Opini

Karut Marut Pilkada, Siapa yang Diuntungkan?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Dwi Maria

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Dalam Demokrasi terdapat kredo “Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox dei)”, sehingga menciptakan opini bahwa rakyat memiliki kedaulatan dalam menentukan jalannya sistem politik dan kepemimpinan satu negara. Hanya saja dalam prakteknya, suara rakyat bisa dibeli dengan murah oleh para kapitalis yang haus akan kekuasaan. Hal ini terjadi karena sistem demokrasi lahir dari sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Konsekuensinya, demokrasi memberikan kebebasan dalam praktik politik yang mereka lakukan, demi mencapai kekuasaan yang mereka inginkan.

Sebagaimana yang terjadi saat ini, Jelang pendaftaran calon Pilkada 2024 yakni pada tanggal 27 hingga 29 agustus 2024, manuver-manuver politik mulai dilancarkan untuk memenangkan jagoan masing-masing demi mengejar keuntungan politik pribadi atau partainya. Tak heran, jika kemudian para ketua parpol terus melakukan pertemuan untuk menawarkan jagoan masing-masing. Segala cara ditempuh tanpa kenal batasan, idealisme tergadaikan, persahabatan dikorbankan, tidak ada teman dan kawan abadi dalam perpolitikan yang ada hanyalah kepentingan abadi.

Sebagaimana dilansir dalam liputan6.com (11/8/2024), PKS pecah kongsi dalam mendukung Anies Baswedan dalam pilkada DKI Jakarta. Justru PKS berencana merapat ke KIM (Koalisi Indonesia Maju) yang mendukung Prabowo-Gibran pada pemilu presiden yang lalu. Elit partai sangat menentukan calon kepala daerah, seorang tidak akan bisa maju ke Pilkada tanpa dukungan partai. Hal ini sejalan dengan undang-undang Pilkada yang ada, sehingga mempersempit peluang bagi rakyat untuk bisa mencalonkan seseorang yang sesuai dengan aspirasinya.

Koalisi dibentuk dengan pertimbangan peluang kemenangan, meski berbeda ‘ideologi’ dan berbeda pandangan politik pada masa lalu. Demikian pula pemilihan figur semata hanya memperhitungkan kemenangan, bukan pada kapabilitas apalagi integritas calon kepala daerah. Karena itu, politik uang menjadi sebuah keniscayaan
Pengamat politik sekaligus direktur eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno dalam unggahan diInstagramnya melontarkan kritik, menurutnya prinsip utama politik adalah mendapat keuntungan pribadi dan kelompok.

Tujuannya hanya demi mendapatkan kekuasaan dengan cara apapun demi mengejar keuntungan pribadi dan kelompoknya itu, praktek-praktek yang terjadi kerap brutal dan membabi buta. Bersahabatan di korbankan, pertemanan diingkari, berbohong dan ingkar janji menjadi perkara biasa bahkan ada yang rela menghabisi partainya sendiri, semua demi keuntungan politik.

Di tengah demokrasi hari ini, kritik dan analisis harus hadir untuk membedah sistem ideal yang layak masyarakat terapkan. Tujuannya adalah untuk mewujudkan sistem politik yang mampu mewujudkan kemaslahatan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Realitas Sistem Kapitalisme Demokrasi

Kapitalisme adalah spirit segala interaksi dalam masyarakat sekuler, baik politik, ekonomi, hukum, sosial, pergaulan dan sebagainya. Hal ini menjadikan siapapun yang memiliki kapital (modal), ia berpeluang memiliki kuasa. Sedangkan kekuasaan adalah jalan untuk mengamankan kepentingan, menanamkan pengaruh sekaligus membentuk oligarki kekuasaan. Sedangkan memasuki wilayah politik adalah bekal untuk melipatgandakan bisnis.

Fenomena seperti ini sudah umum dalam sistem demokrasi. Prinsip “power is money and money is power” dilahirkan dari kapitalisme. Sistem ini juga telah berhasil menyingkirkan nilai moralitas dan agama dalam kehidupan. Oleh karena itu, segala macam cara yang dihalalkan demi meraih kepentingan adalah konsekuensi logisnya. Miris, inilah realitas politik yang nyata terjadi hari ini.

Di dalam sistem demokrasi kapitalisme pula, kita menyaksikan banyak parpol bermutasi menjadi korporasi. Bedanya, transaksi yang terjadi di dalamnya adalah transaksi politik. Lobi-lobi melalui safari politik atau semacamnya wajib dilakukan oleh para petinggi parpol. Tujuannya, tidak lain untuk membentuk koalisi yang mempertemukan kepentingan mereka. Ini karena membentuk koalisi ibarat menentukan strategi di atas papan catur perpolitikan. Oleh karena itu, pembentukan koalisi akan didasarkan atas pertimbangan mengenai seberapa besar peluang kemenangan dapat diraih. Dalam koalisi inilah, kita akan menyaksikan pragmatisme politik parpol. Meski mereka berbeda ideologi atau pandangan politik pada masa sebelumnya, koalisi kepentingan detik itulah yang akan menyatukan mereka.
Kondisi ini akan meniscayakan praktik politik uang. Hitung-hitungan kekuataan parpol tidak hanya dilihat dari dukungan massa, tetapi juga modal yang mereka persiapkan. Seluruh drama politik ini merupakan strategi untuk meraih kekuasaan bersama.

Dalam prosesnya, mereka menggunakan cara-cara kotor, curang, dan penuh kebohongan. Setelah kekuasaan mereka peroleh, maka episode selanjutnya adalah bagi-bagi jatah kekuasaan. Jadi, jangan berharap mereka mampu menghadirkan pemimpin yang dapat mendengar suara rakyat. Dalam praktiknya, pemimpin-pemimpin yang lahir dari pesta demokrasi, hanya bekerja untuk melayani kepentingan para oligarki.

Rakyat hanyalah partisipan pasif yang kontribusi riilnya dalam politik semata hadir saat proses pencoblosan saja. Slogan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanyalah omong kosong belaka. Terbukti, dalam pegelaran pesta demokrasi yang diuntungkan hanyalah para elite saja, sementara rakyat malah buntung.

Kekuasaan dalam Islam

Dalam Islam, kekuasaan adalah Amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Karena itu Islam memiliki pandangan yang khas mengenai kekuasaan. Praktik politik Islam jauh dari politik oportunis. Para pemegang kekuasaan pun tidak muncul dari hasil koalisi yang mempertemukan berbagai kepentingan para elite.
Hubungan antara kekuasaan dan agama disampaikan oleh Imam Al-Ghazali,

“Kekuasaan (pemerintah) dan agama adalah saudara kembar. Agama adalah fondasi dan kekuasaan (pemerintah) adalah penjaga. Sesuatu yang tidak berfondasi akan roboh, dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan lenyap/hilang.”

Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa kekuasaan sangat berperan dalam menegakkan syariat di tengah-tengah masyarakat. Atas dasar ini pula, pemimpin dipilih dan dibaiat untuk menjalankan apa yang menjadi perintah Allah dan Rasulullah saw.

Di sisi lain, makna politik dalam Islam tidak sesempit fakta seperti saat ini. Dalam Islam, politik bermakna ri’ayatusy syu’unil ummah, yakni mengurus urusan umat. Dengan definisi ini, penguasa bertugas sebagai pelayan dan pengurus rakyatnya. Kapabilitasnya dalam mengelola negara tidak hanya didasarkan pada kemampuan seorang politisi saja, tetapi juga lahir dari keimanan yang kokoh. Rakyat pun akan merasakan atmosfer politik yang kental dengan spirit keimanan yang akan menghantarkan dalam mewujudkan konsep-konsep Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Kekuasaan adalah amanah. Kekuasaan adalah Amanah sekaligus perkara berat yang membutuhkan kapabilitas dan rasa tanggung jawab. Hal ini tergambar dalam percakapan Rasulullah SAW. bersama Abu Dzar Al-Ghifari:

Dari Abu Dzar, ia berkata, “Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah Engkau menjadikanku sebagai pejabat?’ Abu Dzar berkata, ‘Kemudian beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan tugas dengan benar.’.” (HR Muslim).

Karena itulah Rasulullah saw. juga mengingatkan umat Islam tentang kekuasaan. Beliau bersabda, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR Al-Bukhari).

Khatimah

Siapapun tentu tidak ingin larut dalam kesempitan hidup yang disebabkan oleh penerapan sistem politik yang jauh dari tuntunan syariat. Sudah saatnya kaum muslimin meninggalkan sistem kapitalis yang menjadi penyebab kesengsaraan umat dan kembali merujuk pada konsep Islam dalam berbagai aspek kehidupan, diantaranya mengenai politik dan kekuasaan.

Selain itu, kedaulatan hanyalah milik Sang Khalik, sekaligus pembuat aturan yang layak bagi manusia. Maka haram mengambil hukum selain hukum Allah. Terlebih lagi, sistem saat ini telah terbukti bobrok dan hanya menciptakan kekuasaan para elite politik yang menyengsarakan rakyat.

Wallaahualam bissawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 7

Comment here