Oleh: Dedah Kuslinah, ST
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Kalimantan Barat menggelar acara silaturahmi dan bincang santai di Warkop Klaani, Sabtu (1/8/23). Acara ini bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan antar jurnalis serta membahas isu penting mengenai independensi dan netralitas media dalam pemberitaan menghadapi Pemilu 2024 di Kalimantan Barat. Dengan narasumber tiga orang jurnalis senior yakni, Harry Adrianto dari Suara Pemred, Mursalin dari PonTv, dan Ir. H. Werry Syahrial, MH dari Harian Berkat (https://www.suarapemredkalbar.com/read/ponticity/02072023/bersatu-dalam-silaturahmi-dan-bincang-santai-jurnalis-kalbar-jaga-independensi-dan-netralitas-pemilu-2024)
Menurut Harry Adrianto, Independensi dan netralitas media adalah prinsip utama yang harus kita junjung tinggi sebagai jurnalis profesional. Pemilu adalah momen krusial dalam demokrasi, dan tugas kita adalah menyajikan informasi yang akurat dan obyektif kepada masyarakat. Demikian pula menurut Mursalin, sikap netralitas dalam pemberitaan bukan berarti kita tidak boleh kritis terhadap berbagai peristiwa politik. Namun, penting bagi kita sebagai jurnalis untuk tetap menjaga integritas dan memastikan bahwa berita yang disampaikan sesuai fakta dan tidak condong pada kepentingan tertentu.
Menurut Werry Syahrial, melalui kesatuan dan semangat yang terjalin, diharapkan terpeliharanya harmonisasi dan peningkatan kesadaran masyarakat dalam menyikapi berita serta menangkal penyebaran berita hoax selama masa politik Pemilu 2024 di Kalimantan Barat. Kemudian Ketua IJTI Kalbar, Yuniardi berharap kegiatan ini berdampak positif kepada Jurnalis Kalbar sehingga dapat menyajikan pemberitaan yang baik dan berimbang dan tentunya dapat menyejukkan di tengah-tengah suasana politik yang mulai memanas jelang Pemilu 2024.
Menurut Bill Kovach dalam artikelnya ‘Journalism’s First Obligation is to Tell the Truth’ “Kebenaran adalah sebuah proses dalam kerja jurnalistik. Kebenaran mutlak tidaklah ada, karena manusia memiliki pandangan yang subjektif. Pandangan yang menolak kebenaran mutlak amatlah khas Barat yang sekuler” (niemanreports.org). Sementara itu berbeda jauh dengan jurnalis Islam yang hanya melayani nilai-nilai Islam, wahyu dan ideologinya. Bukan sepenuhnya mengagungkan netralitas dan humanity (kemanusiaan). Setidaknya ada empat prinsip dasar dalam jurnalisme Islam yaitu konsep kebenaran (haqq), tabligh, mashlahah dan wasatiyyah.
Dalam Al Qur’an Naba (berita) disebut sebanyak 138 kali. Al Qur’an maupun Hadis, memberikan petunjuk dalam memperoleh dan menyaring berita dari ketidakjujuran, ketidakakuratan dan perbuatan jahat (Muchtar, Nurhaya, dkk :2017). Kemudian Ibnu Taimiyyah membagi kabar menjadi dua, kabar baik yang benar dan kabar yang keliru atau bohong. Kabar baik (khabar shadiq) dalam Islam haruslah didasari sifat-sifat saintifik atau agama yang mana diriwayatkan oleh otoritas agama yang otentik (al-Attas). Dilihat dari otoritasnya, khabar shadiq terbagi menjadi dua bagian. Pertama, otoritas mutlak yaitu Al-Qur’an dan Hadis yang menjadi sumber kebenaran tertinggi. Kedua, otoritas nisbi, yang terdiri dari kesepakatan alim ulama (tawatur) dan orang yang terpercaya secara umum. (salim, Mohammad Syam’un : 2014).
Menurut Mohammad A. Siddiqi dari Western Illinois University, Qur’an dan Sunnah membentuk bingkai tersendiri tentang definisi berita. Menentukan proses pengumpulan, pembuatan dan penyebaran berita dalam bingkai Islam. Hal ini menjadi kode etik bagi jurnalis muslim. Namun yang menjadi fondasi utama adalah konsep tauhid. Islam memberikan penekanan atas konten, tujuan dan proses pengumpulan berita harus masuk ke dalam lingkup tanggungjawab sosial kepada masyarakat (social responsibility) yang berbeda dengan pandangan Barat yang individualis pluralis. Islam mendasarkan tanggungjawab sosialnya berdasarkan amar ma’ruf nahyi munkar.
Adapun pemilu dalam Islam dibolehkan. Namun bukan berarti Pemilu dalam Islam identik dengan Pemilu dalam sistem demokrasi sekarang dan hal ini perlu jurnalis pelajari lebih jauh. Dari segi cara/teknis (uslûb), memang boleh dikatakan sama. (An-Nabhani, At-Tafkîr, 1973: 91-92; Urofsky, Demokrasi, 2003: 2).
Namun demikian, dari segi falsafah dasar, prinsip, dan tujuan keduanya sangatlah berbeda. Pertama, pemilu dalam demokrasi didasarkan pada falsafah dasar demokrasi itu sendiri, yaitu pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) sedangkan pemilu dalam Islam didasarkan pada akidah Islam. Kedua, Pemilu dalam sistem demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan rakyat sehingga rakyat, di samping mempunyai hak memilih penguasa, juga berhak membuat hukum. Sebaliknya, Pemilu dalam Islam didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan syariat bukan di tangan rakyat. Ketiga, tujuan Pemilu dalam sistem demokrasi adalah memilih penguasa yang akan menjalankan peraturan yang dikehendaki dan dibuat oleh rakyat. Sebaliknya, Pemilu dalam Islam bertujuan untuk memilih penguasa yang akan menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, bukan menjalankan hukum kufur buatan manusia seperti dalam demokrasi (Zallum, 1990: 1, 1994: 139-140; Belhaj, 1411 : 5).***
Views: 4
Comment here