Oleh : Ema Fitriana Madi, S.Pd.
(Pemerhati Masalah Sosial)
wacana-edukasi.com, OPINI– Kisah pilu dialami oleh nenek Wa Ode Ede (70 tahun) asal Kota Raha, Kabupaten Muna. Ia tinggal dalam sebuah gubuk sempit di Jalan Made Sabara, Kelurahan Mandonga, Kecamatan Mandonga, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Dilansir dari Kendariinfo.com pada 16/11/2022, kondisi rumah Wa Ode Ede sangat memprihatinkan. Pun, kondisi kesehatannya sangat buruk, bahkan tidak bisa diajak berkomunikasi karena ia mengalami gangguan pendengaran. Rumah berukuran 2×4 meter yang terbuat dari papan dan beralaskan sarung untuk tidur tersebut menjadi tempat bernaung Wa Ode Ede dari terik matahari sejak puluhan tahun lalu. Rumah tak layak huni itu memiliki ruangan yang sempit dan tidak terurus. Bahkan, tidak mempunyai dapur dan kamar mandi. Ia tidak pernah berkomunikasi langsung dengan keluarganya. Kendati demikian, tetangganya pernah menghubungi keluarga dari nenek tersebut namun tidak ada respons.
Sangat disayangkan, pemerintah begitu getol mendengungkan kemajuan investasi dan pembangunan daerah, namun tidak demikian pada taraf kehidupan masyarakat, termasuk tidak ada jaminan bagi para lansia yang memiliki nasib seperti Wa Ode Ede di atas. Sangat memilukan. Lantas, mengapa hal seperti kerap terjadi di era Kapitalisme saat ini?
Nasib Pilu Kaum Lansia di Era Kapitalisme
Dewasa ini, para lansia kerap menjadi satu golongan masyarakat yang berada pada kondisi miris. Mereka kerap tidak diperhatikan masyarakat, bahkan oleh anak kandung sendiri. Akibatnya, tak jarang sebagian dari mereka hidup dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Jikapun ada yang cukup beruntung, mereka harus rela menghadapi masa tuanya bersepi diri di panti jompo. Padahal, panti jompo sendiri memiliki kemampuan terbatas, apalagi yang dikelola swasta melalui yayasan.
Sungguh, inilah fakta memilukan kaum lansia yang hidup di negeri kapitalisme. Semestinya, masa tua dimana kondisi tubuh tak lagi prima, kesehatan dan kemampuan fisik dalam melakukan berbagai aktivitas kian menurun, tentu adalah sebuah kebutuhan bagi mereka untuk mendapat perlakuan yang baik dan bantuan atas setiap kebutuhan asasinya dari orang-orang terkasih yang ada di sekitarnya.
Tentu yang paling dekat adalah sosok para buah hati mereka yang sedari kecil telah diurus, dididik dan dipenuhi beragam kebutuhannya dengan penuh kasih sayang. Namun, malangnya yang terjadi kini, banyak dari lansia yang ditelantarkan baik secara langsung dengan ditinggalkan, dititipkan ke Panti Werdha, bahkan yang lebih menyakitkan ada sebagiannya yang dibuang oleh anak-anaknya.
Jika dirunut terkait merebaknya fenomena ini, ada benang merah antara paradigma berfikir dari individu-individu yang hidup di masa kapitalis kini. Ketika sekulerisme merebak, agama menjadi sesuatu yang makin terjauhkan dari pengurusan kehidupan. Muncullah individu-individu masyarakat yang jauh dari tata aturan agama. Agama hanya dipakai dalam urusan ibadah mahdhah. Sementara, terkait urusan akhlak, adab, apalagi dimensi sosial kemasyarakatan Islami makin jauh dari kehidupan.
Selain itu, hidup di masa kapitalisme saat ini dirasakan demikian sempit dan serba sulit. Segala sesuatu diukur dengan banyaknya materi yang dimiliki. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan asasi pun, banyak kalangan masyarakat yang tak mampu untuk menjangkaunya.
Maka, tak heran jika kita menyaksikan begitu banyak bermunculan pribadi-pribadi yang jauh dari kata berakhlak mulia pada orangtua. Paradigma berfikir ala kapitalis sekuler dan kesulitan hidup sistemik ini, telah menjadikan orang-orang yang hidup di masa kini cenderung berfikir pendek. Materialistis dan individualistis. Mereka tak takut akan azab Allah ketika menelantarkan orangtua, lupa akan jasa dan curahan kasih sayang ayah ibu mereka. Mereka cenderung berani meninggalkan dan menelantarkan orang yang demikian berjasa bagi hidup mereka.
Sangat berbeda dengan paradigma Islam dalam memandang sosok orangtua. Para lansia, jika masih memiliki kekuatan fisik maka mereka akan bersama-sama dengan kaum muda untuk mendedikasikan dirinya dalam rangka taat akan aturan-Nya. Bahkan, tak sedikit para sahabat Rasul saw. yang berusia lanjut, masih demikian produktif dalam kancah jihad fisabilillah.
Ibnu Jarir berkata dari Hibban bin Zaid asy-Syar’abi, ia berkata, “Kami pernah ikut berjihad bersama Shafwan bin ‘Amr yang saat itu sebagai pemimpin daerah Himsh, dari Afsus hingga al-Jarajimah. Tiba-tiba aku melihat orang tua renta yang kedua alisnya sudah jatuh ke matanya (menunjukkan sangat tua). Ia penduduk Damaskus yang sedang berada di atas tunggangannya di antara orang-orang yang akan menyerang.”
Aku pun menemuinya dan bertanya, “Wahai paman, sesungguhnya Allah menerima alasanmu (untuk tidak ikut jihad).” Ia berkata, sedangkan kedua alisnya menjadi tegak, “Wahai keponakanku, Allah telah menuntut kita pergi jihad, baik dalam keadaan ringan maupun berat. Ketahuilah, barangsiapa yang dicintai Allah, niscaya Allah akan mengujinya, kemudian mengembalikannya (kepada Allah), dan mengekalkannya (di Surga-Nya). Sesungguhnya, orang yang diuji Allah di antara hamba-hambanya adalah orang yang bersyukur, bersabar, dan berzikir, serta ia tidak beribadah melainkan hanya kepada Allah Swt. saja.”
Sementara, bagi yang sudah lemah karena usia, maka Islam memandang bahwa mereka wajib mendapat perlakuan dan pengurusan terbaik dari anak-anaknya.
Islam Menjamin Pemenuhan Hak Lansia
Islam memandang, memuliakan orang tua bagi seorang muslim adalah jalan yang haq dalam menggapai rida Allah ‘Azza wa Jalla melalui orang tua dengan birrul walidain (berbakti pada kedua orangtua). Hal ini merupakan salah satu masalah penting dalam Islam. Di dalam Alquran, setelah memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan manusia untuk berbakti kepada orangtuanya.
Seperti tersurat dalam surat al-Israa’ ayat 23-24, Allah Ta’ala berfirman:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Artinya: “Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil’.” (al-Israa’: 23-24)
Jika para lansia tiidak memiliki keturunan, Islam memberi jaminan atas mereka untuk bisa menikmati masa tuanya dengan penuh ketenangan.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, negara memberikan ‘keamanan sosial’ bagi orang lanjut usia, dengan mengoptimalkan dana yang berasal dari kas publik. Hal ini karena pemerintahan dalam pandangan Islam (Daulah Khilafah Islam), wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan asasi setiap individu masyarakat dari segi sandang, pangan, dan papan. Juga, kebutuhan kolektif masyarakat berupa keamanan, pendidikan, dan kesehatan.
Dengan mekanisme yang merujuk pada hukum syara, negara akan mampu memberi jaminan tersebut dengan penuh kesungguhan dan semangat Lillahi ta’ala. Sungguh, amat berbeda kondisi para lansia di era kapitalis dengan di masa ketika Islam menjadi pedoman dalam mengatur setiap sendi kehidupan. Kesempurnaan syariat Islam hanya dapat terealisasi dalam sebuah institusi yang menaungi seluruh elemen bangsa dan mengurusi seluruh hajat rakyat, yakni Daulah Khilafah Islam yang mengikuti manhaj Nabi saw.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Views: 1
Comment here