Opini

Islamofobia : Matinya Jiwa Intelektual

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Ummu Hanan (Aktivis Muslimah)

wacana-edukasi.com– Isu Islamofobia kembali menguat. Rektor Insitut Teknologi Kalimantan, Profesor Budi Santosa Purwokartiko mengunggah tulisan yang diduga mengarah kepada Islamofobia di akun media sosial pribadinya. Dalam unggahannya, Prof. Budi Santosa menyebut kerudung yang kerap dikenakan oleh mahasiswi sebagai penutup kepala ala manusia gurun. Beliau memberikan apresiasi kepada para mahasiswa yang ketika berbicara tidak banyak istilah Islami. Pilihan kata seperti in syaa Allah, barakallah, syiar dan semisalnya juga sempat disinggung oleh Prof. Budi sebagai “kata-kata langit” dan dikontraskan dengan pemaparan yang seharusnya lebih “membumi”. Menurut founder of Drone Emprit and Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, tulisan Prof. Budi dapat terkatagori rasis dan xenophobic (fajar.co.id,01/05/2022).

Stigmatisasi terhadap ajaran Islam bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya publik sempat dihebohkan dengan pernyataan salah seorang petinggi negeri yang menyamakan adzan dengan suara lolongan anjing. Selain itu juga muncul penistaan yang dilakukan oleh Muhammad Kace, seorang Youtuber yang diduga telah melakukan pelecehan terhadap Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW dan islam dalam unggahan pribadinya. Menarik ketika kali ini penistaan terhadap Islam dan ajarannya mengemuka dari kalangan intelektual. Kalangan intelektual seharusnya memiliki kepekaan tinggi terhadap nilai-nilai Islam yang telah menjadi keyakinan mayoritas penduduk negeri ini. Terlebih dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki, intelektul idelanya menjadi yang terdepan dalam mensyiarkan Islam kepada masyarakat.

Ironisnya, saat ini arus Islamofobia demikian gencar di tengah kehidupan kaum Muslim. Islam, meski dianut oleh sebagian besar penduduk negeri, menjadi perkara yang seolah asing dan dijauhkan realitasnya dari mereka. Islam dikerdilkan hanya pada batas sempit penerapan yang bersifat ritualitas sebagaimana dogma yang ada pada agama dan keyakinan yang lain. Syariat Islam tidak dihadirkan sebagai sebuah konsep yang integral dalam aspek kehidupan bermasyarakt, seperti politik, ekonomi, hukum dan pendidikan. Terlebih konsep sistem politik Islam yang meniscayakan keberadaan institusi negara acapkali dimonsterisasi, seolah mewujudkannya hanya akan melahirkan perpecahan dan konflik. Ditambah lagi adanya opini yang diaruskan bahwa Islam tidak memiliki sistem pemerintahan yang baku.

Jauhnya penerapan Islam di tengah kehidupan kaum Muslim telah berkontribusi dalam meningkatnya sentimen Islamofobia. Cara pandang keliru terhadap Islam ini bersumber dari pemahaman sekuleristik. Islamofobia memandang agama, khususnya Islam, sebagai pemicu dari sebagian besar perpecahan di dalam kehidupan manusia. Islam dituduh sebagai sumber konflik dengan menjadi inisiator aksi radikalisme. Para Muslim yang menginginkan adanya penerapan Islam yang kaffah diidentikkan dengan kelompok yang ekslusif, hanya mengakui kebenaran agamanya dan menolak bersinergi dengan pemeluk agama lain. Disinilah konsep Islamofobia ditancapkan dan mengakar hingga diadopsi sebagian kalangan, termasuk intelektual.

Kaum intelektual memiliki potensi luar biasa dalam membangun umat. Melalui daya inteletualitas yang dimiliki serta penguasaan terhadap ilmu terapan menjadikan para intelektual rujukan umat. Merekalah tempat umat bertanya soal bagaimana menggerakkan seta membangun peradaban melalui inovasi keilmuan mereka. Dalam hal ini Islam memandang ilmu terapan yang bersifat duniawi tidak terpisah dengan ilmu akhirat. Bahwa segala sesuatu pada dasarnya terkait erat dengan ketentuan Pencipta, Allah SWT. Sebagaimana kita dapati dalam khazanah kehidupan Islam beragam inovasi yang dihasilkan merupakan wujud dari ketaatan kepada Allah SWT. Tidak sedikit dari para ilmuwan Muslim pada masa Kekhilafahan Islam terinspirasi oleh ayat Al-Qur’an dalam melahirkan penemuan besar mereka.

Intelektual sejati hakikatnya mencintai Islam. Para inteletual sejatinya terdepan dalam meluaskan ajaran Islam melalui penguasaan atas ilmu pengetahuan dan teknologi. Sangat disayangkan jika hari ini kaum inteletual juga ikut terseret arus ide Islamofobia yang jelas menyerang Islam. Para intelektual sengaja dijauhkan oleh sistem saat ini dari pemahaman Islam yang utuh. Alhasil produk pemikiran ala sekularsime melahirkan intelektual yang hanya berorientasi dunia, tidak merujuk Islam sebagai asas dari segala interaksi di masyarakat. Padahal Islam adalah jalan kehidupan yang meniscayakan tegak di atasnya pengaturan sempurna atas kehidupan manusia. Islam seharusnya tidak boleh dan tidak bisa dipisahkan dari disiplin ilmu apapun sehingga tidak ada celah bagi munculnya keraguan atas kebenaran ajaran Islam.

Islamofobia akut merupakan cara kafir Barat untuk memisahkan umat dari ajaran Islam. Kafir Barat menyadari ketika umat memahami Islam sebagai sebuah cara pandang kehidupan maka niscaya umat ini akan bangkit dan menuntut Islam untuk ditegakkan. Karena itu kita, terlebih kaum intelektual, tidak boleh hanyut dalam ide sesat Islamofobia. Potensi besar yang telah Allah sematkan pada umat Islam melalui keberadaan para inteletual sejatinya semakin mendekatkan kita pada arah perjuangan hakiki. Sosok intelektual sejati tidak boleh mati hanya karena termakan propaganda Islamofobia. Saatnya kaum inteletual bersama umat mengambil peran dalam menyongsong fajar kebangkitan Islam, menyeru kepada tegaknya syariat Islam kaffah, Allahu Akbar!

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 9

Comment here