Oleh: Santy Mey
Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Berdasarkan penilaian Kementrian Pertanian (Kementan), seiring dengan meningkatnya populasi penduduk di Indonesia, telah menjadikan laju alih fungsi lahan pertanian untuk pemukiman dan bisnis cukup signifikan. Oleh sebab itu, harus segera dilakukan penanganan yang serius, sebab jika tetap dibiarkan, kondisinya akan mengganggu ketahanan pangan nasional. Terlebih, negeri ini sudah ketergantungan pada pasokan barang import, sehingga mustahil bisa swasembada pangan (Hibar, 30-10-2024).
Padahal, pemerintah sendiri sudah menyusun dan mengesahkan, serta memberlakukan undang-undang dan berbagai peraturan. Baik peraturan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, tetapi undang-undang dan peraturan yang ada pun, seolah-olah tidak mampu menghadapi oknum-oknum yang hendak mengalihfungsikan lahan pertanian produktif yang akan digunakan peruntukkan lain.
Sementara, bila menilik salah satu dari ke 17 program yang dicanangkan Presiden dan Wapres terpilih adalah mencapai swasembada pangan, energi dan air. Namun, sejatinya dalam pencapaian swasembada pangan, sangat penting dalam ketersediaan lahan pertanian. Oleh sebab itu, wajib hukumnya menjaga dan melindungi lahan pertanian yang semakin menyempit ini.
Sebetulnya, alih fungsi lahan merupakan dampak dari kebijakan industrialisasi yang cukup pesat akhir-akhir ini. Hal tersebut, berdampak pada rendahnya produksi bahan pangan, sementara biaya produksi semakin meningkat. Barang tentu, berimbas pula pada kenaikan harga bahan pangan dan harga kebutuhan yang lainnya.
Terlebih, kebijakan pertanian yang tidak berpihak pada para petani. Sehingga, para petani harus rela terus menerus mengalami kerugian, alhasil tidak ada pilihan lain kecuali menjual lahannya kepada para investor untuk dijadikan perumahan dan peruntukkan lainnya.
Maka, jika hal ini tidak segera dikendalikan oleh negara sebagai pihak yang berkuasa dan berwenang, lahan sawah akan habis berpindah ke tangan para pebisnis yang memiliki modal besar dan pihak-pihak yang ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Maka, dengan tidak adanya dukungan pemerintah terhadap para petani lokal, sementara malah sebaliknya memuluskan para oligarki untuk menguasai lahan produktif telah menjadikan kecemburuan sosial yang sangat berati. Dengan demikian, negara telah lalai dan lepas tangan dalam meriayah rakyatnya sendiri.
Terlihat jelas faktanya, dari gencarnya kontruksi infrastruktur secara besar-besaran, mulai dari pembangunan jalan TOL, jalan kereta api cepat, perumahan dan masih banyak yang lainnya. Mirisnya lagi, semua pembanguna tersebut, tidak ada korelasinya dengan kepentingan rakyat kecil, tetapi hanya untuk kepentingan para penguasa dan pengusaha saja.
Belum lagi, mega proyek IKN yang dinilai sangat bombastis, sehingga paling banyak mengorbankan fungsi lahan dan kepemilikan lahan masyarakat setempat, mereka harus rela kehilangan mata pencaharian sebagai petani karena sawah, ladang tempat mereka bekerja ikut tergerus. Disamping itu, dapat mempengaruhi juga sektor-sektor lain yang lebih mendesak masyarakat luas, seperti kesehatan, keamanan dan pendidikan.
Walhasil, alih fungsi lahan ataupun perpindahan kepemilikan lahan yang semakin merajalela, menjadi penyebab utama kegagalan mencapai produksi beras dalam jumlah yang banyak menuju swasembada. Terlebih, anggaran Pemerintah untuk Kementerian Pertanian dan Badan Pangan Nasional mengalami penurunan dengan angka cukup signifikan.
Andaikan saja, anggaran pembangunan sektor pertanian lebih ditingkatkan, sudah barang tentu akan mampu meningkatkan produksi. Sebaliknya, jika anggaran Pemerintah diturunkan, pastilah kegagalan produksi akan terjadi. Jadi, sangat mustahil, dapat meraih swasembada pangan, kalau ternyata Pemerintah malah menurunkan anggaran untuk sektor pertanian.
Terlepas dari apapun yang menjadi pertimbangannya, langkah menurunkan anggaran khususnya disektor pertanian, sangatlah tidak tepat bahkan dapat dinilai suatu keputusan yang tidak berdasar. sehingga, tak heran kalau banyak pihak yang mempertanyakan hal tersebut. Mengingat, produksi beras beberapa tahun kebelakang telah mengalami penurunan.
Mengingat keadaan yang semakin tak kondusif di sektor pertania ini, mengharuskan pemerintah segera menghentikan alih fungsi lahan maupun perpindahan kepemilikan lahan. Pemerintah harus bertindak keras, dengan mewajibkan untuk selalu menjaga dan melestarikan lahan pertanian produktif yang masih tersisa.
Tidak ada pilihan lain dalam menyolusi permasalahan yang ada, selain kembali kepada Islam secara menyeluruh (kaffah). Sistem perekonomian Islam, meniscayakan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Sebagaimana janji Allah dalam QS. Al-Araf ayat 96 yang berbunyi,”Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, maka kami akan membukakan bagi mereka keberkahan dari langit dan bumi”.
Begitupula dalam QS. At- Talaq ayat 2-3 yang berbunyi,” Barang siapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka”.
Dengan berbekal ayat-ayat yang terdapat dalam nas Al-Qur’an, telah menjadikan pegangan bagi Khalifah untuk senantiasa mengupayakan kesejahteraan dan mengoptimalkan periayahan bagi seluruh rakyatnya.
Dengan demikian, khalifah tidak akan membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat yang dipimpinnya, karena bertanggungjawab dalam menjalankan amanah. Sadar bahwa, pemimpin bagaikan pengembala yang bertanggungjawab atasnya.
Views: 2
Comment here