Oleh : Tri Suwarni (Mahasiswi S1 International Open University Jurusan Islamic Psychology)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Selama beberapa hari terakhir, isu tentang jumlah menteri dalam kabinet Prabowo Subianto semakin hangat diperbincangkan oleh khalayak ramai. Kabar tentang penggemukan kabinet Prabowo disampaikan oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo saat memberikan sambutan dalam agenda pembukaan Turnamen Bulu Tangkis DPR dan MPR yang bertempat di GOR Kompleks Parlemen (cnbcindonesia.com, 15/9/2024). Dia menyatakan bahwa ada rencana Prabowo akan menambah menteri atau lembaga yang tadinya berjumlah 34 menjadi 44.
Isu kabinet gemuk ini pun ditanggapi secara beragam oleh berbagai pihak. Direktur Riset dan Komunikasi Lembaga Survey Kedai KOPI, Ibnu Dwi Cahyo berpendapat bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran memang layak untuk memiliki kabinet gemuk selama diisi oleh para profesional termasuk yang berasal dari partai politik dan kalangan muda untuk mengakomodir aspirasi dari warga negara yang masih berusia muda (antaranews.com, 18/9/2024).
Ahmad Muzani, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra mengatakan bahwa, penambahan jumlah menteri atau lembaga ini akan efektif karena lebih tersentral. Benarkah Kabinet gemuk ini nantinya akan berjalan efektif sehingga membawa kebaikan dan kesejahteraan untuk rakyat?
Bolehkah Kabinet Gemuk?
Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, presiden berhak memilih, mengganti, mengurangi atau menambah jumlah menteri. Hal ini dimungkinkan karena adanya Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian negara. Revisi terhadap Undang-Undang ini memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menentukan jumlah Kementerian sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan. Sayangnya, dalam Undang-Undang tersebut tidak disebutkan batas jumlah menteri yang boleh ditetapkan oleh presiden. Sehingga presiden boleh mengangkat menteri berapa pun yang dia inginkan.
Semakin Banyak Menteri, Besar Peluang Korupsi
Tidak bisa dimungkiri bahwa dengan bertambahnya jumlah Kementerian atau lembaga negara, apapun itu bentuknya, tentu akan membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Pemenuhan keperluan gaji dan semua bentuk pengeluaran untuk tiap personil dan segala hal yang ada di dalam Kementerian atau lembaga tersebut. Pengeluaran ini nanti akan menjadi beban tersendiri bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alih-alih memikirkan kesejahteraan rakyat, negara akan lebih dibebani untuk memikirkan kesejahteraan para pejabat yang menduduki kursi kementerian atau lembaga tersebut daripada memikirkan nasib rakyat. Pada akhirnya keluhan dan nasib rakyat tidak lagi jadi pusat perhatian pemerintah.
Bukan satu hal yang mustahil pula dengan bertambahnya Kementerian maka peluang pelaku korupsi di kalangan pejabat negara juga makin terbuka. Mengingat hingga detik ini belum ada satu Presiden pun yang mampu memberantas korupsi hingga tuntas. Akibatnya, korupsi sepertinya sudah menjadi kebiasaan yang makin lama makin sulit dihentikan. Sebagai contoh, sejak era Megawati hingga saat ini sudah didapati ada 14 menteri yang terjerat kasus korupsi (cnbcindonesia.com, 15/10/2023).
Jika para menteri saja terjerat kasus korupsi yang mengakibatkan kerugian negara, lalu bagaimana mungkin kabinet gemuk nanti akan mampu mengurusi segala kepentingan rakyat dengan optimal?
Kebijakan Tumpang Tindih
Semakin banyak Kementerian tidak akan memusatkan satu bidang pada satu kementerian saja melainkan justru menjadikan kebijakan menjadi tumpang tindih. Artinya, satu persoalan diputuskan oleh beberapa Kementerian. Sebagai contoh, untuk menanggulangi pandemi Covid 19, Ombudsman Jakarta Raya pernah mengeluhkan kebijakan pemerintah yang tumpang tindih antara satu kementerian dengan kementerian yang lain. Bahkan menurut lembaga tersebut kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah justru saling kontra produktif (ombudsman.co.id, 8/5/2020).
Adapun kebijakan pemerintah yang dikeluhkan adalah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.9 tahun 2020 tentang pedoman PSBB dalam rangka penanganan Covid 19 bahwa ojek dilarang mengangkut penumpang. Kebijakan ini bertolak belakang dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. 18 tahun 2020 yang justru membolehkannya.
Dijumpai pula kasus serupa yaitu tentang Pergub DKI No. 33 Tahun 2020 yang mengatur hanya mengijinkan 11 sektor usaha yang beroperasi selama PSBB. Sementara Surat Edaran Menteri Perindustrian No. 7 Tahun 2020 justru memperbolehkan seluruh jenis usaha beroperasi.
Ini hanya beberapa kasus tentang inkonsistensi peraturan pemerintah yang dibuat oleh beberapa kementerian yang menangani kasus yang sama. Ketika peraturannya saja tumpang tindih seperti ini bahkan saling bertolak belakang maka lagi-lagi rakyat yang menjadi korban. Mereka terjebak dalam situasi harus mengikuti aturan yang mana. Rakyat berada posisi yang serba salah dan meraka tidak tahu harus mengadu kepada siapa lagi ketika pihak-pihak yang menjadi sandaran mereka justru memberikan kebijakan yang tidak pasti.
Kabinet Gemuk Bukan Solusi
Sistem pemerintahan yang diadopsi oleh penguasa saat ini adalah sistem pemerintahan sekular dimana aturan yang dipakai adalah aturan buatan manusia. Saat manusia membuat aturan maka mereka hanya memilih aturan yang akan menguntungkan diri mereka sendiri dan kelompoknya. Begitu pula dengan kabinet gemuk ini. Ia dibuat sejatinya bukan untuk kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Demi bagi-bagi roti kekuasaan Kabinet gemuk dipaksakan dibentuk.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita beralih kepada sistem pemerintahan yang manusiawi yang berasal dari yang menciptakan manusia yaitu sistem pemerintahan Islam yang dikenal dengan Khilafah. Khilafah menganut filososi bahwa penguasa adalah pelayan bagi rakyat. Tugas pelayan adalah mengurusi dan memastikan segala kebutuhan rakyat terpenuhi. Bagi-bagi kekuasaan tidak terjadi pada sistem ini.
Untuk itu, seorang khalifah hanya akan memilih para pembantunya yang amanah dan memiliki kapabilitas. Hal ini dilakukan untuk menjalankan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab demi kesejahteraan seluruh warga negara tanpa terkecuali. Wallahu a’lam.
Views: 12
Comment here