Oleh Aisyah Yusuf
wacana-edukasi.com– Belum hilang dalam ingatan, kasus duka yang menimpa para penggila sepakbola tanah air. Insiden tragis dalam pertandingan ini terjadi di Stadion Kanjuruhan pada Sabtu 1/10/2022. Hampir 180 orang yang menjadi korban dari kejadian naas itu.
Tragedi ini berawal dari pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan yang berakhir 2-3. Pelatih Arema saat itu Javier Roca menilai bahwa aspek yang menjadi penyebabnya adalah kesalahpahaman yang terjadi antara pihak keamanan dan suporter. Para Aremania ini turun kelapangan guna memberi semangat kepada para pemain yang kalah. Namun mereka malah dipukul mundur keluar lapangan dengan ditembaki gas air mata.
Korban meninggal dunia Tragedi Kanjuruhan kembali bertambah. Jumlah korban meninggal 134 jiwa. Data diatas diambil dari Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) pada Jumat (21/10/2022). Korban yang meninggal adalah Reivano (18tahun). Ia meninggal setelah sempat di rawat di RS Hasta Husada 2 hari dan dirujuk ke RSSA selama 18 hari hingga menutup mata. Reivano, menurut dokter RSSA, bahwa Reivano tidak pernah keluar dari ICU kecuali dengan ventilator. Kondisinya selalu naik turun. Terdapat luka di kepala, di tulang, dan dada, yang menyebabkan ia kesulitan bernapas. Dinas kesehatan Kabupaten Malang ini mendata bahwa total jumlah korban dari tragedi ini sebanyak 754 suporter yang menjadi gas air mata. 620 orang mengalami luka-luka dan sisanya dinyatakan meninggal dunia. (beritajatim.com, 21/10/2022).
Berbagai kisah duka Kanjuruhan ini menyatakan bahwa para penonton tersebut tidak bermaksud untuk membuat kerusuhan. Sayangnya, aparat berseragam ini langsung bertindak anarkis saat membubarkan suporter tersebut, dan diakhiri dengan penembakan gas air mata, sehingga banyak dari para suporter yang merasakan sesak nafas dan akhirnya mengakibatkan kematian. Padahal Larangan penggunaan gas air mata tertuang dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations, tepatnya pada Pasal 19B.
Dalam aturan itu, disebutkan bahwa penggunaan gas air mata tidak diperbolehkan. “No firearms or ‘crowd control gas’ shall be carried or used (senjata api atau ‘gas pengendali massa’ tidak boleh dibawa atau digunakan),”. Sehingga jika mengacu pada pasal tersebut, pihak keamanan laga Arema vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan telah nyata melanggar aturan FIFA. Selanjutnya pihak pengusaha, yakni direktur PT LIB (Liga Indonesia Baru) pun tidak bisa berlepas tangan atas tragedi ini. Sejatinya, ada yang harus bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Menurut Listyo Sigit Prabowo menjelaskan alasan Dirut PT LIB yakni Akhmad Hadian Lukita, menjadi tersangka karena Ia dinilai telah lalai. Yakni tidak memverifikasi Stadion Kanjuruhan sebelum kompetisi musim ini berjalan. (bolanet.com, 06/10/2022)
Patut diketahui hasil investigasi sementara dari tragedi berdarah ini adalah penggunaan senjata gas air mata yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada para suporter. Akibat penggunaan senjata ini menyebabkan para penonton panik, berlarian menyelamatkan diri, tapi sayangnya pintu yang dibuka hanya satu. Sehingga tidak sedikit yang terjatuh, saling berdesak-desakan, terhimpit bahkan ada yang terinjak-injak. Senjata gas air mata ini menyebabkan iritasi mata yang berjangka panjang dan sesak nafas. Tak ayal jumlah korban terus bertambah, walaupun sudah diberi pengobatan dan perawatan.
Duka Kanjuruhan ini membawa peristiwa kelam. Stadium yang didesain memang curam ini pun, tak kalah menjadi salah satu penyebab peristiwa ini memakan korban jiwa. Perkumpulan organisasi sepakbola dunia, FIFA yang tak beri sanksi, dan abainya urusan negara pada rakyatnya menambah duka rakyat. Sampai saat ini belum ada pihak yang benar-benar bertanggung jawab atas insiden tersebut. Hingga patut menjadi perhatian bahwa pemerintah dan pihak terkait tidak boleh gegabah dalam penyalahgunaan kekuasaan, saling mengangkat tangan atas tragedi ini. Padahal banyak korban jiwa yang dipertaruhkan.
Para pihak terkait tragedi ini, seperti penyelenggara permainan, pihak keamanan, dan penyedia tempat. Mereka seperti tidak memperhatikan dan mempertimbangkan keamanan tempat bagi para suporter dan beberapa kemungkinan terjadi. Sehingga ini menjadi bukti bahwa penyelenggaraan permainan sepak bola ini hanya sebatas menilai seberapa untunglah hasil dari permainan ini. Selanjutnya ini pun menunjukkan betapa represifnya pihak keamanan dalam bertindak terlebih pada rakyat kecil. Dengan peristiwa seperti ini sungguh sangat disayangkan. Permainan yang merenggut nyawa ini memberi kesan bahwa sepatutnya satu nyawa manusia adalah sama berharganya dengan seluruh manusia satu dunia.
Perlu dipahami pada dasarnya pertandingan sepakbola hanyalah sebuah permainan. Dalam Islam permainan ini hukumnya mubah. Begitu pun dalam menontonnya ataupun menjadi suporter sepakbola. Patut diketahui pula bahwa sesuatu yang mubah boleh dilakukan jika sesuatu yang wajib sudah terlaksana dengan baik, dan harus diperhatikan pula syarat-syaratnya. Diantaranya: Pertama, Tidak ada ikhtilat atau campur baur antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan banyak kasus yang terjadi pertandingan dilaksanakan dalam keadaan campur baur. Kedua, tidak meninggalkan salat lima waktu. Banyak pula permainan yang memang waktunya berbarengan atau melewati waktunya salat. Karena kebanyakan dari acara-acara seperti itu sering dilakukan pada jam-jam waktu sholat. Ketiga, Tidak ditampakkan aurat. Seragam atau celana pesepakbola. Dan tidak sedikit pula dari penonton yang tidak memakai pakaian syar’i baik dari laki-lakinya atau perempuan.
Dengan demikian, jika ditelusuri, banyak sekali kelalaian hukum syara dalam menonton pertandingan tersebut. Tak hanya itu fanatisme kelompok antar suporter dan merasa bangga dengan kelompoknya atau teamnya. Ashobiyah atau fanatisme golongan ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Perlu diketahui hal tersebut sangat dilarang sebagaimana sabda Rasulullah Saw : “Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyerukan ashobiyyah, bukan dari golongan kami mereka yang berperang atas dasar ashobiyyah, bukan dari golongan kami, orang-orang yang mati karena ashobiyyah.” (HR. Abu Dawud)
Dengan demikian, patutlah negara sebagai pengayom masyarakat menjamin rasa keamanan, keadilan dan kesejahteraan. Masyarakat pun dijaga rasa persaudaraan persatuan hanya berlandaskan akidah.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 8
Comment here