Oleh Meitya Rahma
wacana-edukasi.com– Pergaulan remaja saat ini begitu miris. Dari mulai pacaran sampai hamil diluar nikah. Seperti yang dialami siswi SMA di Karanganyar yang hamil. Dia menyembunyikan kehamilan selama berada di lingkungan sekolah. Setelah mengalami kontraksi ketika mengikuti jam pelajaran dan akhirnya melahirkan. Siswa SMA di Jumapolo Karanganyar ini akhirnya dinikahkan. Kapolsek Jumapolo AKP Hermawan menjelaskan, pihaknya turut mendampingi kasus siswi SMA tersebut (KOMPAS.com,10/9/22). Berdasarkan pengakuan siswi itu, dirinya dihamili oleh pacarnya dari SMA yang berbeda. Perkara tersebut kemudian diselesaikan secara kekeluargaan. Kedua pihak menyepakati keduanya dinikahkan. Dispensasi nikah pun harus ditempuh di PA Karanganyar, karena keduanya belum genap usia 19 tahun (Tribun Solo,9/9/2022). Siswi tersebut masih ingin lanjutkan sekolah tapi tidak disekolah lam. Dia mau bersekolah lagi asalkan pindah ke SMA lain. Kejadian seperti ini tidak hanya di sekolah ini saja mungkin. Kebijakan sekolah, apakah mengeluarkan atau masih bisa bersekolah di sekolah tersebut, tergantung aturan sekolah .
Namun jika menilik pasal 32 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, maka setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Ini memiliki arti bahwa tidak terkecuali para siswi yang tengah hamil ataupun melahirkan. Mereka berhak bersekolah. Pada kenyataannya, masih ada siswa sekolah yang hamil, lalu tidak mendapatkan hak yang sama dengan pelajar lainnya. Mereka justru dikeluarkan hingga tidak dapat mengikuti Ujian Nasional (UN). Psikolog anak dan pendidikan Karina Adistiana mengungkapkan hendaknya sekolah tidak menjatuhkan sanksi kepada siswi yang hamil. Karena menurutnya, pendidikan adalah hak semua seperti dalam pasal 32 UUD 45. Jadi anak yang hamil tidak boleh diberi sanksi. Oleh karena itu, katanya, sangat penting bagi pihak sekolah untuk memiliki aturan dan Standar Operasional Program (SOP) yang jelas menyangkut kasus pelajar hamil. Tidak hanya kasus kehamilan, sanksi atas pelanggaran lain yang dilakukan pelajar pun harus disosialisasikan sejak awal kepada siswa maupun orangtua. (Okezone, 5/4/2022).
Kasus seperti ini siapa yang kemudian disalahkan? Sekolah? Orangtua? Guru si Anak itu sendiri? Kasus pergaulan bebas memang sungguh membuat keprihatinan para pendidik juga para orangtua sendiri. Dalam budaya yang serba permisif, media sosial dengan konten-konten yang tidak mendidik membawa generasi menjadi generasi amoral. Menjadi seperti apakah negeri ini nantinya ketika generasinya mengalami dekadensi moral. Sistem kapitalis sekuler telah membuat kualitas generasi-generasi muslim jauh dari nilai-nilai agama. Budaya permisif, bebas membuat mereka kehilangan jatidiri, kepribadian Islam pada jiwa generasi muslim pun tak terwujud.
Peran keluarga sebagai madrasatul ula (pendidikan pertama) pun terkikis pelan-pelan. Akibat dari pemahaman agama para orang tua kurang, tuntutan ekonomi, konflik antara suami dan istri. Akhirnya anak yang menjadi korbannya. Tak memiliki cukup pegangan agama, tak ada tempat yang nyaman ketika kembali ke rumah. Mereka asyik bercerita dengan temannya, tapi tidak dengan orang tuanya.
Media sosial juga memberi pengaruh negatif pada generasi. Konten-konten yang tidak mendidik cenderung unfaedah diperparah dengan konten pornografi banyak mempengaruhi pikiran mereka. Akibatnya, yang ada dalam pikirannya adalah sesuai apa yang dilihat di konten-konten tersebut.
Lingkungan sekolah, dengan tuntutan kurikulum saat ini, meminimalisir pelajaran agama. Pergantian kurikulum dari masa ke masa tidak membuat kualitas pendidikan bagus, malah semakinp bobrok. Kualitas pendidikan pun hanya mencetak generasi yang bagus secara keilmuwannya namun minim pemahaman tentang agama. Kerusakan generasi ini merupakan buah dari sistem kapitalis sekuler.
Harus ada solusi untuk masalah generasi ini. Karena jika tidak segera diatasi maka generasi kita nanti akan menjadi generasi yang tak lagi mau menyeru umat dengan Islam. Generasi yang tidak lagi mengenal bahwa Islam sesuatu yang mulia, patut diperjuangkan. Yang mereka kenal nantinya adalah hidup semau mereka, berbuat bebas. Budaya permisif, bebas mulai menjangkiti generasi. Akhirnya generasi faqih fidiin tak akan pernah terwujud ketika sistim sekuler masih bercokol di neger ini. Butuh sistim yang bisa memperbaiki generasi saat ini. Semoga segera terwujud sistim Islam dalam sebuah institusi negara. Karena generasi merupakan aset yang nantinya akan melaksanakan estafet pembangunan. Jadi negara haruslah mampu untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi generasi.
Views: 25
Comment here