Opini

Jeratan Politik Industri, Islam Punya Solusi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Sonia Padilah Riski S.P (Aktivis Dakwah Muslimah)

wacana-edukasi.com– Pemilu periode tahun 2024 menjadi bahasan yang hangat baik dikalangan masyarakat maupun pejabat partai. Beberapa partai pun sudah menunjukkan eksistensinya untuk mengikuti pemilu yang akan dilaksanakan 3 tahun mendatang.

Namun banyak masyarakat justru mengeluhkan tentang dipasangnya baliho dari beberapa partai, cukup menganggu. Karena, mau dipikir bagaimanapun pemasangan baliho cukup menghabiskan biaya. Apalagi bukan hanya satu atau dua daerah saja, hampir disetiap daerah.

Dari pra-pelaksanaan sudah terlihat bagaimana pengurus partai terlihat menghamburkan dana hanya untuk kegiatan yang tidak penting. Begitu pula dengan pelaksanaan dalam pemilu tersebut.

Dilansir dari beritasatu.com (16/09/2021), Komisi II DPR menyoroti rencana anggaran Rp 86 triliun untuk penyelenggaraan Pemilu 2024. Penganggaran dana dalam pelaksanaan pemilu yang menunjukkan angka fantastis bukan hanya terjadi kali ini saja. Total anggaran yang digunakan pada pelaksanaan pemilu 2019 mencapai Rp 25,59 triliun (kemenkue.go.id, 26/03/2019). Belum lagi ditambah dengan beredarnya money politic seakan sudah menjadi ciri khas di musim pemilu.

Politik uang atau money politic merupakan bentuk pelanggaran kampanye. Banyak masyarakat yang sudah menyadari hal ini adalah sebuah kesalahan, tapi anehnya karena sudah menjadi tradisi dalam pemilu demokrasi hal ini menjadi suatu kegiatan yang lumrah.

Karena sejatinya, jika seseorang tidak mengeluarkan uang dalam jumlah tertentu dipastikan ia tidak akan mendapatkan kursi kekuasaan yang diinginkan. Hal ini juga semakin menunjukkan bahwa hanya orang-orang yang memiliki modal/materi yang bisa menduduki kursi jabatan.

Lahirnya Politik Industri Dalam Demokrasi

Dalam buku, Demokrasi Sistem Kufur (Abdul Qadim Zallum), dijelaskan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan “suara mayoritas”. Anggota-anggota lembaga legislatif dipilih berdasarkan suara mayoritas pemilih dari kalangan rakyat. Begitu pula dengan penetapan peraturan dan undang-undang serta pemberian mosi percaya atau tidak percaya kepada pemerintah dalam dewan perwakilan ditetapkan pula berdasarkan “suara mayoritas”.

Pemilihan penguasa oleh rakyat, baik langsung maupun melalui para wakilnya, ditetapkan pula berdasarkan “suara mayoritas” rakyat. Inilah ciri khasnya dengan pendapat mayoritas sebagai tolak ukur hakiki.

Berbeda dengan realita hari ini kenyataan “suara mayoritas” bukan lagi murni dari pendapat/keinginan rakyat melainkan hasil transaksi dari para penguasa dengan rakyat itu sendiri. Ibarat industri. Lahir sistem politik industry dalam demokrasi bukan dengan sendirinya, tentunya ada wadah yang menaungi bahkan menyediakan pemilihan penguasa dengan sistem tersebut, yaitu asas Kapitalisme. Politik ibarat transaksi jual beli, padahal tanggung jawab pada urusan umat sangat besar.

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dibuat oleh manusia dalam rangka membebaskan manusia dari kezaliman dan penindasan para penguasa atas nama agama. Demokrasi adalah suatu sistem yang bersumber dari manusia dan tidak ada hubungannya dengan wahyu atau agama.

Latar belakang lahirnya demokrasi oleh keberadaan para penguasa di Eropa yang mengklaim bahwa seorang penguasa adalah wakil Tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat berdasarkan kekuasaan-Nya.

Dengan kata lain, seorang penguasa dianggap memiliki kewenangan mutlak untuk memerintah rakyat dengan peraturan yang dibuatnya sendiri, karena kekuasaan mereka berpijak pada kekuasaan yang bersumber dari Tuhan, bukan dari rakyat. Akibatnya, mereka secara leluasa menzalimi dan menguasai rakyat (sebagaimana halnya pemilik budak secara leluasa menguasai budaknya).

Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebebasan yang bersifat umum yaitu (a) kebebasan beragama, (b) kebebasan berpendepat, (c) kebebasan kepemilikan, (d) kebebasan berperilaku. Adanya kebebasan ini juga mengarah pada kebebasan untuk mendapatkan suara mayoritas.

Karena demokrasi adalah bagian produk akal manusia bukan berasal dari Allah swt jadi sangat memungkinkan bahwa aturan agama nihil dalam penerapan demokrasi. Hal tersebutlah yang memunculkan adanya sekulerisme dalam kesehariannya (yang selanjutnya mengarahkan adanya pemisahan agaam dari negara).

Demokrasi tidak senada dengan pengertian yang sering dijelaskan dalam buku-buku atau apapun. Mayoritas masyarakat menganggap bahwa demokrasi hadir untuk menentaskan permasalahan rakyat.

Pernyataan demokrasi yang menyatakan “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat” merupakan kebohongan besar. Perkataan ini sangat jauh dari kebenaran, baik ditinjau dari sisi pemerintahan maupun pilar-pilar pemerintahan, sistem dan perundang-undangnya. Hukum rakyat oleh rakyat itu bertentangan dan menyalahi fakta, meski seandainya dibangun diatas jalan tengah atau dengan mengambil hokum mayoritas.

Kenyataannya, rakyat tidak menetapkan hukum, karna konstitusi yang membuat berbagai hukum perundang-undangan adalah sekelompok kecil orang yang tidak merepresentasikan dari golongan masyarakat.

Penggambaran bagaimana jalannya pemilu demokrasi juga patut dipertanyakan. Anggaran yang sangat fantastis tersebut seharusnya bisa untuk kesejahteraan rakyat. Lebih menyedihkan juga menghabiskan watu.

Para anggota partai selalu saja disibukkan dengan agenda kampanye tanpa melibatkan perannya untuk mengatasi rakyat saat ini. Keberadaan partai politik itu sendiri sebenarnya juga hanya pajangan yang akan digunakan ketika musim pemilu tiba.

Sistem Pemilihan Pemimpin dalam Islam

Ketika syara’ mewajibkan umat Islam untuk mengangkat seorang pemimpin, syara’ pun ternyata telah menggariskan metode yang harus ditempuh untuk mewujudkannya.

Metode ini ditegaskan oleh al-qur’an, as-sunnah dam Ijma’ sahabat. Metode tersebut adalah bai’at. Jadi pengangkatan pemimpin (khalifah) dapat diwujudkan dengan bai’at kaum muslim kepada seseorang (untuk memerintah) atas dasar kitabullah dan Sunah Nabi-Nya.

Begitu pula dengan pemilihan anggota majelis umat atau dalam hal ini wakil umat yaitu wakil rakyat. Anggota majelis umat itu dipilih melalui pemilihan umum, bukan dengan penunjukkan atau pengangkatan. Karena mereka mewakili semua rakyat dalam menyampaikan pendapat (aspirasi) mereka.

Sedangkan seorang wakil itu pada dasarnya hanya dipilih oleh orang yang mewakilkan. Orang yang menjadi wakil sama sekali tidak bisa memaksa orang yang mewakilkan. Karena anggota majelis umat merupakan wakil semua orang dalam menyampaikan pendapat, baik secara pribadi maupun kelompok (kolektif).

Rasulullah SAW bersabda ketika negara islam sudah terbentuk di Madinah. bahwa anggota majelis umat itu adalah para wakil :
“Pilihkanlah untukku, dua belas pemimpin (wakil) di antara kalian, yang bertanggung jawab atas kaum mereka.” (disebutkan oleh ibn Hisyam dalam sirahnya, dari Ka’ab bin Malik)

Pemilihan pemimpin dalam negara Islam sangat dipermudah dan efisien. Tentunya rakyat tidak perlu dikhawtirkan dengan janji-janji pemimpin yang belum pasti. Karena seorang khalifah dalam menjalankan sebuah negara dilandaskan keimanan pada Allah swt. Sehingga baik hukum maupun penerapan negara juga harus mengikuti aturan Allah swt.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 11

Comment here