Opini

Jebakan Paylater pada Generasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Intan Ayu

wacana-edukasi.com, OPINI– Sedang trend di kalangan remaja, Buy Now Pay Later (BNPL) yang artinya beli dulu bayar nanti, Fitur keuangan ini amat digandrungi karena memberikan kemudahan kepada pengguna di saat tidak ada dana, tetap dapat berbelanja dengan cara berhutang tanpa pakai kartu kredit.

Dan kini, fitur Paylater semakin popular di tengah masyarakat, yang sedang menggandrungi dompet digital dan belanja online. Tidak hanya di Indonesia, model bisnis Paylater juga sedang booming di dunia. Di inggris mayoritas pengguna layanan BNPL adalah Gen Z dan milenial, 25% pengguna berusia 18-24 tahun dan setengahnya berusianya 25-36 tahun ( Bloomberg, How Old-Style Buy Now, Pay Later Became Trendy ‘BNPL’, 15 september 2021)

Pada faktanya, Buy now Pay later ini menjadi tahap awal untuk mengikat generasi milenial dan gen Z dalam jebakan hutang.

Marketing pay later di gambarkan sangat erat dan dekat dengan anak muda, contohnya Traveloka Pay later, mengiklankan pay later sebagai cara untuk mewujudkan impian dan self-healing atau self-care. Dengan trik marketing, pay later yang di buat menarik dan seheboh mungkin, iklan-iklan pay later yang ada di mana-mana, tagline pay later sangat menarik ” tanggal Tua atau muda belanja nya ya pakai pay later”, berbagai promo-promo yang menggiurkan seperti cashback, gratis ongkir, diskon hingga 70%, dsb.

Hal ini yang menjadikan fitur paylater sangat di gemari daripada pembayaran cash. Ibarat racun berbalut madu, sepintas paylater ini terlihat begitu menarik dan menguntungkan, tetapi ternyata ini merupakan jebakan yang menimbulkan banyak kerugian dan mengakibatkan penggunanya terjebak dengan hutang.

Paylater menyasar orang-orang yang rentan, orang-orang yang minim terhadap pengetahuan tentang pengelolaan keuangan. Salah satunya adalah generasi milenial. Di media sosial, fitur paylater yang berujung gagal bayar telah berulang kali menjadi pembahasan. Sejumlah pengguna Twitter sempat membagikan tangkapan layar yang menunjukkan tagihan paylater yang membuatnya merasa “sesak” membayar.

Paylater merupakan salah satu strategi pemasaran yang berkembang pada era digital dan memangsa masyarakat yang terbiasa memanjakan mata. Paham dengan perilaku konsumen, pebisnis pun tentu paham apa yang bisa membuat konsumen tertarik untuk berbelanja. Ini adalah peluang bagi lintah darat yang terus tumbuh di platform digital.

Konsumen pun merasa dimudahkan dengan sistem paylater. Meski demikian, sistem ini pun bukan tanpa jebakan. Pilihan tenor yang diberikan pada nasabah berbanding lurus dengan bunga pinjaman yang harus nasabah bayarkan.

Tidak sedikit generasi muda yang memanfaatkan metode paylater. Walhasil, lilitan utang online jumlahnya bisa bejibun.

Mekanisme ini terjadi secara perlahan. Menjebak, lalu melilit konsumen persis lintah darat. Hanya dunianya saja yang kini berpindah.

Seperti kisah salah satu pengguna paylater berikut ini. Dilansir dari bbc.com, Toni, bukan nama sebenarnya, pertama kali menggunakan paylater sekitar empat tahun yang lalu untuk membeli ponsel dan laptop.

Dia tertarik mendaftar paylater karena mendapat penawaran dari aplikasi jasa perjalanan serta e-commerce untuk mengaktifkan fitur tersebut. Bermodal identitas dan persetujuan pengguna, dalam 24 jam berikutnya, Toni bisa mengakses layanan paylater.

“Waktu itu, dengan skema cicilan yang ditawarkan, misalnya mau beli handphone dengan harga Rp5 juta dan bayarnya bisa 10 kali, itu terasa lebih gampang dibanding harus nabung selama itu untuk bisa beli barangnya,” kata Toni kepada BBC News Indonesia.

Toni mengaku “kebablasan” menggunakan paylater hingga jumlahnya mencapai hampir empat kali dari gajinya dalam sebulan. Cicilan yang harus dia bayar juga terus menumpuk dari berbagai platform, ditambah bunga dan denda keterlambatan.

Namun, untuk keluar dari jerat cicilan paylater juga tidak mudah. Sampai saat ini, Toni belum terbebas dari cicilan itu. Dia telah menunggak di beberapa platform selama beberapa tahun. Toni bahkan masih bergantung pada dana pinjaman untuk menutupi kebutuhan hidupnya.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa konsumerisme dan hedonisme yang melanda generasi muda telah dimanfaatkan oleh rentenir gaya baru untuk menjerat mangsa. Kemudahan akses untuk pinjam uang, membuka peluang untuk memenuhi keinginan demi gaya hidup ala Barat.
Apalagi Negara memfasilitasi jeratan haram dengan berbagai dalih, seperti terdaftar di OJK, bunga rendah, tanpa syarat adanya penghasilan dan lainnya, sehingga dianggap sebagai hal biasa bahkan sangat memudahkan. Padahal nyatanya jeratan hutang yang menggurita membahayakan masa depannya.

Hal ini tak akan terjadi dalam Islam. Dengan sistem hidup yang sesuai dengan Islam, pemuda akan terhindarkan dari jebakan yang membahayakan ini. Pemuda terjamin hidupnya juga pendidikannya, aman dari godaan gaya hidup barat dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas untuk menghantarkannya menjadi insan mulia.

Hanya dalam sistem Islam, generasi muda dibentuk dengan akidah Islam dan senantiasa terikat dengan hukum syara. Maka akan terwujud generasi muda yang bersyaksiyah islamiyah (berkepribadian islam) yang terbentengi dari pemikiran yang rusak seperti liberalisme, materialisme dan konsumerisme.

Islam memandang pentingnya memahami hal-hal yang menjadi kebutuhan, begitu pula yang menjadi keinginan. Di sisi lain, Islam mengajarkan manusia untuk menjauhi sifat boros dan foya-foya. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS Al-Isra: 27).

Meski Islam tidak melarang manusia untuk kaya, tetapi kekayaan tersebut tidak boleh menjadikan seorang mukmin berfoya-foya. Membeli sesuatu, tetapi bingung saat akan menggunakannya adalah ciri manusia konsumtif. Islam jelas memerintahkan kaum muslim untuk menjauhi hal ini. Dengan sendirinya, konsumerisme sulit berkembang dalam masyarakat Islam.

Dalam mengelola marketplace, sistem Islam—dalam hal ini kekhalifahan—akan mengontrol pasar digital selayaknya mengelola pasar pada umumnya. Munculnya aplikasi pinjaman yang menjerat masyarakat adalah wujud lepas tangannya pemerintah dalam mengontrol muamalah rakyatnya. Selain melakukan tindakan preventif agar masyarakat menghindari konsumerisme, Islam juga akan menghilangkan praktik utang piutang dengan skema riba.

Pinjaman berbasis riba terbukti berkontribusi dalam menambah beban mental masyarakat. Tidak sedikit kasus utang piutang berujung depresi hingga bunuh diri. Anehnya, pemerintah terkesan diam, padahal kasus ini bukan satu dua kali terjadi.

Tidak ada solusi lain untuk memadamkan akar masalah dari karut marutnya sistem hidup saat ini, selain berjuang mengembalikan Islam. Dengan standar hidup Islam, akan terwujud sistem sosial masyarakat yang berkah dan sejahtera. Insyaallah.

Wallahu’alam bis shawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 240

Comment here