Oleh: Sumariya (Anggota LISMA Bali)
wacana-edukasi.com, OPINI– Rohwana (38), seorang ibu di Kabupaten Belitung, Bangka Belitung, ditangkap polisi karena terlibat pembunuhan. Perempuan yang kesehariannya bekerja sebagai buruh itu, membunuh bayinya sendiri dengan cara menenggelamkan ke ember berisi air setelah dilahirkan. Bayi itu kemudian dibuang di semak-semak dalam kebun milik warga sekitar. Kejadian itu terjadi pada Kamis (18/1/2024) sekitar pukul 21.00 WIB. Tindakan tersebut tidak diketahui oleh suami maupun keluarganya. Ketika proses melahirkan, pelaku melakukan di kamar mandi rumahnya tanpa diketahui siapa pun. Kepada polisi, Rohwana mengaku tega membunuh bayinya itu, karena tidak menginginkan kelahirannya. Alasannya, karena tidak cukup biaya untuk membesarkan. Rohwana memiliki suami yang bekerja sebagai buruh. Akibat perbuatannya, Rohwana dijerat Pasal 338 KUHP atau pasal 305 KUHP Jo Pasal 306 ayat 2 KUHP atau pasal 308 KUHP. (kumparan.com)
Miris, melihat seorang ibu tega membunuh bayi yang baru dilahirkan karena faktor ekonomi. Lagi-lagi realita ini menunjukkan tingginya beban hidup telah mematikan fitrah keibuan seorang perempuan dan itu ada banyak faktor yang berpengaruh, seperti lemahnya ketahanan iman, tidak berfungsinya keluarga, sehingga Ibu juga terbebani pembunuhan ekonomi, lemahnya kepedulian masyarakat dan tidak adanya jaminan kesejahteraan negara atas rakyat individu per individu. Semua faktor tersebut tentu berkaitan erat dengan sistem yang diterapkan negara saat ini yaitu sistem Kapitalisme. Sistem Kapitalisme adalah sistem yang lahir dari akidah Sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan. Karena tidak menggunakan aturan agama, kehidupan manusia akhirnya diatur oleh aturan manusia sendiri. Maka terwujudlah individu yang minim keimanan, masyarakat yang apatis dan negara yang abai terhadap perannya. Semua ini menjadi beban bagi para ibu ketika ingin membesarkan anak-anak mereka.
Jika sistem Kapitalisme mematikan fitrah seorang ibu, maka tidak dengan sistem Islam. Sistem Islam justru akan merawat dan menjaga fitrah keibuan, secara penampakan memang fitrah keibuan akan muncul pada individu perempuan. Jika fitrah ini terwujud secara optimal dalam diri perempuan, maka generasi pengisi peradaban akan terdidik dengan benar. Hanya saja perlu dipahami, bahwa fitrah ke ibuan adalah perwujudan dari gharizah nau’ (naluri berkasih sayang) yang ada dalam setiap manusia. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhamul Islam bab Thariqul Iman menjelaskan, bahwa naluri akan bangkit ketika mendapat pemicu (rangsangan) dari luar. Seorang ibu akan optimal dan tenang merawat anaknya, mengasuh anaknya dan mendidik anaknya ketika mendapat jaminan kehidupan dengan layak dan baik.
Jaminan kehidupan terkait erat dengan kesejahteraan yang tidak mungkin diwujudkan oleh individu per individu, namun butuh peran negara. Di sinilah Islam mengatur agar negara menjadi support system bagi para ibu dan anak, supaya mereka mendapat jaminan kesejahteraan tersebut. Dalam Islam jaringan kesejahteraan diwujudkan dari berbagai mekanisme, baik jalur nafkah, dukungan masyarakat dan santunan negara. Dari jalur nafkah, syariat menetapkan bahwa tanggung jawab penafkahan ada di pundak laki-laki. Sesuai dengan firman Allah SWT:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf.” (TQS. Al-Baqarah: 233)
Penafkahan berkaitan erat dengan pekerjaan, dalam hal bekerja tidak cukup dari segi individu saja yang bersemangat, namun juga harus ada lapangan pekerjaan, maka Islam mewajibkan negara menjadi penanggung jawab agar lapangan pekerjaan tersedia dengan cukup dan memadai, hingga tidak ada seorang laki-laki pun yang tidak bekerja. Selain itu, Islam juga memerintahkan agar kehidupan bermasyarakat dilandasi oleh ikatan akidah. Dengan begitu, aksi tolong-menolong (ta’awun) antar masyarakat akan menjadi dukungan tersendiri bagi ibu untuk mengasuh anak-anak mereka. Semisal keluarga kaya membantu yang kekurangan, mensuasanakan kehidupan yang taat dan berlomba-lomba untuk kebaikan, tidak dengki, tidak memamerkan kemewahan dan amalan saleh lainnya.
Seandainya pun seorang ibu mendapat takdir (qada) sang suami meninggal atau kehilangan kemampuan mencari nafkah, Islam juga memiliki mekanisme agar mereka tetap mendapat jaminan kesejahteraan. Jalur penafkahan akan beralih kepada saudaranya, jika tidak memiliki saudara, tanggung jawab itu akan beralih kepada negara. Alokasi anggaran jaminan tersebut akan diambilkan dari Baitul Mal. Tak hanya jaminan penafkahan, Islam juga mewajibkan negara menjamin harga-harga bahan pangan terjangkau oleh masyarakat. Dengan begitu, para ibu dapat menyiapkan kebutuhan gizi anak-anak dan keluarganya dengan layak.
Selain kebutuhan pokok, Islam mengatur agar kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan dijamin oleh negara secara mutlak. Rakyat mendapatkannya secara gratis dan berkualitas, karena semua kebutuhan dasar publik tersebut dibiayai oleh Baitul Mal. Dengan demikian, jaminan kesejahteraan dapat dirasakan oleh individu per individu, akhirnya para ibu bisa optimal mengasuh anak-anak mereka tanpa perlu khawatir terhadap masalah ekonomi.
Inilah wujud sistem ekonomi dan politik dari negara yang diatur oleh Islam, yakni Khilafah. Negara yang menjalankan tugas sebagai pengurus rakyat (raa’in), seperti sabda Rasulullah SAW:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari)
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 28
Comment here