Opini

Jauhnya Pergaulan Islam, Mengapa?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Nurul

Wacana-edukasi.com, OPINI– Diksi cerai menghantui keluarga muslim. Tak pelak lagi berita terkait perceraian ramai dilansir media massa dan sosial. Hal ini selaras dengan data statistik bahwa angka perceraian di Indonesia terus menanjak kasusnya setiap tahun. Tahun 2021 terdapat 447.743 kasus. Tahun 2022 terdapat 516.344 kasus dan tahun 2023 terdapat 463.654 kasus.

Tak hanya dari perceraian dari kalangan selebritas yang terus menggema tapi juga kalangan masyarakat lainnya. Hal ini karena penyebab perceraian tak hanya perselingkuhan, kekerasan, ekonomi tapi juga ketakstabilan emosi pasangan. Perceraian suami istri tentu akan berimbas pada pendidikan anak dalam keluarga. Anak-anak minim kasih sayang dan perhatian, meluapkan emosi mereka ke pergaulan negatif dan tak bersahabat. Akhirnya anak-anak terlibat dalam dunia kriminalitas. Kasus anak-anak berhadapan dengan hukum pun meningkat.

Tak hanya itu kasus perzinahan hingga hamil di luar menikah pun tak kalah saing jumlahmya. Diiringi dengan naiknya kasus aborsi bukan pasangan suami istri tanpa alasan medis. Pun sama dengan tingginya pemerkosaan dan pembunuhan akibat salah pergaulan. Tak tanggung-tanggung pembunuhan tersebut sangat mengerikan. Korban disiksa sadis dan dimutilasi. Semakin pelik dan runyam. Sejuta masalah ini, apakah penyebabnya?

Lemahnya Pegangan Islam

Harus diakui penyebab mendasar berbagai masalah di atas karena lemahnya pemahaman terkait sistem pergaulan pria dan wanita (an-nizhàm al-ijtima’i) Islam. Kaum muslim mengalami kegoncangan yang dahsyat terkait pemahaman ini.

Nampak dalam kehidupan, kaum muslim terpecah menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang melampaui batas (tafrith). Golongan ini beranggapan bahwa termasuk hak wanita untuk berdua-duaan (berkhalwat) dengan laki-laki sesuai kehendaknya. Keluar rumah dengan membuka auratnya dengan baju yang dia sukai. Ya golongan ini amat memuja kebebasan berperilaku sehingga kebablasan dalam pergaulan antara laki-laki dan wanita. Akibatnya runtuhlah akhlak kaum Muslim.

Kedua, golongan yang terlalu ketat/kaku (ifrath). Golongan ini menganggap wanita hanya wanita di rumah saja. Tak memberikan kesempatan pada wanita dalam pergaulan publik. Wanita tak memiliki hal dalam usaha perdagangan atau pertanian. Wanita tak boleh bertemu dengan pria sama sekali kecuali mahramnya. Seluruh badan wanita adalah aurat termasuk wajah dan telapak tangannya. Akibatnya muncullah kejumudan dalam berpikir.

Alhasil timbul berbagai macam keretakan dan kegelisahan di tengah keluarga muslim. Timbul pula kemarahan dan keluhan di antara anggota keluarga dan terjadi perselisihan dan permusuhan dalam anggota keluarga.

Penyebab kegoncangan pemikiran ini karena kaum muslim amat jauh dari syari’at Islam. Serangan dahsyat dilancarkan oleh peradaban Barat ke negeri-negeri muslim yang bermula dari penjajahan. Terus dan terus dilancarkan setelah negeri-negeri muslim merdeka melalui perang pemikiran (ghazwul fikri). Terutama melalui penerapan sistem sekuler yang diwariskan penjajah Barat pada antek-anteknya di negeri-negeri muslim.

Peradaban Barat mengendalikan pemikiran muslim sedemikian rupa. Sehingga mengubah pemahaman (mafahim) tentang kehidupan, tolak ukur (maqayis) terhadap sesuatu, dan keyakinan (qana’at) yang tertancap di dalam jiwa muslim. Kemenangan peradaban Barat atas kaum muslim telah merambah ke seluruh aspek kehidupan, termasuk aspek pergaulan pria dan wanita. Akhirnya tercerabutlah aspek pergaulan pria dan wanita dalam kehidupan kaum muslim. Lemahlah pegangan Islam dalam kehidupan.

Penerapan Syari’at Islam Solusi Hakiki

Wajar muncul perasaan jiwa ingin menciptakan keluarga yang utuh dan bahagia dalam diri muslim. Berbagai macam upaya dilakukan untuk mencari solusi problem ini. Ada yang menulis buku-buku yang menjelaskan problem interaksi pria dan wanita dan juga koreksi terhadap undang-undang peradilan agama. Banyak juga yang menerapkan pendapatnya pada keluarga mereka sediri, seperti istri, saudara perempuan, dan anak-anak perempuan mereka. Ada pula kalangan yang memasukan beberapa koreksi atas peraturan sekolah dengan memisahkan siswa laki-laki dan siswa perempuan.

Akan tetapi belum menghasilkan pemecahan masalah. Belum menemukan satu jalan pun untuk melakukan perbaikan. Hal ini terjadi karena kaum Muslim tak memahami hakikat hubungan antara dua lawan jenis (laki-laki dan perempuan). Akibatnya mereka tak mengetahui metode yang memungkinkan kedua lawan jenis itu untuk tolong menolong sehingga menghasilkan kebaìkan bagi umat dengan adanya tolong menolong itu.

Mereka sibuk berdiskusi dan berdebat seputar metode untuk mengatasi persoalan dan malah di jauhkan dari mengkaji hakikat persoalan yang sebenarnya. Timbulah di masyarakat sebuah jurang yang dikhawatirkan mengancam eksistensi umat Islam, Yaitu khairu ummah (umat terbaik) yang unik dengan berbagai karakter khasnya. Dikhawatirkan rumah tangga Islam akan kehilangan identitas keislamannya dan kehilangan kecemerlangan pemikiran Islam serta jauh dari penghormatan dan hukum-hukum dan pandangan Islam.

Maka tak ada jalan lain, kaum muslim harus kembali mengkaji sistem pergaulan pria dan wanita dalam Islam. Yaitu hukum asal pertemuan dan pergaulan laki-laki dan wanita adalah terpisah. Hanya ada hajat syar’i saja yang membolehkan laki-laki dan perempuan untuk bertemu dan berinteraksi. Seperti hajat untuk pengobatan, jual beli, pendidikan dan sebagainya. Selama interaksi laki-laki dan perempuan haruslah menutup aurat dan tak berkhalwat.

Dalam aspek keluarga lebih luas lagi cakupan syari’at Islam. Yang menitiktekankan bahwa suami adalah qawwam istri. Suami harus menunaikan kewajibannya sebelum menuntut haknya. Pun sama dengan istri. Dalam aspek negara, haruslah ada upaya menerapkan pendidikan berbasis akidah Islam, sehingga kaum muslim paham syari’at dalam pergaulan laki-laki dan wanita. Tak hanya itu ada penerapan sanksi tegas bagi yang melanggar syari’at Islam tersebut. Seperti rajam dan jilid bagi yang berzina, ta’zir bagi suami yang tak bertanggungjawab pada keluarga, qishas bagi pembunuhan jiwa dan sebagainya.

Diperlukan azam (tekad) untuk menerapkan syari’at Islam dalam kehidupan. Motivasi terkuat adalah untuk meraih ridha Allah. Karena dalam penerapan sistem pergaulan Islam ada jaminan dari Yang Maha Ilmu untuk mendapatkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Cukup firman Allah SWT ini yang menjadi pegangan :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ

Artinya: Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah (QS. Al Infitar ayat 6).

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

Artinya : Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya (QS. Ath-Thalaq ayat 4).
Wallahu a’lam bish-shawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 17

Comment here