Oleh Ummu Hannun
Begitulah indahnya Islam mengatur kehidupan dan mengatur hubungan antara penguasa dan rakyatnya. Kita tentu merindukan keadilan tersebut hadir saat ini.
Wacana-edukasi.com — “Orang bilang tanah kita tanah surga tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Inilah sepenggal lirik lagu berjudul “kolam susu” milik band legendaris Koes Plus yang menggambarkan betapa suburnya bumi Indonesia ini. Maka, bukan hal yang aneh jika Desa Wadas yang terletak di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah dan bagian dari bumi Indonesia pun dijuluki “tanah surga di bumi Wadas”, karena kesuburan tanahnya sekaligus penghasil banyak komoditas, baik kayu, buah dan sayuran yang beraneka ragam, mulai dari sengon, kemukus, vanili, durian, ara, kelapa, kopi, petai, dan lainnya.
Beberapa Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) seperti Gempa Dewa, WALHI, Perpustakaan Jalanan serta LBH Yogyakarta melakukan survei terhadap potensi ekonomi Wadas dan hasilnya semua tanaman yang dibudidayakan di bukit Wadas mempunyai nilai akumulasi tinggi pertahun yakni: petai mencapai Rp 241 juta, kayu sengon sengon Rp 2 miliar, kemukus Rp.1,35 miliar, vanilli Rp 266 juta dan durian Rp 1,24 miliar (Proyek Multatuli, 25/05/2021).
Namun, kini tanah surga itu terancam hancur karena pemerintah ingin menjadikannya sebagai tambang batu adhesit yang nantinya akan dijadikan bahan material bagi pembangunan bendungan Bener di desa Guntur, Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah. Sesuai amanat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2020, Bendungan Bener menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) di bawah pemerintahan Presiden Jokowi. Pada tahap pengerjaannya, proyek bendungan tersebut dinaungi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mulai 2017 lalu. Adapun total investasi yang digelontorkan pemerintah adalah sebesar Rp 2,060 triliun, bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Daerah (APBN/D). Hal ini sesuai dengan informasi yang diperoleh dari laman resmi Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP).
Bendungan Bener akan berkapasitas sebesar 100.94 meter kubik, nantinya diproyeksikan untuk mengairi lahan seluas 1.940 hektare, menyediakan air baku 1.500 liter per detik, dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), serta bertujuan untuk mengurangi banjir, konservasi, dan pariwisata. Tujuannya memang bagus, tapi sayang tidak memperhatikan rasa keadilan bagi warga sekitar. Tak ayal, pembangunan pun masih terkendala karena penolakan dari warga Wadas sendiri. Amat disayangkan, jika pada akhirnya Pemerintah menerjunkan aparat Kepolisian untuk mengamankan warga serta melakukan tindak kekerasan pada sebagian warga yang menolak.
Sejumlah 400 KK warga Wadas masih konsisten menolak pembanguan bendungan Bener. Mereka tidak setuju dengan pembangunan quarry di desanya karena 99 persen mata pencaharian desa Wadas adalah sebagai petani. Mereka berkilah, jika tanah hilang mau kerja apa? Sementara, selama ini mereka bermatapencaharian hanya sebagai petani. Bukit Wadas merupakan penopang hidup mereka dan sangat berharap bisa diteruskan oleh anak cucunya kelak. Dampak lainnya adalah rusaknya ekosistem alam sekitar dan hilangnya bentang alam.
Tapi sungguh mengherankan, walaupun ditolak warga, Amdal pembangunan penambangan quarry di Wadas bisa lolos pada bulan Maret 2018 tanpa menyebutkan soal penolakan warga. Makanya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang menaungi warga menilai jika Amdal itu cacat, baik dari sisi substansi ataupun proseduralnya.
Sayang seribu kali sayang, segala upaya hukum warga sejak 2018 menemui jalan buntu karena pengadilan Tata Usaha negara menolak kasus tersebut. Kasus ini kian memanas dan puncaknya pada 23/4/2021 kericuhan pun terjadi antara warga dengan gabungan petugas kepolisian, satpol PP dan TNI yang sedang mengawal pengukuran tanah dan berujung tindakan represif oleh petugas kepada warga yang menolak dan berakhir dengan penangkapan 66 warga yang dianggap menghalangi proses pengukuran tanah tersebut, walaupun pada akhirnya mereka dibebaskan setelah sebelumnya diperiksa kepolisian.
Hal yang tak kalah pelik lagi adalah adanya RUU Cipta Kerja yang semakin menambah kesulitan warga dalam penolakan pembangunan tambang karena RUU Cipta Kerja memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menggusur lahan warga tanpa dipersulit pengurusan ganti rugi. Para pengamat mensinyalir bahwa UU Cipta Kerja ini adalah UU pesanan dari para pengusaha dan pemilik modal untuk mengeruk Sumber Daya Alam dengan leluasa di negeri ini. Terbukti dengan hadirnya beberapa perusahaan pelat merah yang menjadi pemenang lelang seperti PT Waskita Karya (persero) Tbk, PT PP (persero) Tbk, dan PT Brantas Abipraya (persero) untuk proyek bendungan Bener ini.
Mereka menggarap masing-masing paket proyek yang didapat meskipun RUU Cipta Kerja ini banyak ditolak oleh berbagai elemen masyarakat. Ya, sesuatu yang wajar jika pada akhirnya tontonan seperti ini akan terus kita temui manakala kita tetap diatur oleh sistem kapitalisme rakus dan merusak ini. Baik penguasa ataupun pengusaha mereka akan bahu membahu untuk mengumpulkan pundi-pundi keuntungan agar bisa memperkaya diri tanpa memperhatikan penderitaan rakyatnya. Para penguasa hanya peduli dengan kepentingan oligarki saja. Inilah potret buruknya demokrasi yang selalu dikuasai para pemilik modal, atas nama demokrasi para kapitalis itu mencuri kedaulatan rakyat. Karenanya jelas sistem ini harus kita tinggalkan.
Lantas apakah solusi untuk persoalan Wadas ini? Ya, tentu saja kembali kepada aturan yang benar yang bersumber dari Zat yang Maha Baik yaitu Allah SWT, yang dengan Maha Rahman dan Maha RahimNya semua manusia bisa hidup penuh berkeadilan dan sejahtera dengan diberlakukannya syari’at Islam secara sempurna dalam bingkai khilafah ala min hajjin Nubuwwah karena khilafah akan menjaga Sumber Daya Alam (SDA) dan menjaga setiap jengkal tanah milik kaum muslim. Seorang penguasa dia tidak akan bertindak arogan apalagi sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Begitupun dengan masyarakat, ketika ada kedzaliman dilakukan oleh penguasa, maka rakyat bisa mengadukannya pada Mahkamah Madzalim. Mahkamah Madzalim bisa langsung menegur dan mengoreksi penguasa tersebut, bahkan bisa memberhentikannya jika memang terbukti melakukan kedzaliman dan melakukan pelanggaran terhadap hukum Syara.
Sementara Barang tambang yang jumlahnya banyak akan dikelola oleh negara tidak boleh dikuasai individu/swasta/asing karena merupakan milik umat dan hasilnya akan disimpan di kas baitulmal dan dipergunakan bagi kepentingan umat.
Rasulullah SAW bersabda:
“Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal; air,padang dan api (HR.Abu Dawud).
Sistem kepemilikan di dalam Islam dibagi menjadi tiga, ada kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan terakhir kepemilikan negara. Oleh karena itu, mari kita kembali kepada syari’at Islam agar permasalahan demi permasalahan seperti halnya kesewenang-wenangan yang terjadi terhadap masyarakat Wadas maupun permasalahan lainnya bisa tuntas tanpa harus mengorbankan rakyat. Keadilan sejatinya hanya ada dalam Sistem Islam. Perangkat negara menjalankan tugasnya bukan semata untuk mengaminkan semua kehendak sang penguasa, tapi semata-mata untuk kemaslahatan umat saja.
Dalam Khilafah, sistem peradilan dipimpin oleh Qâdhî Mazhâlim. Mahkamah ini bekerja sebagai lembaga negara untuk menghilangkan setiap bentuk kezaliman negara terhadap warga negara Khilafah. Mahkamah Mazhalim berhak mencopot khalifah, pejabat, maupun pegawai negara yang melakukan tindak kezaliman. Selain karena kezaliman, Mahkamah Mazhalim tidak berhak sama sekali melakukan pemakzulan. Ini karena pemilik asal wewenang mengangkat dan menghentikan pejabat maupun pegawai negara adalah khalifah. Khalifahlah berhak mengangkat dan memberhentikan pejabat atau pegawai negara.
Jika kita melihat sejarah, bagaimana keadilan aturan Islam itu benar-benar dirasakan bukan hanya warga negara yang Muslim saja, tetapi juga non-Muslim. Masih tergambar jelas bagaimana kisah orang Yahudi yang melaporkan kasusnya pada Khalifah Umar ra., dimana rakyat yang beragama Yahudi tadi mendapatkan tekanan dari Gubernur Amr bin Ash ketika menolak penggusuran rumahnya untuk perluasan masjid. Lantas, keputusan Khalifah Umar memenangkan si Yahudi atas sang Gubernur. Hal ini membuat tertunjukinya hati si Yahudi akan keagungan Islam sehingga ia pun masuk Islam.
Begitulah indahnya Islam mengatur kehidupan dan mengatur hubungan antara penguasa dan rakyatnya. Kita tentu merindukan keadilan tersebut hadir saat ini. Seorang pemimpin yang amanah akan menjamin hak-hak umat, menyelesaikan permasalahan dengan bijaksana, dan mengutamakan kemaslahatan umatnya. Semoga pemimpin yang adil dan bijaksana ini segera hadir di tengah-tengah kita, dan kita pun bisa merasakan indahnya hidup dalam aturan Islam yakni dalam bingkai khilafah islamiyah.
Wallohu’alam bi Ash-showwab.
Views: 13
Comment here