Opini

Kampus Kelola Tambang, Orientasi Pendidikan Makin Salah Arah

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Mega Puspita Sari, M.Pd.

Wacana-edukasi.com, OPINI– Konsekuensi Industrialisasi Pendidikan Badan Usaha milik Perguruan Tinggi menjadi salah satu pihak yang diusulkan mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) melalui mekanisme prioritas. Rencana tersebut tertuang dalam draf revisi UU Mineral dan Batubara (Minerba) yang sudah ditetapkan sebagai usul inisiatif dari DPR RI melalui rapat paripurna pada Kamis, 23 Januari 2025.

Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Bob Hasan mengatakan hal tersebut didasari agar kampus memiliki sumber pendanaan mandiri selain dari SPP. Bahkan Forum Rektor Indonesia menilai biaya kuliah bisa turun jika pendidikan tinggi atau kampus dapat ikut mengelola pertambangan. Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia, Didin Muhaidin beralasan tambang yang dikelola perguruan tinggi dapat menjadi salah satu sumber pendapatan ketimbang menarik uang kuliah yang begitu besar dari mahasiswa.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Prof. Fauzan mengatakan pihaknya belum mengkaji lebih mendalam terkait pemberian WIUP kepada perguruan tinggi. Pro dan kontra pun bergulir dari berbagai Perguruan Tinggi seiring dengan usulan tersebut. Pihak yang pro seperti Rektor UNY Sumaryanto menyatakan kesiapan kampusnya untuk menjalankan kebijakan konsesi tambang, meskipun UNY sendiri tidak memiliki program studi khusus tentang pertambangan.

Bahkan Asosiasi Perguruan Tinggi swasta Indonesia (APTISI) menjadi salah satu pihak pengusul wacana tersebut sejak pemerintahan Jokowi. Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Ridho Kresna Wattimena memberikan perspektif yang lebih teknis. Ia mengatakan bahwa meskipun ITB sendiri memiliki kapasitas dan keahlian dalam bidang pertambangan, namun ia menyoroti kendala pendanaan yang mungkin dihadapi kampus jika terjun langsung ke bisnis pertambangan tersebut.

Sementara itu, suara penolakan datang dari pakar hukum tata negara UGM, Herlambang Perdana Wiratraman. Ia mengkritik keras usulan tersebut sebagai bentuk kegagalan negara dalam mengelola Pendidikan. Sejalan dengan UGM, Rektor UII Fathul Wahid juga secara tegas menolak wacana tersebut. Kekhawatiran utamanya adalah potensi pergeseran fokus Perguruan Tinggi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi ke ranah bisnis pertambangan.

Menurut analisanya jika WIUP diberikan kepada dunia kampus, maka kampus akan memiliki orientasi yang lebih condong pada profitabilitas, serta mengabaikan pengembangan akademik dan etika lingkungan. Selain itu, ia juga menekankan bahwa pengelolaan tambang bukanlah ranah keahlian Perguruan Tinggi dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan ke depannya.

Menurut akademisi dan pengamat sosial ekonomi Yeni Asropi, Ph.D. munculnya wacana tersebut merupakan konsekuensi dari Perguruan Tinggi Negeri saat ini diarahkan menjadi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH) yang mandiri dan mampu mengelola potensi sumber dayanya agar mampu meningkatkan pendapatan dan reputasinya. Ia mengungkapkan bahwa hal tersebut sejalan dengan standar World Class University (WCU) yang salah satunya mensyaratkan Perguruan Tinggi untuk berbadan hukum.

Disfungsi Negara

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengatakan usulan tersebut adalah bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan akademisi, baik dosen maupun mahasiswa. Juru kampanye JATAM Alfarhat Kasman menekankan pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi sama artinya dengan pemerintah membebankan tanggung jawab finansial kampus begitu saja. Menurutnya, ketidakbecusan negara menjamin kesejahteraan pada akademisi dan mahasiswa diselesaikan dengan cara culas, yakni membiarkan kampus menghidupi dirinya sendiri dengan menambang.

Sejatinya disfungsi negara pada perguruan tinggi bermula sejak perguruan tinggi ditetapkan sebagai PTN-BH yang memiliki otonomi lebih besar dalam pengelolaan keuangan dan akademik, serta memungkinkannya bergerak lebih fleksibel. Sehingga dengan status PTN-BH tersebut, kampus akan lebih fokus pada aktivitas komersial dan mengabaikan misi Pendidikan publik, yang artinya bahwa program-program yang dianggap menguntungkan secara finansial akan menjadi prioritas kampus.

Sedangkan program-program yang lebih berfokus pada pengabdian masyarakat atau ilmu dasar akan terpinggirkan. Negara yang seharusnya menjadi pihak pertama dan utama sebagai penyelenggara pendidikan justru melepas tanggung jawabnya dengan membiarkan kampus berjalan sendiri secara mandiri, baik dari aspek pembiayaan ataupun kebijakan yang dikeluarkan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah menyerahkan pengelolaan tambang kepada kampus merupakan bentuk kelalaian negara sebagai raa’in yakni pengurus dan pelayan rakyat. Pengelolaan tambang sebagai hajat publik tidak seharusnya diserahkan pada pihak lain dengan dalih memberi kesempatan masyarakat mengelola SDA.

Tanggung jawab mengelola tambang dan mengembalikan hasil pengelolaannya kepada masyarakat adalah kewajiban negara. Kebijakan ini muncul karena penerapan system sekuler kapitalisme yang memberi kebebasan bagi siapapun untuk menguasai harta milik rakyat, seperti tambang. Dengan kata lain, negara yang di dalamnya mengemban sistem kapitalisme telah melahirkan kebijakan kapitalistik yang mengubah wajah kampus dari berorientasi Pendidikan menjadi kampus berorientasi bisnis.

Pengelolaan Tambang Sesuai Syariat

Dalam pandangan Islam, Pendidikan bukanlah komoditas yang dimanfaatkan untuk sesuatu yang bersifat komersial dan menghasilkan materi sebagaimana konsep kapitalisme. Pendidikan adalah gerbong pertama yang menciptakan generasi unggul dan berkualitas. Pandangan inilah yang membuat Islam sangat serius memberi perhatian yang besar dalam aspek Pendidikan.

Adapun terkait pengelolaan tambang oleh Perguruan Tinggi ini jelas bertentangan dengan syariat, khususnya konsep politik ekonomi Islam, yaitu negara berkewajiban memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat berupa pendidikan bagi seluruh rakyat secara adil. Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam kitab Al-Amwal fi daulah Al-Khilafah halaman 92-93 juga menerangkan bahwa barang tambang yang jumlahnya banyak dan (depositnya) tidak terbatas tergolong dalam kepemilikan umum sehingga tidak boleh dimiliki seseorang ataupun beberapa orang tertentu. Demikian juga tidak boleh memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengekploitasinya. Sehingga wacana menyerahkan izin usaha tambang kepada perguruan tinggi bisa menjatuhkan umat pada keharaman. Islam mengatur bahwa tambang merupakan hak milik umum yang tidak boleh diserahkan penguasaan dan pengelolaannya kepada siapapun selain negara. Negara lah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, meleburnya, menjualnya atas nama mereka (kaum muslim), dan menyimpan hasil penjualannya di baitul mal.

Hanya sistem yang tunduk pada syariat Islam lah yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat berupa pendidikan dengan seluruh jenjangnya dan kewajiban negara menyediakan dana pendukungnya.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 2

Comment here