Oleh: Tita Dewi Rosita, S. Psi. (Konselor Pendidikan Anak)
Wacana-edukasi.com — Indonesia masih dirundung duka. Berbagai musibah belum juga berhenti menimpa negeri ini. Banyak bencana alam yang terjadi, bahkan saat wabah penyakit yang diakibatkan oleh virus covid 19 yang masih menghantui. Seperti bencana banjir di Kalimantan Selatan yang menyebabkan ribuan rumah terendam air hingga mencapai 2-3 meter (jpn.com, 15/01/21).
Seperti yang dikutip dalam suara.com (15/01/21), Staf Advokasi dan Kampanye Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, M. Jefri Raharja mengatakan bahwa banjir tahun ini lebih parah dibanding dari tahun-tahun sebelumnya. Menurut data harian, dari awal tahun hingga tanggal 14 Januari 2021 sudah terjadi 57 peristiwa banjir di Kalsel yang memberikan dampak kepada sekitar 67.842 jiwa dan 19.452 unit bangunan rumah warga.
Peristiwa banjir tersebut terjadi setelah hujan deras mengguyur wilayah Kalsel hingga beberapa hari. Namun, apakah derasnya hujan merupakan faktor utama yang mengundang bencana?
Menurut Jefri curah hujan yang tinggi memang menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir, akan tetapi sebenarnya penyebab utama bencana banjir adalah karena kondisi ekologi di Kalsel yang memang sudah tidak baik lagi. Jika kondisi lingkungan di suatu daerah sudah tidak bersahabat, tentu tidak aneh jika akhirnya bencana alam rawan terjadi di daerah tersebut.
Masifnya aktivitas pertambangan serta perluasan perkebunan sawit layak mendapat tudingan sebagai penyebab rusaknya ekologi di Kalsel. Bagaimana tidak, hampir 50% dari total luas wilayah 3,7 juta hektar telah dibebani izin untuk usaha perkebunan kelapa sawit dan usaha pertambangan. Akibatnya daya tampung serta daya dukung lingkungan di Kalsel berada dalam kondisi darurat (suara.com, 15/01/21)
Pembukaan lahan untuk perluasan perkembangan sawit terus dilakukan. Pada tahun 2009 hingga 2011 terjadi peningakatan luas perkebunan sawit sebesar 14% yang kemudian terus meningkat sebanyak 72% di 5 tahun berikutnya (kompas.com, 15/01/21)
Pembukaan lahan untuk usaha pertambangan pun tidak kalah masifnya. Peningkatan luas lahan untuk pertambangan mencapai 13% hanya dalam kurun waktu 2 tahun. Pada tahun 2013 saja luas lahan yang dibuka untuk kepentingan pertambangan sudah mencapai 54.238 hektar. (kompas.com, 15/01/21). Dikutip dari suara.com (15/01/21) hingga tahun 2020 sudah terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif yang bahkan ditinggakan begitu saja tanpa reklamasi.
Peningkatan luas pembukaan lahan tentu berpengaruh pada menurunnya daya serap tanah. Alhasil lingkungan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan kondisi cuaca, hingga rawan terjadi kekeringan saat musim kemarau dan kebanjiran saat musin penghujan. Miris memang, kini bahkan Kalimantan selatan yang dijuluki sebagai paru-paru dunia itu pun kesulitan untuk bernafas. Hijaunya lahan akibat banyaknya pepohonan yang dahulu menjadi identitas Kalsel kini hanya tinggal kenangan.
Sistem hidup sekuler kapitalis yang kita anut saat ini layak menjadi tersangka utama yang mengakibatkan rusaknya lingkungan yang kita tinggali. Manusia sekuler tak memandang aturan agama sebagai hal yang penting untuk diperhatikan. Mereka tak peduli dengan perintah agama untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi.
Seperti dalam firman Allah Ta’ala dalam Q.S Al-A’raf, yang artinya:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Al-A’raf : 56).
Gaya hidup sekuler ini diperparah dengan sistem kapitalisme yang mengagungkan modal (baca: uang). Manusia dibuat rakus dan serakah hingga siap berbuat apa saja demi mendapatkan harta dunia. Membuka lahan demi meningkatkan produksi kelapa sawit dilakukan tanpa mengkhawatirkan dampaknya pada lingkungan. Lahan bekas galian tambang pun banyak yang ditinggalkan tanpa reklamasi, sebab upaya perbaikan lahan tentu memerlukan tambahan modal lagi. Hal ini tentu tak mereka senangi, sebab prinsip mereka adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya meski dengan modal seadanya.
Jika sudah demikian maka kerusakan alam adalah konsekuensi yang pasti terjadi. Maka kita tinggal menghitung hari hingga bencana alam kita alami. Benarlah firman Allah dalam QS. Ar Rum 41-42, yang artinya:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).”
Begitulah sistem hidup sekuler kapitalis yang kita anut sekarang, ia rusak dan merusak. Berbeda dengan sistem hidup islam yang ramah lingkungan. Di dalam sistem islam kita diperbolehkan untuk memanfaatkan kekayaan alam dalam rangka mencari penghidupan guna memenuhi kebutuhan. Akan tetapi pemanfaatan alam tentu dibarengi dengan sikap kehati-hatian agar tidak menyebabkan kerusakan lingkungan. Dalam sistem islam, manusia diatur untuk mengelola lingkungan dengan tetap menjaga kebaikannya. Sebab mereka mengelola alam disertai dengan keimanan, bukan dengan jahatnya hawa nafsu.
Sebagaimana perintah Allah Ta’ala dalam QS. Al Baqarah ayat 60,yang artinya:
“…dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: “Pukullah batu itu dengan tongkatmu,” lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan….”
Maka jika kita ingin kembali menjalin hubungan mesra dengan lingkungan alam, tentu kita harus terlebih dahulu memutuskan hubungan dengan sistem hidup sekuler kapitalis yang telah merusaknya. Kemudian menggantinya dengan sistem hidup islam yang ramah lingkungan. Sebuah sistem hidup yang tak hanya menjadi rahmat bagi manusia, tetapi juga bagi semesta alam.
Wallaahu a’lam bish shawwab.
Views: 38
Comment here