Opini

Kapitalisme Gagal Menjamin Produk Halal

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Neng Maryana

wacana-edukasi.com– Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad menanggapi penjualan daging anjing di salah satu pasar di DKI Jakarta yang mulai meresahkan masyarakat. Menurutnya, jual beli hewan untuk dikonsumsi harus memenuhi unsur keselamatan, kehalalan dan kesehatan.

Terkait jual beli daging anjing, ia menilai berpotensi merugikan kesehatan konsumen. Salah satunya memungkinkan adanya penularan penyakit rabies. “Penjualan anjing di pasar baik hewan liar maupun dipasok melalui sindikat kriminal pencurian hewan akan menimbulkan banyak permasalahan dan membahayakan bagi masyarakat Jakarta. Karena anjing yang tidak divaksin akan menimbulkan penyakit rabies atau anjing gila yang menular pada hewan lain maupun kepada manusia,” ujar Suparji kepada wartawan, Jumat (10/9/2021).

Jadi, memang tujuan sindikat pencurian hewan anjing untuk dijual kembali adalah untuk mendapatkan keuntungan. Maka, tentu saja hal ini melanggar hak konsumen atas keselamatan dan kesehatan konsumen.

Di samping itu semua, tentu yang tak dapat kita abaikan adalah tata aturan jaminan pangan halal dan perlindungan konsumen. Dikutip dari laman halal.go.id, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) adalah sebuah badan yang terbentuk di bawah naungan Kementerian Agama.

UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) mengamanatkan agar produk yang beredar di Indonesia terjamin kehalalannya. Oleh karena itu, BPJPH bertugas dan berfungsi untuk menjamin kehalalan produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia. Berdasarkan keterangan ini, tentu perdagangan daging anjing bisa dikategorikan perdagangan ilegal.

Ketika kapitalisme masih tegak, hal apa pun yang mendatangkan manfaat dan profit laba pasti akan diberi ruang. Tak terkecuali perdagangan daging anjing. Keharaman dan ketidaktayibannya sudah jelas. Namun, di negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, keberadaannya masih banyak ditemukan.

Hal ini patut menjadi tamparan keras. Sungguh tak pantas sebuah negeri muslim terbesar di dunia, memiliki pasar perdagangan bahan pangan yang diharamkan oleh syariat Islam. Dalil mengenai keharaman memakan daging hewan bertaring, liar, atau buas, juga sudah terperinci dalam sejumlah hadis. Anjing termasuk golongan As-Siba’ (hewan buas) yang memiliki taring untuk memangsa korbannya. Daging anjing haram dimakan dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Di antaranya dalilnya adalah dari Aisyah ra, Nabi saw. bersabda, “Ada lima hewan fasiq yang boleh dibunuh di tanah haram: tikus, kalajengking, burung buas, gagak dan anjing.” (HR. Bukhari no. 3314).

Berbeda dengan Islam Makanan menjadi bagian penting sebab makanan akan memengaruhi fisik dan perilaku manusia. Islam mengatur Muslim untuk memakan makanan halal dan menghindari makanan haram dan meragukan. Aturan dasar mengenai makanan dalam Islam semakin jelas dalam risalah yang dibawa Rasulullah SAW. Aturan ini berlaku tak hanya sebagai bagian ajaran agama, tapi juga sistem negara, terutama setelah Islam memiliki entitas negara kota di Madinah.

Lesley Stone dalam A Contextual Introduction to Islamic Food Res trictions menulis, catatan hadis menun jukkan Muhammad SAW menyembelih hewan dengan terlebih dulu menyebut nama Allah SWT. Ini merupakan bentuk dari upaya memberikan jaminan halal terhadap daging yang akan dikonsumsi.

Inilah yang membuat daging hewan halal menjadi halal juga dimakan. Alat penyembelihan berupa pisau yang sangat tajam juga diharuskan untuk menghindari penyiksaan terhadap hewan karena mati kesakitan.

Mengutip perkataan ulama Maulana M Ali yang mengatakan penyebutan nama Allah SWT dalam penyembelihan menunjukkan seriusnya urusan menghilangkan nyawa, bahkan pada hewan meski tak membawa untung secara ekonomi. Ini juga sekaligus permohonan izin kepada Yang Maha kuasa untuk memakan makhluk hidup ciptaan-Nya dan menumbuhkan kesadaran eksistensi Allah SWT.

Tak hanya soal makanan sejarah Islam mencatat aturan-aturan tegas yang diberlakukan untuk melindungi muslim dari makanan dan minuman yang tidak toyyib contoh kasusnya larangan minuman khamr atau minuman beralkohol Rasulullah SAW melarang beredarnya minuman yang haram.

Zaman khilafah Utsmaniyah pilihan menu makanan sehari-hari harus memenuhi spesifikasi yang disebut enam peraturan yang harus diikuti untuk hidup sehat. Salah satu dari peraturan hidup tersebut adalah menyeimbangkan menu makanan. Meskipun islam tidak melarang orang non muslim memakan makanan haram secara pribadi namun Islam melarang produksi makanan haram untuk dijual dan diedarkan. Negara juga menjamin kehalalan pangan dengan sungguh-sungguh memantau kehalalan produk dari hulu ke hilir secara berkala dengan pengawasan yang ketat terhadap produk-produk yang beredar di pasaran.

Oleh karena itu, berharap pada kapitalisme sekuler selalu berujung kekecewaan berulang. Kebutuhan akan sistem kehidupan Islam sebagai alternatif sangatlah relevan. Di samping kemaslahatan didapat, kewajiban syariat pun tertunaikan karena ini adalah wujud dari ketakwaan.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 13

Comment here