Oleh : Andini Sulastri (Mahasiswa STEI Hamfara Yogyakarta)
wacana-edukasi.com– Peringatan Hari Anak Nasional pada 23 Juli membuat flashback terhadap seringnya terjadi kasus kekerasan, pelecehan serta penindasan terhadap anak bangsa. Tidak jarang ditemui banyak berita yang ditayangkan baik melalui saluran TV maupun media sosial lainnya. Kekerasan fisik pada anak, pelecehan seksual pada anak, bahkan penindasan terhadap hak-hak yang harus didapatkan oleh anak menjadi topik hangat disetiap bulannya.
Seperti yang dilansir oleh salah satu akun berita di Kalimantan yaitu borneOnews.co.id, bahwa terhitung dari Januari 2022 – Juli 2022 sudah terjadi kasus kekerasan pada anak sebanyak 30 kasus yang terjadi. Pada kasus tersebut didominasi oleh kekerasan seksual dan menghinggapi pada anak usia 5 tahun keatas. Sampai saat ini UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak) terus mendampingi korban baik dalam visum di rumah sakit maupun pendampingan trauma atau pemulihan trauma yang dialami oleh korban.
Hal tersebut sangat miris. Apa yang menjadi penyebab kasus kekerasan, pelecehan bahkan penindasan terhadap anak sering terjadi? Dan mengapa kasus ini selalu terulang kembali?
Dirunut dari permasalahan yang terjadi, penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak salah satunya dikarenakan beberapa orangtua tidak dapat menahan emosi dan apa yang keluar dari sikap seseorang (orangtua) tergantung pada pola asuh yang diterima sebelumnya. Jika seseorang mendapatkan perilaku keras lalu tidak belajar dan mengkaji, maka tidak menutup kemungkinan akan mewariskan kekerasan yang didapat kepada anaknya. Lain cerita jika orangtua tersebut mau belajar dan mengkaji mengenai teori pola asuh anak, psikis anak dan teori lainnya yang patut diterapkan dengan baik agar tidak mewariskan perlakuan yang buruk kepada anak.
Lain hal dengan kasus pelecehan seksual ini terjadi dari beberapa faktor:
Pertama, anak tidak dapat edukasi oleh orang tua. Orang tua memiliki kewajiban mengedukasi anak dalam segi pergaulan, penampilan dan juga perilaku. Banyak pelecehan seksual terjadi dikarenakan anak dibiarkan saja oleh orangtuanya bergaul dengan siapapun termasuk lawan jenis, yang akhirnya membuat anak terjun dan berkecimpung dalam pergaulan bebas diluar rumah dengan didomping pakaian yang tidak menutup aurat dan perilaku yang semrawut.
Kedua, orang tua lalai dalam melindungi anak.
Di samping orang tua tidak memberikan edukasi yang baik terhadap anak, banyak pula orangtua yang lalai terhadap penjagaan anak. Seperti tidak memfasilitasi sekolah yang terbaik untuk anak dan anak dibiarkan main diluar tanpa pengawasan. Sudah menjadi poin penting orangtua harus mengetahui lingkup pergaulan anak serta memberi batasan waktu dan batasan aktivitas kepada anak.
Tidak sedikit kasus kekerasan maupun pelecehan menghinggapi kepada anak, meskipun terulang disetiap tahunnya dan separah apapun kasusnya, tetap hal ini tidak membuat mereda angka kekerasan dan pelecehan yang terjadi kepada anak bangsa.
Diulik dari kasus kekerasan dan penganiayaan pada anak diatur dalam Pasal 76C UU 35 tahun 2014 yang berbunyi : “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh, melakukan atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.”
Bagi pelaku akan mendapatkan sanksi yang tercantuk pada Pasal 80 UU 35 tahun 2014: “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C UU 35 tahun 2014, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau didenda paling banyak Rp. 72.000.000.
Sementara pidana bagi pelaku pelecehan seksual terbagi menjadi dua. Untuk pelecean seksual non fisik akan dipidana hingga 9 bulan atau denda paling banyak Rp. 10.000.000, dalam Pasal 5 UU TPKS. Sedangkan untuk pelecehan seksual fisik dipidana penjara hingga 12 tahun atau denda paling banyak Rp. 300.000.000, dalam Pasal 6 UU TPKS.
Dengan sanksi yang tercantum dalam undang-undang dapat ditempuh baik hukuman dipenjara maupun denda yang diberikan. Bagi orang-orang yang memiliki uang, mudah bagi mereka memilih untuk membayar denda dan dapat melakukan kesalahan-kesalahannya kembali. Karena sejatinya pidana yang ditetapkan oleh pemerintah tidak memberikan efek jera terhadap pelaku. Tidak menutup kemungkinan hawa nafsu lebih besar dibandingkan dengan rasa takut atas ancaman pemerintah. Hal inilah yang menjadi penyebab terulangnya tindak kekerasan dan pelecehan terhadap anak.
Permasalahan ini merupakan hal yang sangat penting dan darurat bagi anak bangsa. Jika anak bangsa tidak dijaga dari segi kesehatan dan juga mentalnya, lalu siapa yang akan melanjutkan tata kelola negara ini dengan baik? Jika anak-anak tidak dibentuk untuk menjadi anak yang cerdas dan kreatif, lalu bagaimana negara ini bisa mengarah kepada kesejahteraan? Karena kepemimpinan dalam mengelola masyarakat dan negara akan selalu membutuhkan tenaga-tenaga baru dan sangat diharapkan mendapat pengganti yang lebih baik, cerdas dan membawa pola pikir yang benar dan sehat.
*Pidana Yang Diatur Islam Untuk Pelaku Kekerasan dan Pelecehan Terhadap Anak*
Kekerasan terhadap anak dilarang dalam Islam kecuali memang memiliki tujuan untuk kemaslahatan bagi anak tersebut. Kekerasan terhadap yang memiliki tujuan kemaslahatan pun hanya diperbolehkan untuk memukul, hal yang diperbolehkan adalah dalam tujuan mendidik dan menghukum anak saat tidak melaksanakan kewajibannya. Seperti kewajiban sholat yang tercantum pada hadis yang diriwayatkan Abu Daud. Isinya yakni, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan salat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukulah mereka (jika meninggalkannya) saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.”
Dalam teknis memukul pun terdapat ketentuan yang ditetapkan Islam, yakni tidak boleh sampai siku terangkat agar rasa sakit tersebut tidak meninggalkan luka, ada jeda diantaran 2 pukulan yaitu sampai pukulan pertama reda rasa sakitnya dan saat anak mengucapkan nama Allah, hendaknya mengurungkan niat untuk memukul anak.
Namun jika memukul atau melakukan kekerasan terhadap anak dengan sengaja atau tidak sengaja namun tidak termasuk kedalam unsur mendidik, maka akan dikenakan qishas. Qishah yakni hukuman yang setimpal dengan apa yang dilakukan. Jika seseorang melukai fisik seorang anak atau bahkan sampai patah tulang, maka harus dibalas sampai patah tulang juga. Qishas ini merupakan hukuman yang setimpal dimuka bumi ini. Adapaun jika korban memaafkan, maka hukuman diganti dengan diyat, yakni pelaku harus membayar denda kepada korban. Denda disini berbeda dengan Negara kapitalis yang mana harta denda tersebut masuk kedalam pemerintah atau negara. Yang ditetapkan oleh Islam, denda ini diberikan kepada korban bukan negara.
Pidana dalam Islam untuk pelaku pelecehan seksual dapat dilihat dari tragedi yang terjadi. Jika yang dilakukan adalah perbuatan zina, maka pelaku akan dipidana sesuai dengan hukuman zina, yakni dirajam jika pelaku sudah menikah, jika pelaku belum menikah maka hukumannya adalah dicambuk. Namun jika yang dilakukan adalah liwath atau homoseksual, maka pelaku dipidana hukuman mati. Dan jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual yang tidak sama dengan homoseksual atau zina, maka hukumannya adalah ta’zir yang dapat ditentukan oleh hakim (qadhi).
Dengan demikian apabila hukum Islam yang diberlakukan dalam setiap permasalahan, maka tidak akan terulang kasus yang seperti demikian. Karena bisa setelah dikaji, hukuman-hukuman yang Islam tetapkan selalu memberikan efek jera, karena memiliki sifat yang membuat masyarakat takut akan hukumannya. Saat pelaksaan hukuman berlangsung akan disaksikan oleh masyarakat banyak agar tidak terulang dan tidak ada pelaku selanjutnya. Wallahu’alam bishshowab.
Views: 14
Comment here