Penulis: Ana Ummu Ghaziya (Komunitas Muslimah Coblong)
Wacana-edukasi.com, OPINI— Hidup dalam Demokrasi. Cara apapun akan ditempuh demi meraih kekuasaan dan kekayaan, tak akan mempedulikan halal atau haram. Menimbulkan kemaslahatan ataupun kemudharatan, yang ada hanyalah kemanfaatan semata.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno mengatakan bahwa soal pilkada 2024 “Berbohong dan ingkar janji itu perkara biasa”. Karena dalam prinsip politik demokrasi hal seperti itu bukan lagi hal yang tabu. Namun, apa yang terjadi pada pilkada saat ini merupakan fenomena demokrasi elit. Karena yang dapat menentukan seseorang maju adalah kehendak elit partai (www.liputan6.com).
Para elite bertarung dalam kontestasi pilkada demi meraih kemenangan maka bersatu membentuk koalisi pun mereka lakukan, meskipun mempunyai ideologi yang berbeda maka untuk mencapai tujuan, idealismepun luntur seiring dengan kepentingan.
Politik dijalankan di sistem ini secara brutal. Hingga tak menghiraukan lagi etika. Bahkan kemampuan menjadi pemimpin yang baik hampir tak ada dalam diri para calon kepala daerah. Dipilih berdasarkan penampilan dan ketenaran yang dimiliki, bukan lagi pada kapabilitas yang baik sebagai
Pemimpin. Sehingga tak mengherankan jika banyak terlahir pemimpin yang tidak punya visi ri’ayah (mengurus urusan rakyat), melainkan pemimpin bermental korup.
Tak mengherankan praktik kecurangan yang ditempuh dalam politik menjadi hal yang biasa, mengingat mahalnya biaya politik demokrasi .
Inilah watak asli dari sistem yang diagung-agungkan sebagai sistem yang menyuarakan suara rakyat. Namun, pada kenyataannya rakyat hanya dijadikan objek pendulang suara, dimanfaatkan untuk bisa menjadi kendaraan meraih kekuasaan. Demokrasi itu nyata menjadi pintu yang terbuka bagi ragam berbagi penghianatan yang dilakukan oleh penguasa dan pejabat negara.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam setiap pemilu, pilkada, suara rakyat “dijual”oleh penguasa dan elit parpol kepada oligarki. Tak mengherankan, jika setiap undang-undang yang dibuat lebih pro kepada kapitalis dibanding kepentingan rakyat. Seperti UU Cipta Kerja, UU pengelolaan SDA.
Berbeda dengan sistem Islam dalam memilih seorang pemimpin tentu melalui persyaratan yang tidak mudah karena amanah yang dijalankan pun kelak akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah Swt.
Jika pemimpin amanah maka ia akan mulia dan jika ia khianat maka kehinaan baginya di akhirat. Bila pemimpin mau menerapkan syariat Islam, tentu praktik kecurangan tidak akan terjadi dan akan dihapus.
Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar karena Agama itu adalah fondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaga. Apa saja yang tidak punya fondasi akan hancur, Apa saja yang tidak ada penjaga akan lenyap.
Berkat agama Islam yang bersanding dengan kekuasaan, Allah Swt. akan menghilangkan berbagi keburukan dunia dari manusia.
Politik Islam memiliki dua pilar penting yakni, Kedaulatan adalah membuat hukum yang hanya ada di tangan Allah Swt. (syariah). Kekuasaan di tangan umat. Kedaulatan di tangan syariah menjadikan pilar yang akan membuat pemimpin yang akan dipilih tidak cara yang serampangan. Sesuai kemauan dia dan dikendalikan oleh oligarki.
Seorang pemimpin di dalam Islam diangkat dan dibaiat untuk menjalankan Al-Qur’an dan As sunnah. Dengan begitu semua perilaku politiknya atas dorongan keimanannya, dibatasi oleh syariah Islam hingga menutup berbagai celah kecurangan dan penghianatan.
Adapun kekuasaan di tangan umat akan menjadikan mereka penentu siapa yang layak menjadi pemimpin. Tentu saja yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariah, diantaranya Pemimpin harus memiliki sifat adil, bukan orang fasik. Keadilan pemimpin akan tampak pada ketertarikannya pada syariah Islam serta komitmennya untuk menerapkan syariat islam secara kafah dalam segala aspek kehidupan.
Umat akan mengawasi jalannya kekuasaan pemimpin mereka melalui mekanisme koreksi dan kontrol (Muhasabah dan amar ma’ruf nahi Munkar). Mekanisme ini dilakukan pada penguasa, baik itu individu maupun kelompok partai Islam atau kelembagaan seperti MUI. Rasulullah bahkan memberikan penghargaan tertinggi untuk aktivitas ini, menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.
Jihad yang paling utama ialah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang menyimpang (zalim) (HR At Thabrani dan Al Baihaqi). Aktivitas mengingatkan penguasapun hendaknya dilakukan secara kelompok, partai politik islam, seperti hal nya firman Allah,
“Hendaklah diantara kalian ada segolongan orang yang menyerukan kebajikan (Islam) dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Mereka itulah orang orang yang beruntung (QS. Ali Imran[3]:104). Di antara aktivitas lainnya, mengingatkan penguasa adalah hal yang terpenting. Sebab bila tidak dicegah maka akan menyebabkan kerusakan pada rakyat.
Fokus Perjuangan
Jelas demokrasi sampai kapanpun tidak pernah akan berpihak pada Islam dan umatnya. Karenanya umat Islam sebagai khayru ummah tidak sepatutnya berharap pada sistem demokrasi. Mulai saat ini harus fokus pada perjuangan penerapan syariat Islam secara kafah di seluruh aspek kehidupan dengan mengikuti metode dakwah Rasulullah.
Pertama, dengan membentuk partai politik Islam dan intens melakukan kaderisasi dakwah.
Kedua, dengan membentuk opini umum tentang Islam dan melakukan penyadaran politik Islam di tengah-tengah umat.
Ketiga, meraih kekuasaan dengan jalan umat yang didukung oleh pemilik kekuatan.
Untuk menerapkan syariah Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan melalui institusi pemerintahan Islam.
Wawlahu A’lam bishawab
Views: 12
Comment here