Opini

Kasus Rempang, Kedaulatan di Tangan Siapa?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Erdiya Indrarini

Wacana-edukasi.com, OPINI– Publik tercengang. Setelah mengusir warga pulau Rempang dengan garang, ternyata proyek Rempang Eco City belum mengantongi ijin AMDAL. Bukankah pada sistem demokrasi kedaulatan di tangan rakyat? Atau narasi ini hanya tipu muslihat?

Dilansir dari Bbc.com tanggal 28 September 2023, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pada Senin (25/09) lalu mengatakan bahwa rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City tetap berjalan. ulau Rempang yang sedianya dikosongkan pada Kamis (28/09) ditunda, karena pemerintah memperpanjang waktu bersosialisasi. Penundaan ini membuat masyarakat di Kampung Pasir Panjang, Sembulang, terus mengalami keresahan.

Untuk mengurangi ketakutan, mereka berkumpul di beberapa posko. Seperti di kampung Pasir Merah, Sembulang, ratusan warga berkumpul dan membentangkan spanduk bertuliskan “Menolak keras relokasi”. Sedangkan ibu-ibu menyiapkan masakan untuk warga yang berkumpul. Salah satunya adalah Samah (50 tahun). Ia mengatakan bahwa dengan berkumpul mereka lebih percaya diri. “Pokoknya kami berkeras, kami tidak akan mau digusur”, katanya. Kecemasan juga diungkapkan oleh Nurita. Menurutnya, semuanya menjadi serba susah. “Apakah tidak bisa stop masalah penggusuran ini?” ucapnya.

Di Bawah Demokrasi, Rakyat Tidak Berdaulat

Selama ini kita memahami bahwa dalam sistem kapitalisme demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat. Namun, kasus pulau Rempang menunjukkan bahwa rakyat sama sekali tidak berdaulat. Artinya, kedaulatan di tangan rakyat yang digembar-gemborkan sistem kapitalisme demokrasi selama ini, hanya tipu muslihat belaka. Tujuannya agar rakyat suka rela diatur dengan sistem demokrasi yang nota bene merupakan sistem pemerintahan buatan penjajah.

Pada faktanya, dalam sistem kapitalisme demokrasi, yang dianggap rakyat hanya para pemilik kapital atau modal saja. Sehingga, kedaulatan hanya ditangan para pemilik modal tersebut. Mirisnya, hampir semua dari mereka adalah asing dan aseng. Maka, selama pemerintah masih menerapkan sistem kapitalisme demokrasi, rakyat tidak akan pernah mendapat keadilan. Sebagaimana yang dialami warga pulau Rempang, juga kasus-kasus sebelumnya seperti kasus Wadas di Purworejo, Jawa Tengah, maupun kasus Mandalika. Semua bernasib sama, yaitu rakyat hanya menjadi obyek penderita.

Kebobrokan Sistem Kapitalisme Demokrasi

Kebobrokan sistem kapitalisme demokrasi juga terlihat pada : Pertama, pemimpin dipilih berdasarkan jumlah suara terbanyak, bukan yang terbaik. Maka supaya menang, setiap calon akan menghalalkan segala cara, berkampanye besar-besaran dengan biaya tak terkira. Untuk itu, calon pemimpin akan kongkalikong dengan para cukong alias pemilik modal.

Tentu tidak ada yang gratis, setelah pemimpin ala demokrasi menduduki singgasana, ia harus membalas budi atas biaya yang sudah dikeluarkan para pemodal. Di antaranya dengan membuat atau mengubah undang-undang, peraturan, maupun kebijakan-kebijakan yang menguntungkan para pemodal tadi. Akhirnya, pemimpin menjadi tega meskipun harus dengan mengusir puluhan ribu rakyatnya sendiri dari pulau yang sudah ratusan tahun dihuni, demi seorang atau segelintir pengusaha.

Kedua, dalam sistem kapitalisme demokrasi, hukum dibuat oleh manusia yang mengaku sebagai wakil rakyat. Tujuannya untuk mengakomodasi kepentingan, kebutuhan dan hak-hak rakyat. Namun, semua itu pun omong kosong belaka. Faktanya, para wakil rakyat itu tidak peduli, mereka hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya saja. Mereka akan condong pada penguasa maupun pemilik harta.

Ketiga, sistem kapitalisme demokrasi melegalkan kebebasan kepemilikan. Akibatnya, siapa saja boleh memiliki atau menguasai tanah selama ia mampu membelinya, walaupun sejatinya tanah tersebut milik rakyat secara bersama (kepemilikan umum). Dampaknya, rakyat kecil mudah tergusur, sementara para pemilik modal akan terus berburu lahan bahkan pulau. Terlebih pada wilayah yang diketahui mengandung sumber daya alam yang menjanjikan. Seperti di Pulau Rempang yang mengandung pasir silika atau pasir kuarsa.

Investasi Sebagai Penjajahan Masa Kini

Pasir kuarsa khusus dari pulau Rempang, disinyalir merupakan bahan yang memenuhi spesifikasi untuk produksi kaca dan panel surya. Tidak hanya itu, keindahan pantainya pun bagai perawan yang menarik perhatian. Wajar, Tomy Winata, pengusaha berdarah Cina itu berambisi untuk menguasai. Tidak tanggung-tanggung, dikutip dari Bbc.com (14//9), PT Makmur Elok Graha (MEG) yang merupakan anak perusahaan Grup Artha Graha yang dimiliki Tomy, akan membangun Rempang Eco City dengan investasi mencapai Rp381 triliun hingga tahun 2080 mendatang.

Bahkan, perjanjian itu sudah disepakati sejak 26 Agustus 2004 oleh pemerintah Kota Batam dan Tomy Winata yang mewakili PT MEG. Penandatanganan itu memberikan hak guna lahan untuk pengembangan dan pengelolaan Kawasan Rempang seluas 17.000 hektare, Pulau Setokok sekitar 300 hektare, dan Pulau Galang kira-kira 300 hektare.

Berbagai proyek PSN selalu berdalih untuk pembangunan, mengangkat perekonomian, menciptakan lapangan kerja, juga menyejahterakan rakyat. Namun faktanya, jumlah pengangguran kian hari semakin menumpuk. Otomatis, kemiskinan pun semakin meningkat.

Dengan demikian, proyek-proyek PSN yang dibangun atas nama investasi, hanya menyejahterakan para investor dan para penguasa negeri ini saja. Sementara, rakyat harus kehilangan ruang hidupnya, sejarah tempat tinggalnya, hak-hak hidupnya pun dirampas. Bahkan, harus menanggung ketika bencana alam terjadi akibat pembangunan yang melampaui batas AMDAL. Maka jelaslah, investasi yang marak selama ini, bukan untuk mengangkat ekonomi rakyat secara individu, tetapi sejatinya merupakan penjajahan gaya baru.

Dengan Sistem Islam, Rakyat Berdaulat

Sejarah menjelaskan bagaimana khalifah Umar bin Khottob membela dan melindungi seorang Yahudi yang rumahnya akan digusur oleh gubernur Mesir, Amr bin Ash, untuk pembangunan masjid. Walaupun mendapat ganti rugi yang sesuai, namun Yahudi itu menolak penggusuran. Ia pun mengadu kepada khalifah Umar. Maka khalifah Umar pun memberi peringatan keras kepada Amr bin Ash untuk mengembalikan rumah orang Yahudi tersebut.

Demikianlah dalam sistem Islam. Seorang kepala negara pun dilarang memaksa rakyatnya untuk menjual tanahnya tanpa keredaannya. Syariat Allah Swt. telah mengatur bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat, sedangkan kedaulatan ada di tangan syariat. Oleh karenanya, rakyat tidak berwenang membuat hukum, meskipun ia seorang pemimpin. Seorang pemimpin wajib menerapkan dan menjunjung tinggi syariat. Yakni hukum-hukum yang datang dari Allah Swt.. Karena, seorang pemimpin dipilih untuk menegakkan syariat dalam mengurusi segala urusan rakyatnya, bukan yang lain.

Syariat Islam juga mengatur hak kepemilikan. Ada 3 jenis kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan rakyat (umum). Negara tidak boleh menyerahkan kepemilikan rakyat kepada individu, atau swasta maupun investor, bahkan pada negara. Islam menetapkan bahwa negara adalah pihak yang bertanggung jawab atas segala urusan rakyatnya. Sedangkan penguasa wajib menyejahterakan seluruh rakyatnya, baik muslim maupun non muslim. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. :

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR Al-Bukhari).

Demikianlah syariat Islam, mengatur segala aspek kehidupan dengan sempurna. Maka hanya dengan sistem Islam rakyat mampu berdaya, berdaulat, dan penuh rahmat.

Wallahua’lam bisshowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 26

Comment here