Oleh: Risma Ummu Medinah
Wacana-edukasi.com, OPINI– Minyakita yang diluncurkan oleh Kementerian Perdagangan pertama kali pada tahun 2022 memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan harga terjangkau. Minyak bersubsidi tersebut sejak kemunculannya mengalami berbagai masalah mulai dari kelangkaan di pasaran, kenaikan harga diatas HET sampai volume takaran yang dikurangi.
Kecurangan Minyakita banyak terungkap di berbagai daerah diantaranya Jawa Tengah dan Kabupaten Bone Bolango Gorontalo yang mengemas ulang minyak goreng curah menjadi Minyakita kemudian dijual diatas HET Rp 14.000 per liter. (Tempo.co.id, 15/3/2025)
Menteri Pertanian Andi Amran dalam sidaknya menemukan tiga produsen yang telah melakukan kecurangan dalam takaran isinya dan harga yang diatas HET yaitu PT Artha Eka Global Asia, Koperasi Produsen UMKM Koperasi Terpadu Nusantara (KTN), dan PT Tunasagro Indolestari yang akan diproses secara hukum dan ditutup.
Namun, KPPU ( Komisi Pengawas Persaingan Usaha) menguak ternyata pemerintah memiliki utang senilai Rp. 700 milyar kepada produsen dan distributor minyak goreng sejak diterbitkan 2022 sebesar Rp. 344,4 milyar sehingga total sebesar Rp. 1,1 Triliun. Ketua KPPU menduga utang pemerintah kepada pelaku usahalah yang menjadikan mereka menaikkan harga CPO dan minyak goreng premium di pasaran. (CNBC,10/3/2025)
Masalah yang terus berkelindan dalam minyak goreng menunjukkan ada pengaturan yang salah dalam regulasi yang diterapkan pemerintah. Sistem ekonomi kapitalis sekuler yang diterapkan memberikan pengaturan kepada pihak swasta dari mulai hulu sampai hilir. Artinya dalam hal produksi dan distribusi semua dilimpahkan kepada pihak swasta.
Sistem ekonomi kapitalisme melegalkan swasta menguasai harta milik umum seperti hutan, perkebunan sawit, dan penguasaan produksi serta distribusi. Akibatnya para produsen dengan berpijak asas materi akan memanfaatkan peluang untuk terus menambah pundi pundi keuntungan. Begitupun dan distribusi banyak para mafia kartel yang telah sama-sama curang dengan landasan yang sama untuk meraih materi sebanyak-banyaknya.
Hal inilah yang harus dipahami oleh umat. Huru-hara Minyakita adalah wajar ketika pengaturan itu tidak diatur oleh Islam. Adanya kesepakatan yang dibuat antara penguasa dengan pengusaha ternyata berdampak pada kerugian yang sangat besar terhadap masyarakat kecil.
Tentu berbeda ketika Negara Islam (baca: Khilafah) yang tegak atas landasan akidah Islam jika hal tersebut diterapkan, maka struktur ekonomi dan bisnis pun sepenuhnya terikat dengan ketentuan syara.
Kepemilikan umum yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti hutan harus dikuasai dan dijalankan oleh negara. Empat sumber ekonomi utama seperti pertanian, perdagangan, jasa dan industri bisa dimiliki dan dijalankan oleh seluruh rakyat sesuai ketentuan syariah.
Setiap rakyat bisa memiliki lahan pertanian dan dimanfaatkan sesuai dengan perutukannya. Perkebunan sawit pun yang termasuk dalam sektor yang bisa dimiliki individu tapi tidak dibiarkan begitu saja.
Sebagaimana dalam buku Sistem Ekonomi Islam karya Syekh Taqiyuddin An Nabhani, kepemimpinan Islam akan mengatur tata kelola perkebunan sawit dan memastikan optimalisasi penyediaan bahan baku minyak goreng (CPO) oleh para petani. Apabila ditemukan bahwa penyediaan CPO sedikit karena kekurangan lahan sawit, maka negara akan membuka lahan hutan dan alih fungsi lahan itu sepenuhnya dikelola oleh negara bukan perusahaan.
Negara Islam (Khilafah) akan mengurusi kepemilikan umum dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Tidak akan ada simbolis mutualisme antara penguasa dan pengusaha. Tidak seperti dalam sistem kapitalis liberal hari ini. Negara khilafah menjadi negara yang kuat, karena mempunyai sumber pemasukan yang luar biasa. Adanya sumber kekayaan yang berlimpah, dipastikan negara akan mampu dengan sempurna untuk menjamin distribusi minyak goreng yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Khilafah juga akan melakukan pengawasan yang sangat ketat dalam mengendalikan kestabilan harga dengan menjaga keseimbangan antara penawaran dan permintaan (supply dan demand). Dengan demikian, harga akan mengikuti hukum pasar bukan dipatok dengan alasan agar tidak naik. Justru dengan mematok harga pada waktu yang lama akan terjadi inflasi dan mengurangi daya beli mata uang. Sehingga dalam Islam mematok harga adalah keharaman.
Sebagaimana zaman Rasulullah SAW beliau menolak untuk mematok harga dan bersabda, “Allah-lah yang zat Maha Mencipta, Menggenggam, Melayangkan rezeki, Memberi Rezeki, dan mematok harga.”(HR Ahmad dari Anas)
Negara juga akan menyuplai barang dari wilayah lain apabila permintaan banyak sementara ketersediaan barang terbatas. Negara khilafah akan mengontrol semua praktik yang merusak pasar seperti kecurangan, monopoli, kartel, magia, penimbunan dan lain-lain. “Tidaklah melakukan penimbunan kecuali orang-orang yang berbuat kesalahan.”
Negara akan menjatuhi sanksi ta’zir bagi pelaku penimbunan dan penipuan. Maka disinilah peran Qadhi Hisbah sebagai hakim yang bertugas mengadili pelanggaran hukum syara diluar mahkamah. Qadhi Hisbah akan melakukan rutin inspeksi pasar sebagai bentuk pengawasan rantai distribusi dan menghilangkan segala penyebab distorsi pasar.
Begitulah Islam dengan syariat sempurna nya akan terikat sepenuhnya pada hukum syara. Ketakwaan yang menjadi pondasi Negara Khilafah akan saling sinergi antara individu, masyarakat dan negara. Dengan demikian, hanya Islam yang hanya mampu memberikan solusi dengan tuntas huru-hara atau polemik kasus minyak goreng. [WE/IK].
Views: 19
Comment here