Oleh : Ummu Syifa (Aktivis Muslimah Kal-Sel)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Hampir setiap hari ada berita anak terlibat kriminalitas. Kejahatan anak saat ini bukan sekadar terbawa lingkungan pertemanan orang dewasa, tapi juga sebagai otak dan eksekutor. Misalnya ketika merencanakan pencabulan bahkan sampai pembunuhan pada korban yang tampak pada beberapa kasus.
Seperti adanya kasus seorang bocah laki-laki berinisial MA (6 tahun) asal Sukabumi menjadi korban pembunuhan, juga menjadi korban kekerasan seksual sodomi. Hal tersebut diungkapkan Polres Sukabumi Kota usai melakukan serangkaian penyelidikan, terhadap kematian korban yang mayatnya ditemukan tewas di jurang perkebunan dekat rumah neneknya di wilayah Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi beberapa waktu lalu. Seorang pelajar yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) berusia 14 tahun menjadi pelaku utama pembunuhan dan sodomi terhadap korban. Sehingga ditetapkan pelaku sebagai tersangka dan berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). (sukabumiku.id, 2 Mei 2024)
Penerapan sistem pendidikan sekuler kapitalisme telah membentuk anak yang tidak paham agama. Sistem saat ini hanya akan mencetak generasi yang kenal Islam sebatas akhlak dan ibadah ritual. Padahal mereka juga wajib mengetahui bahwa syariat Islam mengatur kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara bahkan mengatur seluruh aspek kehidupan.
Arah kebijakan negara khususnya terhadap pendidikan ditujukan hanya untuk membentuk tenaga kerja terampil yang dibutuhkan oleh industri atau pasar kerja. Namun dalam masalah pendidikan agama dan penanaman akhlak waktu yang diberikan sangat minim. Walhasil, generasi saat ini hanya terampil dan serba canggih dalam hal penggunaan teknologi. Disisi lain mereka menjadi pribadi yang sangat egois, individualistis, juga rapuh akibat tidak memiliki fondasi agama yang kuat.
Mulai maraknya kriminalitas di kalangan anak tentu memprihatinkan. Pemberitaan tersebut mendorong kita bertanya apa penyebab terjadinya tindakan tersebut? Mengapa anak saat ini menjelma menjadi pelaku begal, pencurian, perundungan, kekerasan seksual, hingga pembunuhan?
Terdapat banyak faktor yang membuat anak menjadi pelaku tindak kejahatan. Pertama, keluarga. Keluarga yang broken home kebanyakan menjadi hal yang melatarbelakangi anak tersangkut kasus kriminal. Jika pola asuh dan pendidikan yang didapat oleh anak salah, tentu itu akan mempengaruhi kepribadian mereka
Kedua, krisis identitas. Masa anak-anak yang sudah terkategori remaja adalah masa pencarian identitas dan eksistensi diri. Mereka yang hanya tahu tujuan hidup untuk mencari kesenangan dan kebahagiaan bersifat materi akan tumbuh menjadi generasi hedonis dan permisif.
Ketiga, kontrol diri yang lemah. Emosi labil adalah salah satu faktor mengapa banyak anak terjebak dalam tindak kriminal. Pengontrolan terhadap emosi dan amarah cenderung sulit mereka lakukan pada saat sudah tersinggung atau terbawa perasaan. Pada akhirnya, kenakalan dan kekerasan sampai tindak kriminal pada anak pun terjadi diakibatkan emosi yang tidak terkontrol tadi.
Keempat, media dan tayangan kurang mendidik. Generasi muda dulu ataupun saat ini cenderung meniru dan melakoni setiap hal yang mereka lihat. Semua yang mereka dengar dan tonton akan menjadi tuntunan mereka bersikap.
Saat ini sistem kehidupan sekuler liberal lah yang mempengaruhi keempat faktor tersebut terjadi. Islam memang sengaja dijauhkan dari syari’atnya sehingga anak-anak saat ini tampak asing dengan agama mereka. Anak-anak justru lebih akrab dengan budaya liberal dan hedonis.
Oleh karenanya, menyelesaikan kasus kriminalitas di kalangan anak-anak tidak cukup dengan penyelesaian dari ranah individu dan keluarga. Semua persoalan tersebut adalah buah penerapan kehidupan sekuler liberal. Penyelesaiannya haruslah sistemis dan komprehensif.
Pertama, dalam lingkup keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak, peran orang tua terutama ibu sangat penting. Sebagai seorang ibu, tentu ingin melahirkan generasi penerus. Ibu rindu hidup dengan tatanan kehidupan yang sesuai syariat. Hidup akan tenang dan tenteram dalam ketakwaan kepada Allah secara menyeluruh.
Anak-anak pun mendapatkan haknya seperti mendapat pengasuhan dengan perspektif Islam. Anak-anak mendapat pendidikan Islam yang akan mengukuhkan iman Islam dan membentuk kepribadian Islam yang kuat. Sehingga terjaga fitrah tauhidnya, serta bersih pemikirannya dari ide dan konsep-konsep kufur yang rusak dan merusak.
Mereka akan menjadi anak-anak pejuang yang siap menyampaikan kebenaran Islam, bukan berjiwa kriminal. Selanjutnya, mereka akan menjadi generasi unggul yang menjadikan hidup hanya untuk beribadah kepada Allah, taat pada seluruh syariat-Nya, serta mengabdikan diri dan kehidupannya hanya untuk Islam.
Kedua, negeri ini menghadapi persoalan nilai-nilai yang makin permisif dan makin anti sosial yang didapat lewat tayangan film, bacaan dan pertemanan di media sosial. Hal ini mempengaruhi kepribadian anak-anak. Karenanya harus ada perombakan tatanan nilai sosial, dan cuma Islam yang punya nilai sosial yang luhur.
Ketiga, harus ada efek jera berupa sanksi pidana. Dalam sistem hukum sekarang, anak-anak sering kali dapat keringanan karena dipandang di bawah umur. Dalam Islam, anak yang sudah memasuki remaja, yakni telah memasuki usia aqil baligh, minimal usia 15 tahun, sudah dikategorikan orang dewasa dan mereka bertanggung jawab atas perbuatannya.
Karena itu dalam Islam, mereka juga sudah harus mendapatkan sanksi orang dewasa. Kalau mereka mencuri, kena sanksi potong tangan. Kalau membunuh ada sanksi qishash. Dengan sistem pidana Islam, maka angka kriminalitas anak yang tergolong remaja bisa diredam.
Views: 14
Comment here