Oleh: Mustika Lestari, S.Pd. (Pemerhati Masalah Generasi)
wacana-edukasi.com, OPINI– Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hampir 10 juta penduduk usia produktif di kisaran usia 15-24 tahun atau biasa disebut Generasi Z (Gen Z), kini menganggur. Mereka termasuk dalam kategori not employment, education, or training (NEET).
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah pun menanggapi laporan BPS bahwa 9,9 juta Gen Z yang belum memiliki pekerjaan. Beliau mengatakan bahwa penyumbang angka tersebut adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan pasca masa pendidikan, baik setelah lulus SMA maupun lulus kuliah S1. Beliau juga melanjutkan jika banyaknya anak muda yang belum mendapatkan pekerjaan karena tidak cocok (mismatch) antara pendidikan dan pelatihan, dengan kebutuhan pasar kerja (kumparan.com, 20/5/2024).
Kapitalisme Terus Melahirkan Pengangguran
Umumnya fenomena pengangguran dipicu oleh jumlah angkatan kerja yang tidak sebanding dengan lapangan kerja yang mampu menyerapnya. Jelas, potret banyaknya anak muda yang jobless menjadi catatan kritis bagi negeri ini. Bagaimana tidak, mereka yang idealnya menjadi aktor penting bagi pembangunan Indonesia, memaksimalkan potensinya untuk memberi manfaat untuk manusia yang lain, justru menjadi kelompok usia pengangguran tertinggi.
Tidak ada orang yang ingin menganggur. Semua orang berharap agar hidupnya semakin baik, termasuk muda-mudi di negeri ini. Sebut saja fresh graduate yang menginginkan pekerjaan impian setelah menamatkan pendidikannya, dan mencapainya sesegera mungkin. Sayangnya, kini harapan tersebut harus terbuang karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk bekerja. Imbasnya bukan hanya pada dirinya yang tidak kunjung merasakan kesejahteraan, juga orang tua yang masih harus menanggung nafkah dirinya. Padahal, ia sudah mampu untuk hidup mandiri, guna membantu mengurangi beban orangtuanya.
Persoalan ini setidaknya didasari beberapa hal, seperti pendidikan yang gagal melahirkan insan berkualitas. Sehingga, lapangan pekerjaan banyak ditempati oleh pekerja-pekerja asing.
Memang tidak bisa dimungkiri jika output pendidikan Indonesia masih rendah secara keahlian di berbagai bidang dengan pekerja yang berasal dari luar negeri. Namun, mestinya ini menjadi evaluasi besar bagi negara agar memfasilitasi rakyatnya untuk memiliki kemampuan yang setara dengan TKA.
Caranya, dengan memberikan pelayanan pendidikan yang mampu mencetak SDM yang berdaya guna saing tinggi. Bukan sekadar mencetak budak korporat yang bermental buruh atau pekerja, melainkan pelopor dan pemimpin yang mampu membangun peradaban manusia.
Selain itu, besarnya jumlah pengangguran dikarenakan negara yang gagal menyediakan lapangan kerja dalam jumlah besar. Padahal, pemerintah banyak membangun kawasan industri. Pemerintah mengklaim, proyek tersebut akan membuka lapangan pekerjaan. Tetapi faktanya tidak sepenuhnya demikian, pengangguran tidak juga berkurang. Sebab banyaknya pencari kerja, dan keahlian yang tidak selamanya dibutuhkan, akhirnya mereka memilih untuk menganggur. Belum lagi di perusahaan-perusahaan pertambangan, selain para investor mendatangkan modalnya, juga turut mendatangkan para pekerjanya. Akhirnya, kesempatan kerja anak muda dalam negeri makin kecil.
Kondisi ini sesungguhnya merupakan musibah generasi ketika menerapkan sistem kapitalisme yang liberal. Kapitalisme telah menjadikan negara absen dari tanggungjawabnya mengurusi rakyatnya. Fungsinya sebatas regulator yang enggan berperan langsung menyolusi persoalan yang ada. Lihat saja, ketika nyaris seluruh rakyatnya kesulitan memenuhi kebutuhan hidup karena kenaikan berbagai harga kebutuhan barang, jangankan pengangguran, mereka yang bekerja pun akan kesulitan memenuhinya jika regulasi yang dibuat tidak ramah terhadap rakyat.
Negara kalah dengan pelaku usaha kecil-kecilan rakyat yang mampu membuka lapangan pekerjaan, meski sumber dayanya sangat sedikit. Sedangkan negara yang menguasai tambang, hutan, laut, sungai, pulau, gunung, dan semacamnya tidak dapat menjamin ketersediaan lapangan kerja yang cukup bagi seluruh rakyat.
Ironisnya, disisi lain negara justru secara sukarela menyerahkan berbagai kekayaan alam kepada pemodal atas nama investasi. Liberalisasi ekonomi menjadikan SDA hanya dikuasai oleh segelintir pihak. Alhasil, setelah kekayaan alam diserahkan, anak bangsa pun kehilangan kesempatan untuk mengakses pekerjaan.
Islam Menyolusi Pengangguran
Akan berbeda situasinya jika dalam tata aturan Islam. Sistem Islam menepatkan seorang Khalifah untuk menjalankan seluruh syariat Islam, termasuk dalam mengelola harta milik umat, dan mengurusi urusan rakyat secara total.
Dalam rangka menjamin kesejahteraan untuk setiap individu rakyatnya, maka negara melakukan industrialisasi yang menyediakan lapangan kerja dalam jumlah besar. Kebutuhan SDM yang berkualitas mampu dipenuhi negara sebab dukungan sistem pendidikan yang menghasilkan output berkepribadian Islam, sekaligus andal dalam keilmuan tertentu.
Pendidikan di dalam Islam bisa diakses oleh siapa pun karena tanpa pungutan. Generasi muda bisa sekolah setinggi-tingginya tanpa terkendala biaya. Tidak hanya gratis, mereka bahkan mendapatkan fasilitas berupa asrama, kebutuhan makan dan minum, pakaian, buku pelajaran, alat tulis, layanan kesehatan, dan transportasi. Dengan demikian, anak-anak negeri tidak perlu terhalang biaya untuk mengeyam pendidikan setinggi mungkin, bahkan hingga level pakar atau ahli.
Demikian gambaran pengurusan negara dalam Islam, yang menjamin seluruh kebutuhan rakyatnya, sehingga terwujud kehidupan yang sejahtera. Sungguh hanya dengan menerapkan sistem Islam, persoalan pengangguran yang tidak pernah mampu dituntaskan oleh kapitalisme, akan mampu diurai dan memberikan jalan terbaik. Tidak ada cara lain, kecuali ada peran negara secara total untuk memutus rantai pengangguran di negeri ini. Wallahu a’lam bi showwab.
Views: 33
Comment here