Oleh : Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd.
wacana-edukasi.com – Aksi terorisme belum lama ini kembali terjadi di Indonesia, kali ini menyasar Katedral Makassar dan Mabes Polri, Jakarta. Dari tiga pelaku, dua di antaranya berjenis kelamin perempuan. Peneliti hukum dan HAM LP3ES sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Milda Istiqomah mengatakan, ada peningkatan tren aksi teror yang melibatkan perempuan dalam beberapa tahun terakhir (kompas.com, 3/4/2021).
Mengutip dari suara.com (1/4/2021) terduga teroris perempuan tersebut bernama Zakiah Aini, ia akhirnya tewas ditembak di Mabes Polri. Sebelum melakukan aksinya, Zakiah Aini menulis surat wasiat berisi beberapa poin di antaranya berwasiat agar keluarganya meninggalkan riba, demokrasi, pemilu, melaksanakan kewajiban berhijab, dan lain-lain. Sebenarnya hal ini sangat disayangkan karena akan dapat memunculkan stigma buruk terhadap muslim yang taat juga ajaran Islam kafah.
Permasalahan perempuan dan terorisme pernah dibahas dalam sebuah artikel di web INFID (International NGO Forum on Indonesian Development), infid.org pada 29 Mei 2019. “INFID mengeluarkan Hasil Studi Toleransi dan Radikalisme di Indonesia (2016) sebagai upaya memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk mencegah intoleransi dan radikalisme di Indonesia yakni dengan mencabut Peraturan Daerah yang mengandung aturan diskriminatif dan memfasilitasi intoleransi dengan memberikan kekhususan kepada golongan tertentu yakni perempuan dan bertentangan dengan prinsip dasar negara dan demokrasi. Contoh nyata dari pemberlakukan peraturan/kebijakan yang bersifat diskriminatif ialah UU Pornografi, kewajiban menggunakan hijab, dan larangan keluar malam tanpa ditemani mahram. Kebijakan tersebutlah yang kembali menginginkan adanya domestifikasi perempuan. Selain itu, yang bisa kita lakukan untuk mencegah keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme ialah memberikan ruang kepada perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan akses yang sama terhadap sumber daya yang ada.
Dengan kata lain, membagi peran antara laki-laki dengan perempuan secara proporsional, yakni keterlibatan perempuan di dalam domain laki-laki (begitu pun sebaliknya).”
Ketika kini kembali terjadi aksi teror yang dilakukan perempuan maka pembahasan isu itu pun kembali digulirkan. Menurut Dr. Musdah Mulia dalam diskusi daring 36 tahun Kalyana mitra: Gerakan Feminis dan Isu Keberagaman di Indonesia, ada tiga langkah yang bisa diambil untuk menanggulangi masalah tersebut. Pertama melalui pendidikan, pendidikan dalam makna luas yaiutu penting untuk melakukan upaya rekonstruksi budaya terutama melalui skala keluarga. Perempuan bisa menjadi agen, baik positif maupun negatif.
Keterlibatan perempuan dalam radikalisme dan aksi-aksi terorisme luar biasa dan semakin kuat. Perlu adanya upaya untuk agensi perempuan guna membangun pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai perdamaian dan nilai toleransi.
Kedua, reformasi kebijakan. Memberi dukungan SKB 3 Menteri terkait seragam sekolah yang disambut sekitar 1.200 lembaga. Aktivis perempuan harus terus mendesak pemerintah mencabut aturan hukum yang diskriminatif terhadap perempuan. Dilaporkan ada sekurangnya 400 produk hukum yang perlu dikaji terkait ini, dan sebaiknya tidak dilakukan satu persatu.
Ketiga, reinterpretasi ajaran keagamaan. Apalagi menurut Musdah Menteri Agama saat ini dinilai cukup progresif dalam hal ini. Negara, ujarnya, memang sebaiknya tidak melakukan pemaksaan seperti di era Orde Baru, tetapi upaya ke arah itu tetap harus dilakukan. Negara harus mampu membuat interpretasi-interpretasi keagamaan yang kondusif, yang kompatibel dengan nilai kemanusiaan, itu menjadi interpretasi yang dominan. Menjadi interpretasi mainstream di masyarakat.
Benarkah Moderasi dan Feminisme Solusi Terorisme?
Mengaitkan terorisme dengan Islam sebenarnya merupakan suatu kesalahan dan bentuk defensive apologetic dari seorang muslim yang harus dihindari. Tuduhan ajaran Islam sebagai penyebab teror dan mengatakan ajaran Islam harus direinterpretasi merupakan kelancanganan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Reinterpretasi pada akhirnya berujung pada distorsi dan destruksi. Inilah yang kemudian dimaksud dengan moderasi Islam.
Dalam laporan Rand Corporation berjudul Building Moderate Muslim Network yang terbit tahun 2007, menyebutkan karakter muslim moderat adalah muslim yang mendukung demokrasi dan pengakuan internasional atas hak asasi manusia, kesetaraan gender, kebebasan beribadah, menghargai keberagaman, menerima sumber hukum nonsektarian (nonagama), menentang terorisme, dan semua bentuk kekerasan–sesuai tafsiran Barat-.
Sehingga seseorang yang mengidentifikasi dirinya sebagai muslim moderat akan sangat inklusif dan toleran. Ia akan menolak pemberlakuan syariat Islam secara totalitas, membiarkan penyimpangan akidah maupun syariat, tidak mendiskriminasi pelaku maksiat, menganggap Islam tak ada beda dengan aturan lain, menentang Islam politik -Negara Islam, Khilafah dan jihad- sekalipun ia menjalankan ibadah mahdhah (salat, puasa, zakat, dll) dan menghiasi diri dengan berbagai sifat akhlak mulia seperti dermawan, baik hati, jujur, dsbnya.
Amerika Serikat (sebagai representatif Barat) telah mendesain jaringan muslim moderat ini untuk memenangkan pertarungan ideologi antara Islam (politik) dan kapitalisme. Cheryl Benard –peneliti RAND Corporation- dalam pembukaan Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies (2003) menyebutkan bahwa dunia Islam harus dilibatkan dalam pertarungan tersebut dengan menggunakan nilai-nilai (Islam) yang dimilikinya.
Amerika Serikat harus menyiapkan mitra, sarana dan strategi demi memenangkan pertarungan. Dan mitra yang sangat potensial tersebut adalah kaum sekuleris, muslim liberal, muslim tradisionalis, akademisi, intelektual muslim liberal, aktivis komunitas, kaum perempuan, jurnalis, penulis dan komunikator lainnya.
Kaum Feminis, Mitra Strategis Moderasi Islam
Kaum feminis digandeng dalam program moderasi Islam karena permusuhannya yang sangat nyata dengan Islam dan syariat Islam. Ide feminisme tak pernah lelah menyerang syariat Islam dengan tuduhan membelenggu kebebasan perempuan, menciptakan berbagai macam penderitaan bagi perempuan dan menjadi penyebab terjebaknya perempuan dalam pusaran terorisme. Padahal justru sebaliknya, berbagai problem akut yang menimpa perempuan hari ini karena terseret tipu daya feminisme. Mulai dari kegagalan dalam berkeluarga, kemiskinan perempuan, kekerasan yang tiada hentinya, dsbnya.
Sementara, penerapan syariat Islam secara kaffah oleh daulah Khilafah Islamiyah selama berabad-abad, justru telah membuktikan bagaimana perempuan mulia dan terhormat dengan Islam dan syariatnya. Seperti biasa, serangan feminis terhadap syariat Islam mereka bungkus dengan seruan manis dan Islami. Setidaknya itu tampak nyata dalam konsep keluarga bahagia yang mereka propagandakan dengan mengangkat slogan “keluarga ideal adalah keluarga feminis”. (ibtimes.id).
Mereka mempromosikan keluarga feminis adalah keluarga sakinah. Padahal hakikatnya konsep keluarga feminis sungguh sangat bertentangan dengan konsep keluarga sakinah dalam Islam. Keluarga sakinah adalah keluarga taat syariat Islam, sementara keluarga feminis hakikatnya adalah keluarga liberal yang menentang Islam.
Oleh karena itu, masalah terorisme perempuan tidak boleh menjadi alasan untuk memasukkan moderasi dan feminisme ke tengah umat. Yang diperlukan saat ini adalah keseriusan aparat keamanan untuk menguak siapa sesungguhnya di balik berbagai aksi teror ini. Apabila pelakunya muslim, berarti ia memiliki pemahaman yang keliru tentang konsep jihad dan harus diluruskan, sehingga tidak menjadi ‘fitnah’ bagi muslim dan ajaran Islam. Jangan sampai isu terorisme dibuat mengambang dan terus digoreng untuk meyudutkan umat Islam dan ajaran Islam. Padahal telah diketahui bersama bahwa Islam mengharamkan terorisme. Tidak mungkin muslim yang taat melakukan aksi terorisme.
Menyikapi semua masalah yang terjadi hari ini, terutama berbagai fitnah terhadap ajaran Islam, sudah semestinya umat tetap kritis terhadap setiap hal yang berusaha mengalihkan mereka dari pemahaman yang benar tentang syariat Islam. Di sisi lain, kaum perempuan (baca: muslimah) harus semakin menyadari posisi pentingnya di tengah masyarakat dan keluarga. Keluarga merupakan benteng terakhir pelindung generasi dari berbagai kerusakan yang ada saat ini. Oleh karena itu, kaum perempuan harus tetap fokus pada penanaman kepribadian Islam, mendidik keluarganya taat syariat dan terus berikhtiar memperjuangkan Islam kafah agar tidak ada celah menstigma muslim dan ajaran Islam [].
Wallahu’alam bishshawab
Views: 23
Comment here