Oleh Sriyanti (Aktivis Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Seorang laki-laki berinisial HP (31) warga Kampung Pasantren Desa Sukamukti Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung, ditemukan tewas di rumahnya pada Rabu, 31/07/2024. Menurut keterangan saksi, peristiwa tersebut terjadi setelah korban saling cekcok dengan istrinya yang berinisial SRM (23). Diduga kuat pertengkaran pada pasangan suami-isteri tersebut dikarenakan terjerat judi online. Komisaris Polisi Asep Surahman Kapolsek Katapang, membenarkan adanya kejadian ini. Tim Inafis Polresta Bandung pun sudah melakukan evakuasi jenazah di tempat kejadian perkara. (Tribunjabar.id 31/07/2024)
Mati satu tumbuh seribu, inilah yang terjadi dengan situs judi online. Walaupun pemerintah mengaku telah menutupnya, namun perjudian justru kian marak. Kasus terjadi di berbagai wilayah, termasuk salah satunya di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Menurut data dari Satgas pemberantasan judol, Jabar sendiri bertengger di tingkat pertama dengan jumlah pelakunya sebanyak 536.644 orang. Aktivitas haram ini telah menjerat berbagai lapisan masyarakat, seperti aparat, pejabat, pengangguran, laki-laki, perempuan, baik tua maupun muda, bahkan pelajar dan anak-anak.
Kerusakan yang disebabkan oleh kasus judi online pun sangat beragam, mulai dari kerugian finansial, gangguan mental, perceraian, kriminalitas, bunuh diri, pembunuhan dan sebagainya. Fakta di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus yang terekspos. Menurut keterangan dari pengadilan agama Kabupaten Bandung, angka perceraian di wilayah ini pun semakin tinggi, 10 persen penyebabnya adalah karena judol.
Jika ditelisik lebih mendalam, setidaknya ada dua faktor utama kasus judi online semakin marak yaitu masalah ekonomi dan kemudahan akses. Kemiskinan, sulitnya mencari pekerjaan, juga kesulitan hidup lainnya, telah menjadikan sebagai masyarakat tergiur untuk mencari uang dengan cepat dan mudah, seperti dengan berjudi. Ditambah lagi mereka diberi kemudahan akses untuk melakukan aktivitas haram tersebut, hal ini sangat relevan terjadi di kondisi hidup yang demikian sulit.
Terlebih dalam naungan kapitalisme yang saat ini diberlakukan, sistem ini telah menyebabkan merebaknya gaya hidup yang materialistis dan individualistis yang berimbas pada rapuhnya kepribadian masyarakat. Begitu juga dari segi perekonomian, kapitalisme telah menyebabkan kesenjangan baik sosial maupun ekonomi yang begitu jelas di antara manusia. Si kaya semakin kaya, si miskin bertambah sengsara. Bagi kalangan bawah judol dijadikan sarana mencari rezeki, sementara bagi golongan atas judi ini dijadikan bisnis yang menguntungkan. Maka dari itu menjamurnya perjudian bersifat sistemik, dan harus segera diatasi agar kebahayaan dan kerusakan dari kemaksiatan tersebut bisa dihentikan.
Namun sayang di tengah kerusakan yang melanda, pemerintah seolah tidak berdaya. Kebijakan yang dikeluarkan untuk masalah ini, ibarat panggang jauh dari api. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PKM) Muhadjir Effendi, bahwa untuk kasus judol pemerintah akan melibatkan tokoh-tokoh keagamaan, untuk mengedukasi masyarakat secara masif.
Sementara itu pelaku judi dianggap sebagai korban, yang harus diberikan santunan sosial. Kemudian dari segi hukum, penanganan terhadap masalah ini sangatlah lemah karena tidak dianggap sebagai tindak kejahatan. Sehingga langkah yang dilakukan aparat bukanlah penangkapan tapi pemulihan, pihak berwajib sendiri menyebutkan, jika para pelaku judi online ditangkap penjara akan penuh. Selain itu terkait dengan UU ITE yang tajam pada masalah radikalisme, namun tumpul pada kasus judol. Meskipun pemblokiran terhadap situs-situsnya telah dilakukan tapi tidak berefek, seolah negara telah kalah canggih.
Hal ini Sangat berbeda dengan sistem pemerintahan Islam, yang menganggap bahwa perjudian dengan segala bentuknya dipandang sebagai aktivitas haram yang tidak boleh dilakukan. Sebagaimana firman Allah Swt.
“Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kalian beruntung.” (Qs Al Maidah 5: 90)
Adapun upaya yang dilakukan negara untuk mencegah kemaksiatan itu, di antaranya adalah senantiasa membangun serta menguatkan keimanan individu masyarakat, agar tidak terjerumus pada kemaksiatan termasuk perjudian. Negara akan menerapkan sistem ekonomi sahih, yang berorientasi pada terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok individu maupun kolektif umat. Untuk jaminan itu semua, pemerintah akan menggunakan dana dari Baitul mal, dimana salah satu pos pemasukannya berasal dari hasil pengelolaan sumber daya alam sebagai kepemilikan umum. Dengan demikian, masyarakat akan hidup sejahtera karena diberikan kemudahan untuk mengakses kebutuhannya. Maka rakyat tidak mengalami kesulitan hidup, sehingga tidak menjadikan perbuatan dosa seperti judi sebagai sarana mencari nafkah.
Dari sisi hukum negara akan menerapkan sanksi yang tegas dan berefek jera. Hukuman atas kemaksiatan ini adalah takzir, kewenangan serta jenisnya diserahkan pada penguasa atau qodhi baik berupa penjara atau cambuk. Begitu pula dengan tanggung jawab negara terhadap keberadaan media dan industri digital. Perannya sebagai pelindung akan memastikan bahwa teknologi dengan beragam aplikasi digital yang saat ini berkembang pesat, tidak akan berdampak buruk pada penggunanya. Apalagi jika sampai menjerumuskan pada kemaksiatan. Negara akan segera memblokir atau menutup aksesnya dengan aturan tegas yang dimilikinya.
Itulah sedikit gambaran tentang bagaimana negara dalam sistem pemerintahan Islam, memberantas dan melindungi rakyatnya dari perbuatan dosa seperti judi online. Oleh karena itu hanya dengan penerapan aturan Islam sajalah kejahatan ini bisa diberantas dengan tuntas.
Wallahu a’lam bi ash shawab.
Views: 9
Comment here