Oleh: Niswa (Aktivis Dakwah)
Wacana-edukasi.com— Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) 2020 telah selesai diselenggarakan pada tanggal 9 Desember. Hasil quick count di sejumlah daerah pun telah mengindikasikan kemenangan kandidat di beberapa daerah. Tidak sedikit dari kandidat yang unggul dalam perhelatan hajat demokrasi tersebut terhubung dengan pejabat yang sedang berkuasa maupun mantan pejabat.
Sebagai contoh, Gibran Rakabuming, putra dari Presiden Jokowi sebagai kandidat calon walikota Solo. Kemudian, Bobby Nasution, calon walikota Medan yang juga menantu Presiden Jokowi. Dimana kedua kandidat tersebut unggul dalam perolehan hasil perhitungan sementara di daerahnya masing-masing. Ada juga pasangan Pilar Saga Ichsan, keponakan dari Ratu Atut, yang berhasil unggul dalam perhitungan perolehan suara sementara untuk kandidat wakil walikota Tangerang Selatan.
Padahal, aturan pilkada pada tahun 2015, telah melarang kandidat pemimpin daerah mempunyai hubungan darah, ikatan perkawinan, atau mempunyai garis keturunan yang sama dengan petahana. Namun, aturan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitutsi (MK) dengan alasan diskriminasi.
Setelah pembatalan tersebut, berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh kandidat doktor Ilmu Politik Universitas Northwestern Amerika Serikat, Yoes C. Kenawas, menyatakan fenomena dinasti politik meningkat tajam di pilkada 2020 dibandingkan dengan 2015. Dari 158 calon peserta yang memiliki hubungan dan elit penguasa, 67 di antaranya berpotensi menang (cnnindonesia.com, 17/12/2020).
Definisi dinasti politik menurut laman wikipedia adalah kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Menurut para pencinta kekuasaan, kekuasaan layaknya emas dengan segala kegemilangannya yang harus dipertahankan, dan akan menimbulkan rasa takut jika kehilangannya.
Dalam praktiknya politik dalam demokrasi penuh dengan kepentingan dan kekuasaan yang seakan-akan tidak terbatas. Para penggila kekuasaan akan mengerahkan segala daya dan upayanya untuk mangamankan posisinya, dengan berlindung dibalik jargon: kedaulatan berada di tangan rakyat. Namun pada kenyataannya, jargon tersebut ilusi yang tidak pernah berhasil direalisasikan.
Rakyat hanya diberikan hak untuk memilih pemimpin yang sudah dipilih dan disaring oleh partai politik (parpol). Artinya kandidat yang akan dipilih tidak murni berdasarkan pilihan rakyat. Karena, struktur organisasi parpol sudah pasti akan fokus pada para pendiri parpol dan para pemberi modal demi keberlangsungan hidup parpol tersebut. Hal ini akan mengaburkan syarat-syarat kompetensi seorang pemimpin dan akan memuluskan lahirnya dinasti politik.
Dinasti politik ini akan menimbulkan berbagai efek yang berbahaya. Karena akan membuka peluang politik transaksional yang menjadi sumber korupsi, kolusi, dan nepotisme. Karena dalam prosesnya dinasti politik akan melibatkan pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh politik, yang menjadi modal dasar kemenangannya. Belum lagi, jika hal tersebut melahirkan pemimpin instan yang miskin akan pengalaman dan kemampuan dalam memimpin dan mengurus rakyat dalam praktiknya sebagai penguasa. Pada akhirnya rakyat yang akan menjadi sasaran korbannya.
Dengan demikian, tidak dapat dibantah lagi bahwa dinasti politik yang terjadi sekarang ini merupakan produk dari demokrasi yang lahir dari sistem kapitalis sekuler. Dimana setiap kebijakan yang dikeluarkan untuk memperjuangkan hak-hak rakyat hanya akan menjadi angan-angan belaka. Karena faktanya, hal tersebut akan selalu berbenturan dengan kepentingan-kepentingan kelompok ataupun parpol.
Berbeda dengan Islam, penerapan syariat islam yang kaffah melalui institusi Daulah Khilafah menetapkan tata cara pengangkatan pemimpin yang sederhana dan jauh dari permainan politik. Karenanya biaya yang dikeluarkan untuk prosesi pengangkatannya pun tidak membutuhkan biaya yang tinggi, sehingga menutup celah lahirnya regulasi rusak yang merupakan hasil kompromi dengan para pemilik modal selaku donatur tetap parpol.
Semua itu dapat terjadi karena pengangkatan khalifah hanya bertujuan untuk menjalankan dan mengurusi rakyat berdasarkan hukum Allah melalui kekuasaan yang berkeadilan bagi seluruh umat manusia. Hak-hak setiap rakyat untuk memilih khalifah secara langsung dipenuhi melalui proses baiat. Dimana proses baiat itu sendiri adalah pernyataan setia untuk menaati khalifah selama ia menerapkan hukum islam secara menyeluruh dan konsisten
Dengan demikian dalam sistem islam, hak untuk mengangkat seorang khalifah adalah hak setiap rakyat, bukan hak parpol ataupun penguasa sebelumnya. Sehingga benih-benih dinasti politik yang merusak dalam sistem Islam tidak akan muncul.
Seperti yang dicontohkan Khalifah Umar bin Khattab ketika beliau tertikam. Pada saat itu umat meminta beliau untuk menunjuk penggantinya, namun Umar menolak. Sebelumnya, hal ini juga terjadi pada saat Khalifah Abu Bakar merasa sakit yang dideritanya akan mengantarkannya pada kematian, beliau kemudian mengumpulkan kaum muslim untuk meminta pendapat mereka mengenai siapa yang akan menjadi Khalifah sepeninggalnya. Setelah mengetahui bahwa mayoritas umat menghendaki Umar sebagai penggantinya, maka Abu Bakar menunjuk Umar untuk menjadi Khalifah sesudahnya.
Namun, penunjukan tersebut bukanlah merupakan pengangkatan seorang Khalifah. Karena setelah beliau wafat, kaum muslim tetap datang ke masjid dan membaiat Umar untuk menjadi Khalifah. Proses baiat inilah yang mengesahkan Umar sebagai Khalifah, bukan dengan proses pegumpulan pendapat ataupun penunjukkan Abu Bakar.
Berdasarkan hal itu, kita dapat mendapatkan gambaran betapa sistem Islam sangat menjamin hak-hak rakyat untuk memilih seorang pemimpin. Dan pelaksanaan syariat Islam yang dilakukan oleh Khalifah dalam bingkai Daulah Khilafah akan menyelamatkan umat dari penyakit-penyakit sistem demokrasi kapitalis. Sehingga kesejahteraan rakyat dapat terwujud secara nyata.
Views: 26
Comment here