Oleh: Umul Istiqomah
Wacana-edukasi.com, OPINI– Dari berita ‘pagar laut’ yang tak kunjung usai hingga muncul tren ‘tanda pagar’ #KaburAjaDulu yang tak kalah menghebohkan jagat sosial media di negeri ini. Meskipun sama-sama membahas ‘pagar’ tapi bedanya pagar yang satu ini menjadi viral karena pasalnya, warganet berbondong-bondong menyuarakan tanda pagar #KaburAjaDulu di seluruh sosial media termasuk X. Dan bahkan sempat menjadi topik tren unggahan dalam sosial media tersebut.
Sebenarnya kemunculan tagar ini merupakan bentuk akumulasi kekecewaan rakyat pada pemerintah yang tidak bisa memberikan kesejahteraan pada segala bidang seperti lapangan pekerjaan, pendidikan yang layak, hingga jaminan kualitas hidup, sedangkan mereka menganggap negara lain bisa memberikannya (CNN Indonesia, 07/02/2025).
Kemunculan tagar #KaburAjaDulu pun dikaitkan dengan fenomena brain drain yang sudah lama terjadi di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Yakni fenomena ketika orang pintar dan berbakat memilih untuk bekerja di luar negeri dengan alasan mencari keuntungan yang lebih tinggi yakni standar dan kehidupan yang lebih baik di negara lain, karena belum bisa didapatkan di negaranya sendiri (Beautynesia, 05/02/2025).
C
Karut-marut persoalan negeri ini, faktanya sudah jelas terpampang nyata, buktinya warganet yang di dominasi oleh millenial dan gen Z sudah banyak yang berkoar atas kekecewaan mereka pada negerinya yang mereka anggap tidak bisa memberikan masa depan yang cerah bagi rakyat.
Kondisi ini tentu tidak lepas dari pengaruh digitalisasi, terutama sosmed yang menggambarkan tentang kehidupan negara lain yang lebih menjanjikan. Pada akhirnya sosmed pula yang menjadi tempat mencurahkan seluruh keluh kesah dan rasa kecewa sebagai rakyat kepada penguasa. Hingga tagar #KaburAjaDulu sempat menjadi topik tren di sosial media X.
Begitu banyak persoalan yang disorot dan dikaitkan dengan viralnya tagar ini, seperti dalam bidang pendidikan yang faktanya hari ini tidak bisa menghasilkan output SDM unggul dan justru malah terus mempertontonkan potret buruk yang tak semestinya. Fakta ini pun di benturkan dengan banyaknya tawaran beasiswa untuk sekolah ke luar negeri di negara maju yang semakin menguatkan alasan untuk ‘kabur’.
Kemudian di bidang ekonomi misalnya, sulitnya mencari lapangan pekerjaan bagi rakyat di usia produktif dan di benturkan dengan banyaknya tawaran kerja di luar negeri baik bagi pekerja terampil maupun kasar dengan imbalan gaji yang lebih tinggi sehingga rakyat memilih untuk berpikir instan dengan cara ‘kabur’.
Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari fenomena brain drain yang menjadi isu krusial dalam konteks globalisasi/liberalisasi ekonomi yang semakin menguat. Brain drain sendiri merupakan fenomena ketika tenaga kerja terampil dan berpendidikan tinggi meninggalkan negara asal mereka dengan alasan ingin mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi, berupa kesejahteraan yang lebih terjamin di negara maju (negara-negara industri) seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, dan lain-lain. Tentunya banyak faktor yang menyebabkan fenomena brain drain menjadi sangat populer dan banyak terjadi di negara berkembang.
Diantaranya peluang kerja yang kurang memadai, iklim kerja yang tidak kondusif, kondisi ekonomi yang tidak stabil, kompetisi yang terlalu tinggi dan yang lebih krusial adalah faktor dari liberalisasi ekonomi yang mana semakin memperlebar kesenjangan antara negara maju dan berkembang dan menciptakan ketidakadilan dalam akses terhadap sumber daya dan kesempatan. Pada intinya ini semua adalah bentuk kegagalan sebuah negara dalam menerapkan kebijakan politik ekonomi dalam negeri untuk memberikan kehidupan sejahtera bagi rakyatnya.
Namun sebenarnya, pilihan untuk ‘kabur’ pun bukan pilihan yang dewasa bagi sebuah bangsa yang mencintai negerinya. Hanya saja, peliknya persoalan negeri ini sudah tidak bisa membendung lagi rasa kecewa yang sepertinya lebih besar dibandingkan rasa cinta terhadap tanah air. Maka, solusi spontan yang keluar dari rakyat pun adalah pemikiran yang pendek. Bukan keinginan untuk bangkit memperbaiki kerusakan atau penyakit yang di derita negerinya. Begitulah pola pikir masyarakat yang terbentuk akibat diterapkannya sistem kapitalisme yang sudah mendarah daging, orientasi kehidupan mereka tidak jauh dari duniawi, kebahagiaannya pun di ukur dari materi, orang-orang berpikir tentang kesejahteraan dirinya sendiri tanpa mementingkan kesejahteraan orang lain.
Sekali lagi, inilah bentukan sistem kapitalisme, seseorang menjadi pribadi yang individualis tidak memikirkan lagi kemaslahatan bersama apalagi untuk membangun negaranya, maka pilihan untuk ‘kabur’ dianggap solusi yang tepat. Padahal, jikalau pindah ke luar negeri pun belum tentu mereka akan merasakan kesejahteraan dan ketenangan dalam hidupnya, jika sistem yang dianut masih sama. Karena biang keladi dari semua ini adalah kapitalisme yang sudah mencengkeram sebagian besar negara-negara di dunia. Alhasil, kesenjangan ekonomi tidak saja terjadi di dalam negeri, namun juga di tingkat dunia, antara negara berkembang dan negara maju.
Berbeda dengan Islam yang mewajibkan negara membangun kesejahteraan rakyat, dan memenuhi kebutuhan asasi setiap warganegara individu per individu. Karena, sebagaimana sabda Rasulullah Saw “Imam adalah raa’in (pengurus rakyat), dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Bukhari). Sehingga ada banyak mekanisme yang harus dilakukan negara diantaranya diwajibkan menyediakan lapangan pekerjaan bagi setiap laki-laki baligh. Baik di sektor pertanian, perdagangan, industri dan jasa, apalagi dalam hal pengelolaan SDA yang Allah Swt. limpahkan kepada negeri-negeri kaum muslimin, tentunya dibutuhkan orang-orang ahli dan terampil dalam jumlah yang banyak untuk mengerjakan hal tersebut.
Selain itu, negara yang menerapkan syariat Islam akan menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan dasar publik yang tentu harus di prioritaskan dalam pemenuhannya dengan output yang berkualitas yakni mencetak generasi berkepribadian Islam. Bagi orang-orang yang memiliki keahlian dan juga berbakat akan menjadi garda terdepan yang siap membangun negaranya, dan negara pun peduli terhadap kehidupan serta kesejahteraan mereka.
Sehingga tidak akan terjadi lagi fenomena brain drain (orang-orang yang berilmu berbondong-bondong pindah ke luar negeri) hanya karena merasa tidak diakui dan tidak terfasilitasi oleh negaranya. Demikianlah solusi dari viralnya tagar #KaburAjaDulu yang hanya bisa tertuntaskan jika Islam diterapkan, karena hanya dengan sistem Islam yang dapat memberikan keadilan juga kesejahteraan bagi umat. [WE/IK]
Views: 13
Comment here