Oleh: Susanti Mandasari
Hampir satu tahun, sejak pandemi covid-19, pelajar di negeri ini melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan berbagai kendala dan problem yang terjadi, baik itu problem di tataran teknis maupun hal mendasar yang butuh segera dilakukan perbaikan secara komprehensif dan mendasar pula.
Di antara problem teknis, yaitu jaringan internet yang tidak menjangkau seluruh pelajar di Indonesia, padahal kebijakan PJJ ini hingga ke pelosok negeri yang berimbas banyak learning loss alias hilang minat belajar siswa. Hal ini akan berbahaya bagi negara jika sampai kehilangan generasi masa depan. Belum lagi kepapa-an yang menimpa sebagian besar pelajar negeri ini meski hidup di kota besar. Mereka tak memiliki sarana pendukung untuk daring
bahkan quota internet yang sering menjadi alasan susah mengerjakan tugas, belum lagi ada sebagian guru dan orang tua/wali siswa tak siap PJJ. Problem teknis berkepanjangan ini pun menyisakan banyak kisah pilu, ada seorang ayah yang nekat mencuri laptop demi anak yang butuh alat daring ini, (radarlampung.co.id/22/07/2020).
Ada pula pelajar yang bekerja sebagai kuli bangunan agar bisa membeli android, tak ayal kesenjangan sosial semakin menganga di hadapan pelajar.
Ada pelajar yang bunuh diri karena tak sanggup beban daring, bahkan sampai ada orang tua yang membunuh anak karena belajar from home tak bisa mereka atasi.
Terlalu ringan jika kisah pilu di atas dianggap sekelumit kejadian yang kemudian diabaikan oleh pemerintah seolah-olah hal tersebut wajar terjadi. tentu sangat miris! Pasalnya Indonesia sebagai negeri kaya sumber daya, semestinya mampu menyelesaikan problem teknis tersebut dengan mengerahkan SDA untuk menanggung kebutuhan para pelajar secara utuh baik sarana dan fasilitasnya, serta bertanggungjawab penuh pada pendidikan generasi, karena bagaimanapun penyebaran wabah covid-19 belum bisa dipastikan kapan berakhir.
Tidak hanya itu, problem mendasar pendidikan negeri ini minim evaluasi, seolah-olah tak peduli dengan keluhan rakyat dan masukan dari para pakar terutama para ulama (orang berilmu) yang menghendaki perubahan pada tataran kurikulum pendidikan agar mampu menghasilkan generasi yang berakhlak baik, mengedepankan adab terhadap guru dan orang tua yang menjadi ciri bagi penuntut ilmu.
Sebaliknya kasus perzinaan, sex bebas hingga pelacuran di kalangan remaja tak terelakkan(newsmaker.tribunnews.com/2020/07/30), narkoba dan kriminalitas di usia pelajar pun semakin meningkat.
Inilah buah dari diterapkannya sistem kapitalisme-sekuler yang menjadi akar masalah bagi pendidikan negeri ini.
Harus dipahami bahwa problem mendasar pandidikan adalah karena kurikulum di Indonesia mengacu pada PISA dan TIMMS Eropa (news.detik.com).
Sehingga, standar internasional dijadikan pedoman bagi pendidikan dan nilai akademis yang tinggi dianggap prestasi meskipun minim adab dan akhlak, terbukti output pendidikan yang dihasilkan negeri ini sangat jauh dari nilai agama, apalagi arah pendidikan justru moderasi agama yang semakin menjauhkan peserta didik dari kesadaran hubungan dirinya sebagai mahluk dengan Robb-nya, Al-Khaliq, penguasa langit dan bumi beserta isinya.
Tanpa ruh atau kesadaran ini, maka pembelajaran makin garing, tak jelas arah. pelajar menjadi bosan akibat tugas yang menumpuk.
Wajar jika aturan seperti apa pun tidak bisa dipatuhi generasi ini, saat ada perintah untuk tidak membuat kerumunan, justru banyak tempat-tempat nongkrong baru dibuka untuk para pemuda yang bosan di rumah, sementara bangku sekolah dikosongkan. Ini jelas kontradiktif. Bagaimana pelajar tidak mengalami learning loss, di saat sektor pendidikan tidak mampu menanamkan kepada mereka kesadaran untuk memelihara sikap dan perilaku sesuai koridor etika agama. Mereka dihantam aplikasi semisal Tiktok, adanya drakor, dan konten-konten porno di media sosial maupun televisi. Mereka melihat cara lain untuk mendapatkan kebahagiaan dan materi tanpa peduli aturan/syariat.
Generasi ini membutuhkan teladan, yaitu sosok pemimpin yang cerdas juga amanah dan arahan yang benar juga memacu untuk berlomba dalam kebaikan karena mereka adalah generasi emas, tetapi masih labil dalam menentukan tujuan hidup. Di sinilah peran negara diperlukan untuk menyelamatkan generasinya dari kehancuran (lost) sangat krusial.
Telah nyata kerusakan sistem demokrasi-sekuler yang menjadi acuan pendidikan saat ini.
Telah jelas pula bahwa dengan mengacu pada sistem demokrasi, negara tidak mampu mengatasi pandemi yang berkepanjangan dan meluas karena negara tidak mengambil syariat sebagai solusi bahkan negara hanya mementingkan ekonomi dan menggenjot pariwisata yang akibatnya sebaran wabah tak karuan terutama dengan keluar masuknya wisatawan mancanegara, Imbasnya ekonomi rakyat tetap terpuruk dan kerumunan tak terelakkan.
Maka, tiada jalan lain bahwa negara harus mengambil ajaran Islam sebagai solusi tuntas mengatasi semua problem yang terjadi di negeri ini. Syariat berasal dari Allah Swt. sebagai pencipta manusia, maka mampu menentramkan dan sesuai dengan fitrah manusia. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Isra : 36
وَلَا تَقۡفُ مَا لَـيۡسَ لَـكَ بِهٖ عِلۡمٌ ؕ اِنَّ السَّمۡعَ وَالۡبَصَرَ وَالۡفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤٮِٕكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔوۡلًا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya
Telah terbukti, selama lebih dari 13 abad, Khilafah islamiyah mampu mewujudkan generasi gemilang seperti Sholahudin al-Ayubi, Muhammad al-Fatih, dan lainnya.
Kesadaran masyarakat untuk islah atau melakukan perbaikan juga semakin besar untuk cita-cita kebangkitan menerapkan kembali Islam di tengah masyarakat.
Dengan syariah Islam sistem pendidikan akan lebih baik dari proses belajar hingga output akan gemilang, Islam memberikan jaminan yang khas dan real untuk menjadikan ilmu bermanfaat bagi kehidupan dunia dan menyelamatkan di akhirat.
Wallahu’alam bishawab
Views: 0
Comment here