Oleh : Ari Nurainun, SE ( Pengamat Kebijakan Politik dan Ekonomi)
Wacana-edukasi.com. Wahai Emak, Berapa Rupiah yang ada dalam celenganmu sekarang? 10 Juta, 20 Juta, ratusan juta? Percayalah mak, pertanyaan ini bukan sekedar keingintahuan tanpa dasar. Karena menurut para Ekonom, untuk bisa bertahan dari badai resesi, setiap Rumah Tangga harus memiliki pegangan. Perencana Keuangan Zelt Consultant, Ahmad Gozali mengatakan kepada Detik Finance, setiap rumah tangga harus memiliki dana cadangan 3-12 bulan dari pengeluaran bulanan. Misal, biaya pengeluaran selama sebulan, berkisar di angka 5 juta rupiah. Artinya, dana cadangan yang dibutuhkan adalah 5 x 12 bulan yaitu 60 juta. Dana ini dibutuhkan, untuk menghadapi dampak buruk resesi, seperti PHK, pemotongan gaji dan lain-lain.
Menyedihkan. Siapa pun tau, mayoritas penduduk negeri ini hidup dalam kekurangan. Jangankan punya dana cadangan untuk setahun kedepan, besok saja tidak ada kepastian makan apa. Alih-alih berhayal bisa bertahan dari badai resesi, bahkan sejak sebelum resesi pun para emak sudah harus bergulat dengan keganasan hidup.
Tak ayal, beban hidup yang semakin tinggi membuat para emak jumpalitan mengatur keuangan Rumah Tangga. Jika boleh membuat rumus baru, sebagai bagian dari komunitas emak se-Indonesia, penulis ingin mengatakan, saat ini harga barang bagaikan deret ukur, sementara gaji suami bagaikan deret hitung. Hingga semakin hari harga barang semakin jauh meninggalkan gaji suami.
Tapi sayangnya, persoalan resesi tak hanya sekedar kenaikan harga barang. Atau kemampuan setiap rumah tangga untuk bertahan dan berjibaku dengan kekejaman hidup. Sehingga bisa ditutup dengan dana cadangan, atau membuat usaha kecil-kecilan untuk menopang ekonomi keluarga.
Resesi adalah persoalan global yang terus berulang. Amerika Serikat saja, sudah 33 kali mengalami resesi. Majalah Forbes pada tanggal 15 Agustus 2020 menuliskan, resesi dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari siklus perekonomian dunia.
Resesi, Kenapa Berulang?
Resesi diartikan sebagai menurunnya kegiatan ekonomi secara signifikan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Dari sudut pandang Sistem Ekonomi Islam, akar masalah resesi bersumber dari cara pandang Ekonomi kapitalis terhadap uang. Uang sejatinya hanyalah alat tukar. Namun, kapitalis menyulapnya sedemikian rupa menjadi komoditis. Akhirnya munculah pasar non real. Yang menjadikan uang sebagai barang yang diperjualbelikan.
Maka, hari ini kita mengenal pasar saham dan pasar uang, alias perbankan. Uang dipermainkan nilainya. Hingga tak lagi sesuai antara nilai real dengan nilai komoditas. Kita pun mengenal istilah, pasar terkoreksi, kegagalan pasar, anjloknya nilai rupiah di mata dolar, inflasi dan berbagai teori uang lainnya.
Tentu tidak akan cukup mengatasi resesi hanya dengan mencetak uang baru ataupun menyuntikkan dana segar, agar perekonomian kembali berjalan. Ataupun melakukan berbagai paket stimulus ekonomi untuk mengundang investor masuk ke dalam negeri. Karena inti persoalan sebenarnya adalah salah asuhan kebijakan moneter global.
Kebiijakan moneter didefinisikan sebagai kebijakan mengatur stabilitas nilai mata uang. Dan sejak perjanjian Bretton Woods, tahun 1944, Amerika Serikat, sebagai pemenang PD II, berhasil menjadikan mata uangnya menjadi standar mata uang Internasional menggantikan Emas dan Perak. Tahun 1944 juga menjadi tahun berdirinya IMF (International Monetary Found), yang tak lain adalah kepanjangan tangan dari Amerika untuk menjaga stabilitas nilai dollar.
Amerika Serikat (AS) tak menyadari bahaya yang menghantui kebijakan tersebut. AS maupun Negara-negara lain yang menjadikan Fiat money sebagai standar moneternya, akan sampai pada satu kondisi yang menjadikan mereka tak mampu menyeimbangkan permintaan terhadap dollar dengan cadangan emas yang mereka punya. Inilah yang menyebabkan resesi berulang.
Bayangkan, di satu sisi Pemerintah melalui Bank Central bertugas menstabilkan nilai uang, namun di sisi lain, para spekulan yang berjudi di bursa saham, justru menjadikan uang kertas dan berbagai surat berharga sebagai ajang mencari keuntungan dari selisih kurs mata uang. Tak heran, rupiah tidak lagi bernilai.
Sistem Ekonomi Islam, Kokoh tak tertandingi
Jauh sebelum Rasulullah menegakkan pilar-pilar negara Islam di Madinah, masyarakat dunia masa lalu telah menjadikan dinar dirham sebagai standar moneter dan Perdagangan global. Sistem ini terus berlanjut di masa Rasulullah, para khulaur rasyidin dan seterusnya. Namun, dulu belum ada bentuk baku dari uang dinar dan dirham. Standarisasi bentuk, cetakan dan beratnya dilakukan di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan di tahun 75 Hijriah.
Kedudukan dinar dan dirham dalam sejarah kegemilangan Islam hanyalah sebagai alat pembayaran. Bukan investasi maupun komoditi. Hal ini juga dibuktikan dengan berbagai larangan penimbunan emas dan Perak. Inilah yang membuat nilai uang dinar dan dirham menjadi stabil. Tidak rentan inflasi.
Namun, perubahan mata uang ke dinar dan dirham bukan otomatis menghilangkan resesi. Karena sistem keuangan Islam, tak mungkin bisa tegak tanpa ditopang oleh sistem perekonomian Islam. Sistem perekonomian yang bertumpu pada ekonomi real. Bukan ekonomi ribawi. Nilai pertumbuhan ekonomi dan pergerakan ekonomi pun ditopang oleh produksi dan konsumsi barang dan jasa. Bukan nilai semu perdagangan saham dan berbagai surat berharga, yang sama sekali tidak ada harganya.
Lantas, Emak harus bagaimana? Dalam skala rumah tangga, Emak harus mampu membawa anggota keluarga kepada gaya hidup hemat. Tidak boros dan berlebihan. Namun, tetap mengeluarkan harta untuk berinfak, baik di masa lapang maupun sempit.
Dalam skala yang lebih luas, Emak harus mampu menjadi corong perubahan di tengah komunitas Muslimah. Menyadarkan mereka tentang bahaya Ekonomi ribawi beserta turunannya. Dan tidak lupa, perbanyak sabar dan tawakal. Semoga Allah menyegerakan datangnya pertolongan-Nya. Hingga resesi segera bisa diatas dan Sistem Islam tegak di muka bumi.
Wallahu’alam bi showab
Views: 4
Comment here