Opini

Jilbab Wajib Non muslim, Intoleransi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Hasna Johan (Pemerhati kebijakan publik dan generasi)

Wacana-edukasi.com — Beberapa hari terakhir viral di medsos video percakapan antara Eliana Hia selaku orang tua murid yang tidak setuju anaknya memakai jilbab (hijab) di sekolah dengan pihak SMKN 2 Padang pada Kamis (21/1/2021). Hal ini menimbulkan berbagai polemik di masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) dan menjadi sorotan diberbagai kalangan.

Kepala SMKN 2 Padang, Rusmadi menerangkan, “ada 46 siswi non-Islam yang berada di sekolah tersebut. Seluruh siswinya mengenakan hijab dalam aktivitas sehari-hari kecuali Jeni Cahyani Hia. Siswi non-Islam yang berhijab diakuinya memakai kerudung dengan sukarela, tidak ada yang keberatan dan tidak ada paksaan dalam pemakaian hijab tersebut. Pemakaian hijab di sekolah merupakan peraturan sekolah dan harus ditaati oleh seluruh siswi dan guru yang ada di sekolah. Hal ini pun telah disepakati bersama ketika akan masuk ke SMKN 2 ini”.

Mengenai kontroversi seragam jilbab (hijab) di sekolah negeri baik untuk siswi yang muslim maupun non-Islam bukan merupakan hal baru. Sebelumnya Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahaya Purnama (Ahok) saat masih menjabat juga pernah mempersoalkan hal serupa. Ahok melarang sekolah-sekolah negeri memaksa siswinya mengenakan jilbab. Hal serupa pun pernah diterapkan saat beliau menjabat Bupati Belitung Timur tahun 2006. “Bukan berarti saya membenci Islam,” ujarnya.

Viralnya video wajibnya siswi non muslim berjilbab di Padang menimbulkan kehebohan tersendiri. Berbagai kalangan mengomentari perihal tersebut. Anggota komisi X DPRD dari partai PDIP, Andreas Hugo Pareira mengatakan, “terhadap lembaga pendidikan yang melakukan peserta didik untuk berkeyakinan atau menggunakan simbol yang tidak sesuai dengan keyakinan agamanya harus diberikan peringatan keras” (detik.com)

Anggota DPR RI Andre Rosiade juga mengomentari video viral tersebut, “tentunya ini tidak boleh terjadi dan bisa saja menjadi pelanggaran yang tidak patut terjadi di sekolah, apa lagi di Ranah Minang walaupun mayoritas warganya beragama Islam”, ujarnya sebagai bagian dari warga keturunan Sumbar (tribunnews.com)

Hal senada pun disampaikan oleh Mendikbud Nadiem yang juga menanggapi perihal video tersebut dan menegaskan, “pemerintah tidak akan menoleransi guru dan kepala sekolah yang melakukan pelanggaran dalam bentuk intoleransi” (Kompas.com)

Permasalahan yang pelik ini pun tengah ditangani oleh pihak Komnas HAM Sumbar Beka Ulung Hapsara, beliau menyatakan, “pihak SMKN 2 Padang yang memaksa siswi non muslim untuk berjilbab telah mengakui kesalahannya dan meminta maaf sedangkan siswi yang bersangkutan bisa kembali ke sekolah seperti biasa”. (PikiranRakyat.com)

Sejatinya permasalahan seragam jilbab yang diwajibkan oleh pihak sekolah kepada siswinya tidak akan viral dan menimbulkan kontroversi di masyarakat bila tidak di unggah pada laman sosmed dan melakukan dialog antara pihak sekolah dengan orang tua murid yang tidak setuju tersebut. Sistem demokrasi yang berasaskan sekuler liberal inilah pemicunya sehingga adab terhadap guru pun terkikis oleh zaman.

Akar masalah intoleransi

Kehebohan yang dipertontonkan oleh para elit politik, anggota dewan, Mendikbud dan pejabat lain yang turut mengomentari video tersebut sungguh di luar kewajaran. Sebab di Padang Sumbar perihal jilbab (hijab) bukanlah hal yang luar biasa baik bagi muslim maupun non muslim. Di Provinsi tersebut ada peraturan daerah yang mewajibkan jilbab baik di sekolah maupun di lingkungan sekitar dan hal ini sudah berlangsung kurang lebih 15 tahunan. Di Padang lumrah terjadi jika non-Islam memakai jilbab ke sekolah.

Solusi Islam bagi non muslim

Islam bukanlah agama yang intoleransi. Sebaliknya Islam adalah satu-satunya agama yang paling toleransi terhadap pemeluk agama lain. Hal ini terbukti dari sejarah Islam saat Kekhilafahan Turki Ustmani masih tegak berdiri. Di mana hukum syariat berpakaian syar’i berlaku bagi semua warga termasuk non-Islam

Dalam sistem Islam negara Khilafah, non-Islam yang hidup pada masanya (ahludz dzimmah) dibiarkan memeluk agamanya (aqidahnya) dan menjalankan ibadahnya masing-masing. Begitu juga dalam hal makanan, minuman dan pakaian. Mereka diperlakukan sesuai dengan agamanya dan dalam batas yang diperbolehkan oleh syariah.

Namun mereka terikat dengan dua batasan. Yakni, batasan pertama menurut agama mereka. Pakaiannya sesuai dengan pakaian Agamawan dan agamawati mereka. Yaitu pakaian rahib dan pendeta bagi laki-laki dan pakaian rahib perempuan bagi perempuan. Batasan ke dua yang ditetapkan oleh syariah, yaitu hukum-hukum kehidupan umum yang mencakup seluruh rakyat, baik muslim maupun non-Islam untuk laki-laki dan perempuan. Ketentuan berpakaian dalam kehidupan umum ini berlaku bagi seluruh individu rakyat tanpa terkecuali bagi non muslim. Pakaian yang disesuaikan dengan agama mereka yakni menutup aurat, tidak bertabarruj dan wajib mengenakan jilbab dan kerudung.

Fakta sejarah ini membuktikan bahwa sepanjang masa khilafah, baik muslimah maupun non-muslimah mengenakan jilbab. Di mana bila ada sebuah kampung yang terdapat muslimah dan non-muslimah pakaian mereka tidak bisa dibedakan. Ini menunjukkan bahwa pakaian perempuan baik muslimah maupun non-muslimah diatur sesuai syariah.

Wallahu’alam bisshowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 157

Comment here