Oleh : Teti Ummu Alif
(Pegiat Literasi Kota Kendari)
wacana-edukasi.com– Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini naik pitam. Pasalnya, para menteri dan jajaran kabinetnya masih gemar melakukan impor dengan APBN. Jokowi mengatakan jika menterinya lebih suka berbelanja barang impor ketimbang barang dalam negeri. Pidato berapi-api RI 1 ini disampaikan pada acara Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia yang diselenggarakan di Bali pada hari Jumat kemarin, tanggal 25 Maret 2022.
Pada kesempatan itu presiden mengeluarkan unek-uneknya. “Uang-uang kita sendiri, APBN kita sendiri, uang rakyat, uang kita sendiri kok dibelikan barang impor itu gimana toh? Geregetan saya,” ungkapnya saat berpidato yang dilansir dari kompas.com, (01/04/2022). Tak tanggung-tanggung dana belanja untuk impor ini baik APBN, APBD, maupun anggaran BUMN mencapai Rp1.500 triliun.
Sayangnya, kemarahan sang presiden hanya dianggap gimik semata oleh sejumlah pihak. Pernyataan ini diungkap Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah. Menurutnya, ekspresi kekesalan Presiden bukan kali pertama mengemuka. Sehingga, nada ancaman reshuffle itu lebih mungkin sebagai gimik pidato, tidak lebih dari itu (Republika.com 26/03).
Hal senada, disampaikan Anggota Komisi X DPR Mustafa Kamal. Ia bahkan terang-terangan mengatakan jika pemerintah telah gagal mengendalikan pembelian barang-barang impor. Dia menilai pemerintah hanya bermodalkan ‘omongan’ saja tapi untuk merealisasikannya sangat tidak mungkin. Apalagi jika dilihat dari upaya pemerintah dalam mengendalikan barang-barang impor yang terkesan lamban.
Lebih dari itu ekspresi Jokowi ini disinyalir sebagai wujud “cuci tangan”, seperti yang diungkap Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto. Ia menilai bahwa Jokowi sangat berusaha untuk menjaga wibawanya di depan umum. Sementara di sisi lain Jokowi seakan lepas tangan terkait masalah impor. Dia seakan melemparkan kesalahan itu pada menterinya dan bukan dirinya sendiri. (Cnnindonesia.com, 01/04)
Wajar jika berbagai anggapan diatas banyak bermunculan. Sebab, faktanya memang Indonesia sampai hari ini masih mengimpor berbagai peralatan elektronik rumah tangga, sepatu, juga garmen, mainan anak-anak, hingga alat tulis perkantoran. Bahkan, alat mesin pertanian juga masih diimpor.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pada Februari 2022 Indonesia diserbu impor berbagai komoditas pangan. Mulai dari beras diimpor sebesar 5.075 ton setara dengan 2 juta dolar. Daging ayam diimpor sebesar 2,8 ton senilai 9.768 dolar. Impor telur unggas mencapai 152 ton dengan nilai 922.804 dolar. Sedangkan cabai diimpor sebesar 1.055,8 ton dengan nilai 1,9 juta dolar. Impor lainnya adalah 758.200 ton gula pasir dengan nilai 372,3 juta dolar. Komoditas impor yang sering menghebohkan adalah kedelai. Impor 114.600 ton kedelai dengan nilai 67,1 juta dolar. Indonesia terkenal dengan berbagai sumber daya alam yang melimpah. Namun, masih menghadapi masalah kerawanan pangan. Sehingga, bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat pun tak lepas dari impor. Sungguh miris.
Lantas mengapa kegeraman ini baru muncul diakhir-akhir masa jabatan? Disaat laju impor sudah tak terkendali disegala bidang. Termasuk proyek infrastruktur yang digadang-gadang pemerintah selama ini barang-barang modalnya diimpor semua. Sampai-sampai, industri baja nasional hampir tepar dan industri semen nasional overproduction. Alangkah lucunya penguasa negeri ini.
Seyogianya, kali ini presiden tidak sekadar mencari sensasi ekonomi dengan kritiknya itu, tapi bisa dijadikan landasan dasar dalam membenahi struktur perekonomian nasional kedepan. Karena, pembangunan ekonomi tidak saja soal infrastruktur. Tetapi juga soal penguatan kapasitas produksi nasional.
Mesti disadari bahwa kebijakan impor di berbagai bidang jelas tidak berdampak baik bagi rakyat serta negara. Sebab, impor sejatinya hanya menguntungkan para pejabat yang juga pengusaha atau penguasa itu sendiri. Berdasarkan dokumen impor, kelompok korporasi nonpemerintah memegang 77,16% aktivitas impor alat kesehatan yang diperuntukkan untuk penanganan pandemi di negeri ini. Sedangkan, pemerintah hanya memegang 16,67% dari keseluruhan aktivitas impor alat kesehatan penanganan pandemi. Sisanya, 6,18% pengadaan barang dari luar negeri dilakukan lembaga nonprofit.
Di sisi lain, impor sebenarnya tidak dilarang dalam Islam. Khilafah mengizinkan kaum muslim dan kafir dzimi untuk mengimpor komoditas dari negara-negara kafir, kecuali negara kafir harbi fi’lan. Hanya saja, tidak dibolehkan mengimpor persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis dari Khilafah. Impor yang dilakukan oleh Khilafah hanya dalam kondisi saat kebutuhan produksi dalam negeri tidak terpenuhi, tidak menggantungkan sama sekali kebutuhan dalam negeri pada negara lain. Sebab, Khilafah mampu melakukan swasembada. Pun, memiliki bahan-bahan mentah yang dibutuhkan melalui pengelolaan SDA yang baik dan amanah sehingga tidak mengandalkan impor. Saatnya negara berbenah agar kehidupan berkah dan mampu berdiri di atas kaki sendiri. Wallahu a’lam bisshowwab.
Views: 3
Comment here