Opini

Janji Menyejahterakan Guru, Benarkah?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Moni Mutia Liza, S.Pd. (Pegiat Literasi Aceh)

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Setiap tahunnya negeri ini merayakan hari guru. Siswa dan guru mulai sibuk menyiapkan kue untuk dirayakan di hari tersebut. Perayaan yang dikemas dengan seindah mungkin dan berkesan. Tentunya hal ini membawa kebahagiaan bagi guru. Namun benarkah perasaan guru saat ini bahagia? Apakah guru saat ini sejahtera? Apakah guru dihargai dan disegani? Masih banyak pertanyaan lainnya tentang bagaimana kehidupan seorang guru.

Fakta menunjukkan kepada kita bahwa guru masih banyak yang tidak sejahtera dan bahagia. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya jumlah guru honorer di Indonesia dengan gaji yang sangat minim. Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), jumlah guru di Indonesia mencapai 3,31 juta orang pada tahun ajaran 2022/2023. Dari total tersebut, sekitar 1,45 juta guru mengajar di Sekolah Dasar (SD). Sebanyak 664.746 guru mengajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP), sementara 331.371 guru mengajar di Sekolah Menengah Atas (SMA). Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), terdapat 319.903 guru, dan 259.813 guru mengajar di Taman Kanak-kanak (TK).

Di Kelompok Bermain (KB) atau playgroup, tercatat 165.861 guru. Sementara itu, jumlah guru yang mengajar di Taman Pendidikan Alquran (TPA) dan Satuan PAUD Sejenis (SPS) masing-masing adalah 5.277 orang dan 46.780 orang. Selain itu, 33.631 guru mengajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), 5.187 guru mengajar di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), dan 26.681 guru mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB).

Menurut data Kemendikbud, pada tahun 2022, jumlah guru honorer di Indonesia mencapai 704.503 orang. Selain itu, terdapat 141.724 guru tidak tetap (GTT) di tingkat kabupaten/kota dan 13.328 GTT di tingkat provinsi (mediaindonesia.com/05/10/2024).

Dengan jumlah guru honorer yang begitu banyak dan hanya mendapatkan bayaran beberapa ratus ribu saja tergantung dengan jumlah jam mengajarnya di sekolah tersebut. Belum lagi jam yang diberikan kepada guru honorer adalah jam sisa dari jumlah jam para guru tetap dan pegawai. Bahkan di lapangan ada guru yang hanya memiliki 3 jam pelajaran selama seminggu dan mendapatkan gaji Rp. 300.000 per bulan. Belum lagi bila dihitung pengeluaran transportasi, maka jumlah gaji yang beberapa ratus ribu tersebut pastinya tidak akan mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri. Lantas bagaimana yang memiliki anak dan istri? Maka jauh dari kata cukup bahkan banyak yang dari kalangan guru harus banting stir jualan dan bekerja bangunan demi memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarga.

Lantas bagaimana dengan para pegawai? Tentu bagi guru ASN mendapatkan gaji yang terbilang pas-pasan. Sebab dengan gaji yang tiga juta tetap tidak akan cukup memenuhi kebutuhan keluarga secara lengkap, belum lagi biaya pendidikan yang mahal, biasa kesehatan yang besar ditambah lagi dengan pemotongan pajak hingga 12%. Kecuali bagi guru ASN yang sudah mengantongi sertifikat pendidik, maka mendapatkan gaji yang besar dan mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarga. Namun terhalangan dengan pembayaran sertifikasi tiga bulan sekali, sehingga banyak juga kasus guru ASN yang sudah sertifikasi memilih jalur berdagang dan menambah penghasilan di bidang lainnya. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kondisi ekonomi guru tidak baik-baik saja, melainkan dalam kondisi yang krisis, belum lagi barang pokok kian naik harganya.

Kemudian mental guru juga terganggu. Bagaimana tidak, guru di abad ini menghadapi siswa yang sangat jauh dari akhlak mulia, bahkan tidak sedikit guru yang dipenjarakan hanya gara-gara menegur siswa dengan keras, memukul dan mencubit siswa. Padahal guru marah bukan tanpa alasan, melainkan karena ulah siswa yang tidak dapat ditolerir lagi. Namun tetap saja yang disalahkan adalah guru. Siswa yang tidak pintar pun juga disalahkan gurunya, padahal kenyataannya siswa tersebutlah yang tidak mau belajar dan bolos. Inilah hal yang terjadi di lapangan.
Banyak kasus yang terjadi saat ini dimana guru dikeroyok oleh siswanya, ada yang dibacok dengan senjata tajam, hingga ada yang dibunuh. Kondisi mental siswa yang semakin menggila ini tentunya membuat guru serba salah, satu sisi guru harus mendidik siswa, di sisi lain guru takut karena menyinggung perasaan siswa dalam menegur dan menasehati siswa.

Tidak bisa dimungkiri bahwa siswa di era serba digital begitu brutal. Bukan hanya sesama teman saling beradu otot, guru pun dilawan dan ditunggu di jalan untuk dipukuli dan dihabisi. Sedemikian brutalnya karakter siswa hingga guru akhirnya lebih memilih diam dan tidak peduli terhadap perbuatan siswa dengan pertimbangan keamanan nyawa seorang guru.

Permasalahan ini sampai sekarang belum menemukan titik terang. Adapun angin segar berupa kenaikan gaji dengan syarat tertentu juga belum dapat dipastikan guru hidup dalam kesejahteraan. Pasalnya pajak terus meningkat, barang pokok juga meroket serta kebutuhan lainnya yang masih terbilang mahal seperti biaya pendidikan, kesehatan, BBM dan listrik.

Berharap kepada sistem kapitalisme mampu menyejahterakan guru tampaknya hanya ilusi, bila kekayaan alam dikelola dan diserahkan kepada pihak asing. Aset negara yang melimpah dan membawa berkah bagi negeri ini nyatanya tidak dimanfaatkan secara baik dan benar oleh pemerintah, justru pemerintah lebih senang menggandeng asing/aseng dalam mengelola sumber pendapatan terbesar negara tersebut. Ditambah lagi dengan suburnya koruptor yang menghabiskan uang negara dan pastinya merugikan rakyat. Jumlah merekapun (koruptor) bukan satu atau dua, melainkan ratusan, mulai dari kasus suap, korupsi hingga pencucian uang dengan segala macam model.

Jika kita perhatikan, sudah lebih 50 tahun kapitalisme memimpin negeri ini, justru kita semakin menuju jurang kehancuran. Semakin meningkatnya kemiskinan, pengangguran, hingga merosotnya akhlak kaum pemuda/pemudinya.

Sudah saatnya aturan negara dan turunannya kembali kepada Islam. Bukan hanya guru sejahtera dalam sistem pemerintahan Islam, bahkan rakyat secara keseluruhan ikut sejahtera. Hal ini tidak lain karena diterapkannya aturan yang berlandaskan wahyu Allah bukan akal dan hawa nafsu manusia sebagaimana sistem kapitalisme itu lahir yaitu dengan landasan nafsu dan logika yang keliru.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 6

Comment here