Opini

Islam Solusi Bullying Marak

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari

(Aktivis Generasi Peradaban Islam)

wacana-edukasi.com, OPINI– Bullying berujung tragis semakin mencoreng wajah dunia pendidikan hari ini. Lebih memprihatinkannya lagi pelaku dan korbannya pun ternyata masih usia belia di sekolah dasar.

Tragedi yang ramai dibicarakan terjadi di wilayah Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Jabar). Bullying yang kabarnya korban sampai meninggal dunia akibat dikeroyok oleh kakak kelasnya pada Senin (15/5/2023). Seakan menjadi trend, kasus bullying terus berulang kali terjadi, tidak hanya merusak psikologi anak, bahkan hingga memakan korban nyawa.

Tak hanya itu, belum lama di beranda lewat video viral seorang anak yang sedang jalan kaki berangkat sekolah dengan sang bapak. Di tengah jalan, si perekam penasaran dan bertanya akan ke arah mana bapak dan anak ini. Sang Bapak bercerita ingin mengantar anaknya ke sekolah SLB, sebab di sekolah yang sebelumnya si anak diganggu oleh temannya alias dibully hingga anaknya trauma dan meminta untuk pindah sekolah.

Kasus bullying wajib tak boleh diabaikan dengan anggapan mewajarkan kenakalan anak-anak, mengingat kasusnya sampai ada yang merenggut nyawa dan adapula yang memberikan efek trauma panjang ke korban. Memang dalam kebijakan negeri ini, pelaku yang notabene masih usia belia dianggap belum dewasa hingga belum bisa dihukum secara pidana. Akan tetapi sudah seharusnya ada langkah-langkah yang diambil sebagai pencegahan agar kasus serupa tidak berulang.

Efek Trauma Panjang

Bullying memberikan dampak panjang pada korbannya. Baik itu kekerasan fisik maupun verbal bisa berdampak traumatis dan membekas di ingatan korban. Tak jarang korban bullying juga dapat berpotensi melakukan perundungan kepada orang lain di kemudian hari. Adapula berimbas ke kejiwaan menjadikannya semakin menutup diri dari pergaulan sampai putus asa dan mengakhiri nyawa sebab merasa tekanan yang terlalu berat secara berulang.

Kenapa bullying masih tumbuh subur di Sekolah? Padahal sekolah itu justru adalah tempat mendidik generasi.

Potensi bullying bisa saja awalnya hanya candaan, karena senioritas, siswa paling tinggi kelasnya, merasa paling “hebat” hingga berani menindas, mengatur, merendahkan pihak yang dinilainya lemah. Juga ada yang disebabkan status ekonomi keluarganya.

Pendidikan Era Sekular Kapitalisme

Banyak hal yang berpotensi mempengaruhi perundungan, baik kurikulum pendidikan maupun pola asuh di keluarga maupun di masyarakat. Seorang anak ibarat kertas putih, ia bisa dengan mudah terwarnai dari apa yang ada di sekitarnya.

Hari ini visualisasi tanpa sensor di film yang mempromosikan adegan kekerasan atau mendorong persepsi negatif terhadap orang-orang yang berbeda juga dapat berperan mempengaruhi penontonnya. Selain itu, media sosial tempat nongkrong gaya baru di zaman ini juga dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku seseorang terhadap orang lain.

Teringat lagu di media sosial tik tok “ayo dong bantai kami, kalau elo punya nyali”. Lagu ini sempat viral dengan liriknya yang frontal menantang orang lain dengan kalimat yang kasar didengar. Walaupun divisualisasikan dengan guyonan, seakan mewajarkan adu kekuatan.

Di dunia perfilman ada pula yang bercerita tentang kasus bullying dimana akhir kisah korban melakukan balas dendam dengan kekerasan. Bukannya diredam, justru tontonan ini berpotensi memicu tindak kekerasan di pergaulan anak muda zaman sekarang.

Berdasarkan data Programme for International Students Assessment (PISA) 2018, Indonesia ada di peringkat kelima. Sebanyak 41,1 persen pelajar di Tanah Air mengaku pernah di-bully di sekolah.

Mengutip dari laman KemenPPPA, memandang bahwa kasus bullying di Indonesia sangat memprihatinkan dan perlu ada upaya yang holistik (keseluruhan) dan integratif (kerjasama) dalam pencegahan bullying. Upaya untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, bukan hanya tanggung jawab guru semata sebagai pendidik, namun seluruh sektor seperti orang tua sebagai pendidik utama, pemerintah, dunia usaha, lembaga masyarakat, media, dan masyarakat pada umumnya.

Realita Pendidikan Kejar Ijazah

Realita dunia pendidikan hari ini yang tidak berbasis pada nilai-nilai agama, hanya mengejar nilai akademik semata yang ujungnya menjadikan output dari pendidikan sekolah hanya sekedar kejar nilai ijazah. Imbasnya, mungkin nilai akademik anak tercapai tapi bagaimana dengan pemahaman dan akhlaknya?

Sejak usia dini semisal 2 tahun sudah dimasukkan ke playground, TK diajarkan calistung, sampai ke usia SD yang biasanya ditambah dengan les privat  guna meningkatkan nilai akademiknya di kelas. Jika nilai tercapai bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya dengan mudah menuju sekolah ataupun perguruan tinggi, maka ijazah memiliki prestise tersendiri ketika waktu kelulusan tiba. Stereotipnya dengan ijazah maka mudah mencari pekerjaan dibanding dengan mereka yang tidak memiliki ijazah.

Sistem pendidikan yang materialistik ini terbukti gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus menguasai iptek. Secara formal kelembagaan, sekularisasi pendidikan dimulai dari kurikulum pendidikan sekolah hari ini, bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh standar nilai agama.

Kalaupun ada hanya etik yang bersandar pada nilai-nilai logika kemanusiaan, bukan berpedoman pada aturan syariat agama sehingga lahirlah manusia yang kosong akan motivasi ruhani dalam beramal. Padahal, dalam banyak riset ditemukan bahwa faktor dorongan rohani merupakan motivasi paling kuat dibanding faktor lain dalam pertimbangan berbuat individu manusia. Ini menjadi jurang pembentukan mental anak dengan segala ekspektasi orangtua, juga sekolah jika tidak dibekali pemahaman akan akhlak.

Menurut Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, 15,5 juta (34,9 persen) remaja mengalami masalah mental dan 2,45 juta (5,5 persen) remaja mengalami gangguan mental. Dari jumlah itu, baru 2,6 persen yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku. Feb 1, 2023

Mirisnya budaya bullying menjadi lebih agresif di kalangan anak SD. Tak hanya sebab sistem pendidikan yang buruk, tontonan yang tidak ramah bagi anak usia dini mudah sekali di jumpai di media sosial. Walaupun anak tidak bisa membuat akun pakai data diri tapi celah memakai akun orangtuanya ataupun membuat data palsu angka kelahiran mudah saja dilakukan. Dengan begitu apapun konten di media sosial yang minim  filter usia anak, saat ditonton berefek menjadi tuntunan.

Krisis Multidimensional

Budaya bullying yang turun temurun disebabkan banyak faktor menjadikan generasi hari ini memiliki banyak kendala. Akhirnya generasi hari ini disematkan sebagai generasi strowberry. Cantik di luar namun rapuh saat mendapat tekanan. Kalaupun maju dari segi ilmu namun minim akhlak bisa menimbulkan kemerosotan moral, ketidakpedulian terhadap sesama manusia juga lingkungan, kezhaliman bahkan perilaku bullying membudaya sampai hari ini.

Bukan tanpa sebab, lemahnya pendidikan anak hari ini. Secara faktual, pendidikan melibatkan tiga peran pelaksana: ada keluarga, sekolah dan masyarakat. Sinergi ketiganya hari ini belum berfungsi dengan maksimal. Ketika pendidikan anak di rumah minim ilmu agama akhirnya memberikan beban pada sekolah, sementara pendidikan yang diterima dari sekolah tidak kalah minimnya dan hanya fokus ke nilai dan fisik, ditambah kurangnya kepedulian/ kontrol masyarakat, maka lengkaplah kehancuran tiga pilar ini.

Kacaunya kurikulum hari ini tak lepas dari pengaruh asas sekular. Menjadikan orangtua, guru dan masyarakat fokus mencari kesejahteraan. Kurikulum pendidikan dalam sistem kapitalisme-sekular terbukti gagal menjadikan peserta didik menjadi generasi berilmu dan berakhlak.

Solusi Sistemik

Dalam pandangan Islam, manusia diciptakan oleh Pencipta untuk beribadah kepadaNya. Makna ibadah menurut istilah ada dua pengertian, yakni khusus dan umum. Muhammad Husein Abdullah dalam kitab Dirasaat Fil Fikri Islamy memberikan pengertian khusus ibadah sebagai mentaati perintah dan larang Al Khaliq. Dalam pengertian umum ibadah bermakna mengikatkan diri dengan seluruh hukum-hukum Al Khaliq. Sebagaimana Allah Swt. sampaikan dalam Qs. Adz Dzariyaat ayat 56:

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”

Selayaknya manusia khususnya umat Islam tidak memisahkan agama dari dunia pendidikan termasuk mengatur kebijakan sebuah negara. Allah menyerukan untuk beribadah yaitu mengikat diri dengan standar hukum Allah, bukan asas manfaat yang sangat subjektif seperti dalam sistem Kapitalis-sekular.

Sinergi peran antara keluarga, pendidikan di sekolah juga masyarakat hanya akan dapat terkondisikan dengan menggunakan standar sistemik, yaitu sistem Islam.

Keluarga sebagai madrosatul ‘ula, pendidik pertama anaknya di rumah membekali dengan pemahaman aqidah (keyakinan terhadap adanya Pencipta dan Hari Perhitungan) hingga terbentuk kepribadian yang berakhlak.

Adapun pendidikan formil di sekolah menjadi tanggung jawab negara. Memberikan pendidikan yang bermutu, termasuk penyediaan dana yang mencukupi, sarana, prasarana yang memadai juga termasuk SDM tenaga pengajar yang bermutu. Dengan sekolah memiliki output generasi berilmu dan beriman.

Pendidikan ditopang dua elemen sistem besar, ada ekonomi dan politik. Dimana politik melahirkan kebijakan termasuk kurikulum, sementara ekonomi melahirkan pengelolaan sumber ekonomi dan dana. Kedua fungsi ini akan saling menunjang penyelenggaraan umum termasuk dunia pendidikan.

Kurikulum yang dibuat mengarahkan generasi tak hanya maju dalam iptek tapi juga memiliki akhlak yang baik terhadap guru juga sesama temannya. Terjaminnya kebutuhan tenaga pendidik menjadikannya lebih mudah untuk fokus dalam mengajar.

Gambaran ketika Islam menjadi sebuah sistem negara di masa Kekhilafahan Umar Bin Khattab. Menurut Al Badri (1990), Ad Damsyiqy menceritakan suatu kisah dari Al Wadliyah bin Atha’, yang mengatakan bahwa ada 3 orang guru yang mengajar anak-anak di Madinah setiap bulannya diberikan gaji sebesar 15 dinar (satu dinar setara 4,25 gram emas).

Model pendidikan ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam dan dilaksanakan sedemikian rupa pada masa kejayaan Islam jelas hanya bisa dilaksanakan oleh negara. Sebab hanya negara yang memiliki otoritas penuh bagi penyelenggaraan pendidikan termasuk menciptakan kondisi yang kondisif di tengah masyarakat agar senantiasa sesuai dengan visi misi pendidikan.

Maka, dari paparan ini jelas hanya dengan sistem Islam lah yang mampu mencetak generasi berilmu sekaligus berakhlak mulia yang dapat menghilangkan budaya bullying kronis ini secara tuntas.

Wallahu’alam

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 58

Comment here