Opini

Kamuflase Baru Tata Kelola Pendidikan ala Kapitalis

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Mimi Husni (Aktivis Muslimah)

Wacana-edukasi.com, OPINI– Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang mendiskusikan rencana penafsiran ulang anggaran pendidikan dalam APBN. Perdebatan muncul setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan perubahan kriteria penilaian 20% belanja wajib dari belanja negara menjadi pendapatan negara. Usulan ini tentu berpotensi mengurangi anggaran yang dialokasikan ke sekolah. Jika perubahan ini diterapkan, anggaran pendidikan yang sebelumnya sebesar 665 triliun rupiah (berdasarkan belanja negara) bisa turun menjadi sekitar 560,4 triliun rupiah, namun banyak ekonom menilai hal tersebut tidak tepat. Anggaran pendidikan saat ini ditetapkan sebesar 20% dari APBN (Bisnis.com, 9 Juni 2024).

Pernyataan Sri Mulyani yang menyebut belanja wajib sebesar 20 persen anggaran APBN pendidikan perlu dimaknai kembali demi meringankan beban APBN, mengingat banyaknya persoalan terkait pelayanan pendidikan, yang diutarakan negara, merupakan bukti upaya mereka. Kami tidak akan berhenti pada pemenuhan hak masyarakat atas pendidikan terbaik dan terjangkau. Menindak lanjuti pernyataan Sri Mulyani, kata Jusuf Kalla (JK) dalam acara diskusi kelompok terpumpun bertajuk ‘Menggugat Kebijakan Pendidikan’ di Jakarta, Sabtu (rri.co.id, 07 September 2024), “Anggaran jangan dipotong-potong disemua tempat. di DPR potong, sampai di daerah dipotong bahkan guru pun jadi ikut-ikutan motong, jadi hal seperti ini tidak baik,” Kebiasaan memotong anggaran pendidikan. Menurutnya, jika kebiasaan seperti itu berlanjut maka pendidikan tidak akan semakin membaik dan anggaran tidak akan pernah cukup.

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam Rapat Kerja dengan Kemendikbudristek RI di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Jumat (6/9), dikatakannya, porsi anggaran wajib 20% untuk pendidikan di Indonesia, khususnya di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), dirasa masih belum cukup untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan meningkatkan kualitas dan pemerataan akses pendidikan. Oleh karena itu, Shaiful Huda khawatir penetapan 20% APBN pendidikan berdasarkan pendapatan pemerintah dapat mengurangi besaran anggaran pendidikan. “Dengan aturan yang ada saat ini, bisa dibayangkan masih banyak anak yang tidak bisa bersekolah karena terkendala biaya, apalagi jika dana pendidikan dipotong,” tambahnya.

Tentu saja pernyataan seperti itu mendapat penolakan di masyarakat. Sebab, banyaknya permasalahan layanan pendidikan saat ini merupakan bukti ketidakberdayaan negara dalam menegakkan hak masyarakat atas jaminan pendidikan yang terbaik dan terjangkau. Bahkan dengan aturan anggaran sebesar 20% saja, masih belum cukup untuk memenuhi jaminan layanan pendidikan yang gratis atau berbiaya rendah, adil dan setara, apalagi jika ada pemotongan anggaran. Jika ternyata tidak efektif atau ada kemungkinan korupsi, tentu diperlukan solusi khusus untuk mengatasi masalah tersebut. Jangan mengurangi anggaran sebenarnya.

Sistem anggaran yang ada saat ini masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan jaminan layanan pendidikan yang gratis, terjangkau, adil dan setara. Bukti menunjukkan bahwa banyak sekolah yang mempunyai sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai, antara lain akses menuju sekolah melalui bangunan yang rusak atau tidak ada, jalan rusak, dan jembatan yang tidak memadai. Mulai dari akses, lokasi sekolah yang jauh dari pemukiman penduduk, hingga kurangnya perpustakaan fasilitas bagi siswa. Jumlah instruktur terbatas. Berikutnya dari sisi pelatih/guru. Mereka hanya mendapat upah minimum dan tidak ada jaminan sosial. Gaji guru sukarelawan berkisar antara 300.000 hingga 400.000 ribu per bulan. Jumlah ini sangat kecil mengingat kebutuhan ekonomi yang semakin mendesak.

Kamuflase lama gaya baru tata kelola Pendidikan ala kapitalis yang menunjukkan paradigma kepemimpinan sekuler kapitalisme, jauh dari paradigma Riayah dan Junnah, namun mirip dengan paradigma penjual-pembeli. Sebaliknya, pendidikan akan diserahkan kepada sektor swasta untuk dieksploitasi. Tampaknya pendidikan berkualitas hanya tersedia bagi mereka yang mempunyai uang. Banyak terjadi tindakan penipuan seperti jual beli kursi di sekolah favorit. Tentu saja hal ini merupakan rahasia umum. Bahkan untuk bersekolah di sekolah negeri favoritnya, orang tua harus mengeluarkan uang puluhan juta untuk bersekolah di sekolah tersebut. Para orang tua pun mengeluarkan uang puluhan juta untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta favoritnya. Sungguh angka yang luar biasa! Bagi kebanyakan orang yang kesulitan makan, bersekolah di sekolah yang bagus hanyalah sebuah impian.

Berbeda dengan Islam, pendidikan merupakan salah satu hak setiap orang dan pemerintah wajib memberikan pelayanan yang terbaik. Hal ini dapat dicapai melalui kebijakan fiskal yang didasarkan pada sistem ekonomi Islam dan didukung oleh sistem lain untuk menjamin tercapainya tujuan pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan dalam Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian yang Islami. Kita akan menghasilkan generasi yang kaya akan individualitas, tidak hanya berilmu tetapi juga beriman. mereka yang takut akan Tuhannya. Dan bukan hanya kaum intelektual atau sekedar akademisi saja.

Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap individu baik laki-laki maupun perempuan. Nabi SAW tidak hanya menjadikan masjid sebagai tempat beribadah namun juga sebagai pusat pendidikan, tempat pelaksanaan halaqah juga kajian ilmu. Bukan hanya mesjid saja. Di madinah dan sekitarnya juga terdapat perpustakaan-perpustakaan yang dibangun untuk memudahkan siapa saja dalam memperdalam/mencari ilmu.

Pada masa Rasulullah, memberikan syarat tebusan bagi para tawanan perang badar agar sepuluh anak dari komunitas Muslim diberikan pelajaran membaca dan menulis. Pada masa kekhalifahan, Umar Ra memberi guru tunjangan sebesar 15 dirham sebulan. Khalifah atau kepala negara juga berupaya memperluas jangkauan pendidikan ke berbagai daerah dengan mengirimkan ulama yang disediakan pemerintah serta di gaji langgsung oleh pemerintah.

Semua itu merupakan bukti kepedulian khalifah\kepala negara sebagai pemimpin, yaitu sebagai administrator, yang mengurus urusan rakyatnya tanpa membeda-bedakan, dan sebagai pelindung rakyatnya. Negara wajib memberikan pendidikan gratis kepada warga negaranya, tanpa memandang agama, status sosial, ras, atau kepentingan lainnya. Model pendidikan ini melahirkan intelektual, para ilmuwan juga ulama-ulama yang menghasilkan karya-karya intelektual tinggi yang tidak terbatas pada ilmu Islam saja. Namun, ini mencakup berbagai jenis ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, astronomi, kimia, matematika, fisika dan masih banyak lainnya.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali ke sistem Islam yang sudah terbukti kita bisa mendapatkan manfaat dan kesejahteraan dari penerapan sistem tersebut.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 16

Comment here