Oleh : Mega Lestari
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
wacana-edukasi.com– Tanggal 10 Oktober lalu diperingati sebagai “Hari Kesehatan Mental Dunia”. Melansir situs World Health Organization (WHO) di Hari Kesehatan Mental Sedunia pada tahun 2022, yang mengambil tema “Make Mental Health for All a Global Priority” dengan maksud menjadikan kesehatan mental untuk semua sebagai prioritas global atau mendunia.
WHO membuat tema demikian memang tidak serta merta menjadikannya sekedar tulisan pemanis dalam memperingati hari tersebut. Lebih dari itu, sebab kasus gangguan mental merupakan salah satu masalah kesehatan yang tengah banyak dihadapi masyarakat saat ini, mulai dari remaja hingga lansia.
Hal ini menyadarkan kita bahwa kesehatan mental perlu diperhatikan penanganannya. Seluruh anggota masyarakat perlu terlibat dalam hal tersebut. Mulai dari hal yang paling kecil namun akan benilai besar yaitu dengan memberikan dukungan sosial.
Belum lama berita kasus bunuh dirinya seorang pemuda yang berstatus sebagai mahasiswa dari salah satu universitas ternama di Indonesia yang mengakhiri hidupnya dengan cara melompat dari lantai 11 sebuah hotel dekat dengan kampusnya berada mengejutkan banyak orang.
Kejadian tersebut disinyalir akibat dari masalah psikologis yang ia alami. Kasus tersebut menambah rentetan kasus bunuh diri yang sebelumnya diakibatkan oleh permasalahan yang serupa. Seperti kasus bunuh dirinya seorang gadis berusia 21 tahun di salah satu mall kawasan Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Sebelum bunuh diri, ia meninggalkan sebuah surat berisi pesan bahwa ia mengalami masalah finansial dan kendala belum mendapatkan pekerjaan. Hal itu diduga menjadi akibat dari peristiwa bunuh dirinya gadis malang tersebut.
Dari dua kasus yang mencuat ke publik tadi, kita bisa memahami bahwa dalam menjalani kehidupan sehari-hari setiap manusia senantiasa akan dihadapkan dengan berbagai masalah. Hal itu dapat menjadi beban mental bagi seseorang jika ia tak kunjung mendapatkan solusi agar permasalahannya terurai. Niscaya jika terus menerus bertumpuk permasalahannya bisa mengganggu kesehatan mentalnya. Dua kasus tersebut mencerminkan kondisi darurat kesehatan mental dalam dunia remaja.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerjasama dengan University of Queensland di Australia dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Amerika Serikat (AS) menemukan bahwa 1 dari 20 remaja di Indonesia terdiagnosis memiliki gangguan mental.
Maraknya kasus bunuh diri juga dibuktikan dengan data BPBD Surabaya yang menunjukkan bahwa terjadi 11 kasus bunuh diri dari bulan Januari hingga Oktober 2022 ini. Begitupun dengan Kota Pontianak, dari data Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Polresta Pontianak, tercatat 10 kasus bunuh diri dari bulan Januari hingga September 2022. Diakui bahwa kasus bunuh diri pada tahun 2022 mengalami peningkatan. Seperti yang telah dilansir oleh Pontianak Post, Kepala Satreskrim Polresta Pontianak, Kompol Indra Asrianto menyayangkan hal tersebut karena di tahun sebelumnya hanya tercatat 3 kasus saja.
Seperti fenomena gunung es, realita yang tak nampak jauh lebih banyak. Terlihat dari hasil penelitian kasus bunuh diri yang dilakukan oleh yayasan Emotional Health For All (EHFA) menemukan bahwa tingkat bunuh diri di Indonesia mencapai empat kali lipat dari angka kasus yang dilaporkan. Seperti yang dilansir pada laman resmi Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP) terdapat 670 kasus jumlah kasus bunuh diri yang resmi dilaporkan. Selain itu terdapat lebih dari 303 persen kasus bunuh diri yang tidak dilaporkan. Data tersebut diperoleh berdasarkan dari perbandingan data kepolisian dan SRS.
Fakta lainnya terdapat pada data Kementrian Kesehatan saat dilakukan Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) pada tahun 2018, ditemukan bahwa gangguan mental emosional pada penduduk di bawah 15 tahun naik dari 6,1% atau sekitar 12 juta penduduk (Rikesdas 2013) menjadi 9,8% atau sekitar 20 juta penduduk.
Serangkaian fakta tersebut cukup membuat hati tertegun. Stres dan depresi yang kini menjadi masalah kesehatan mental utama tak boleh disepelekan. Hal ini sangat penting diperhatikan kesehatan mental seseorang, terutama pada remaja. Mengingat masalah kesehatan ini membuat banyak jiwa yang menyerah hingga berani mengakhiri hidupnya dengan mudah.
Lalu sebenarnya bagaimana cara menyikapi problematika kesehatan mental ini? Apakah ada solusi tuntas yang bisa memutus rantai kasus bunuh diri?
Menemui praktisi kesehatan (Psikiater) atau dengan pendekatan agama bisa dilakukan sebagai pertolongan pertama. Psikiater dari segi medis diperlukan jika kondisi betul-betul sampai depresi berat. Penanganan dengan obat penenang terkadang diperlukan. Dari sisi lain, agama Islam sebagai pedoman hidup telah memberikan solusi tuntas dalam menyelesaikan permasalahan termasuk kesehatan mental.
Dijelaskan dalam kitab suci Al-Qur’an yang memiliki fungsi sebagai asy-Syifa. Penyembuh berbagai macam penyakit fisik maupun psikis (jiwa). Seperti apa yang tertera di dalamnya, Allah SWT berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ قَدْ جَآءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِ ۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّـلْمُؤْمِنِيْنَ
“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.” (QS. Yunus 10: Ayat 57)
Adapun secara umum sehat mental merupakan kondisi batin di mana hati senantiasa merasa tenang, aman, dan tentram. Dalam kitab karya Syaikh Taqiyyudin An Nabhani menjabarkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial memiliki naluri dalam beragama, yaitu naluri untuk mensucikan sesuatu. Naluri yang senantiasa mencari pertolongan, menghamba, berkeluhkesah atas segala kesulitan yang menimpanya pada sang Maha Pencipta untuk mendamba kedamaian. Dan hal tersebut merupakan fitrah seorang manusia.
Dalam kitab suci Al-Qur’an ada banyak surah yang menjelaskan mengenai kesehatan, termasuk ketenangan jiwa, yang dapat diraih dengan cara berdzikir kepada Allah.
Allah SWT berfirman:
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَ لَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d 13: Ayat 28).
Nasi telah menjadi bubur, mereka yang telah menghabisi diri mereka sendiri dengan tragis, tidak lain adalah korban sistem kehidupan saat ini. Sistem negara yang membiarkan rakyat harus berjuang sendiri menghadapi himpitan ekonomi yang semakin hari kian mencekik membuat rakyat tak henti memekik. Sistem negara yang begitu abai atas kesusahan dan keperihan rakyatnya. Negara telah gagal untuk menciptakan rasa aman, tentram, tenang di dalam benak seluruh rakyatnya.
Sistem negara kini membuat muslim terutama remaja menjauh dari syari’at, menyimpang dari fitrah. Masyarakat sekarang terutama generasi muda begitu minim pemahaman agama, serta tidak adanya penanaman akidah. Pantas saja kini ada begitu banyak yang tersesat, diluar kendali berani menyakiti dirinya sendiri atau bahkan orang lain. Apapun ketika tidak sesuai fitrah, niscaya akan menemui kegelisahan dan tidak akan ada ketentraman. Cacatnya sistem Sekularisme telah menjauhkan umat Islam dari agamanya yang mampu memberikan solusi kehidupannya.
Sementara Islam memiliki aturan dan panduan lengkap dalam segala aspek kehidupan, mulai dari masuk kamar mandi hingga bernegara. Tuntunan Islam adalah yang terbaik, tanpa disadari mampu dijadikan metode dalam menyelesaikan maupun mencegah terjadinya masalah kesehatan mental. Maka, solusi terbaik adalah kembali ke fitrah dengan kembali kepada aturan sang pencipta kehidupan, Allah swt. Dengan demikianlah rahmatan lil ‘alamin akan dirasakan umat manusia secara umum.
Wallahu a’lam bishowab
Views: 160
Comment here