Pertama, diberlakukan sanksi yang tegas kepada semua pelaku prostitusi atau zina. Hukum cambuk bagi yang belum menikah dan hukum rajam bagi yang sudah menikah.
Kedua, penyediaan lapangan kerja. Karena seringkali alasan ekonomi menjadi faktor utama adanya kemaksiatan ini. Apabila negara memberikan jaminan kebutuhan hidup, maka hal ini tidak akan terjadi. Di sisi lain penyediaan lapangan kerja pun diutamakan untuk laki-laki, agar perempuan tidak perlu terjun untuk mencari nafkah.
Ketiga, pendidikan yang bermutu. Selain bersyaksiyah Islam, target pendidikan Islam juga menjadikan setiap insan memiliki skill/keahlian agar mampu bekerja dan berkarya dengan cara yang baik dan halal.
Keempat, lingkungan sosial masyarakat yang harus dibangun adalah masyarakat yang memiliki bi’ah (kebiasaan) amar makruf nahyi mungkar, sehingga tidak permisif terhadap kemaksiatan.
Kelima, yang paling penting adalah aspek politik. Karena untuk menyelesaikan masalah prostitusi ini membutuhkan kepada diterapkannya kebijakan yang berasal dari syariat Islam. Bukan sekadar nasihat, melainkan perlu dibuat undang-undang yang tegas mengatur keharaman bisnis apapun terkait pelacuran.
Demikianlah sinergitas antara individu, masyarakat dan negara dalam memberantas prostitusi. Hal tersebut hanya akan terwujud ketika semuanya menerapkan Islam sebagai acuan. Tidak dengan kompromi dalam kapitalis, tidak juga dengan percaya kepada demokrasi. Hanya dengan Islam saja.
Wallahu a’lam bish showab
Views: 2
Comment here