wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Meningkatnya kasus kesehatan akhir-akhir ini membuat sebagian besar masyarakat merasakan kekhawatiran. Bukan hanya tentang kesehatannya, tetapi juga khawatir bagaimana mekanisme biayanya.
Dilansir dari Sehatnegeriku.kemkes.go.di (22/03/2022), Penyakit TBC di Indonesia menempati peringkat ke tiga setelah India dan China dengan jumlah kasus 824.000 dan kematian 93.000/tahun atau setara dengan 11 kematian per jam. Dalam perencaan untuk menemukan dan mengobati penyakit tersebut, Kemenkes RI berencana akan melakukan skrinning besar-besaran yang akan dilaksanakan tahun 2022.
TBC juga menyerang masyarakat khususnya di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Sepanjang tahun 2022, telah tercatat sebanyak 844 kasus TBC (51,6 persen). Dr. Khairul Kabid P2P Dinkes Kabupaten Ketapang, beliau menjelaskan masih ada 791 kasus TBC dari 1.635 kasus yang belum ditemukan atau tercatat, dengan kemungkinan pasien tersebut berobat ke dokter praktek mandiri atau klinik swasta lainnya (tribunnewspontianak.co.id, 09/01/2023)
Lambannya negara dalam mencegah penyakit ini semakin merebak adalah bentuk kurangnya pengawasan dari negara. Jika memang penyakit ini termasuk bahaya, kenapa tidak serius untuk memberikan tindakan pencegahan?
Memang sebagian masyarakat, masih memiliki pola pikir lebih baik berobat sendiri karena biaya yang dikeluarkan lebih murah dibandingkan di rumah sakit dengan biaya tinggi. Bukan tanpa sebab, terbentuknya pemikiran ini tidak jauh dari sistem kapitalisme yang memandang bahwa penyakit adalah komoditas yang harus di eksplor keuntungannya.
Masalah biaya kesehatan yang tinggi juga dipengaruhi oleh kemiskinan. Pada faktanya Kalimantan adalah tanah yang memiliki SDA melimpah, dan diwaktu yang bersamaan pula Kabupaten Ketapang terdata sebagai Kabupaten termiskin (bondowoso.jatimnetwork.com, 16/01/2023)
Selaras dengan permasalahan kesehatan yang tidak bisa digapai masyarakat menengah kebawah akibat keadaan ekonomi yang cukup tinggi. Maka sangat dimungkinkan jika deteksi awal untuk penyakit TBC masih minim dilakukan.
Bukan hanya masalah kesehatan yang harus diselesaikan negara, tetapi juga harus menyelesaikan masalah kemiskinan yang ada. Jika masih berharap kapitalisme sebagai solusi untuk menyelesaikannya, maka hingga kapanpun masalah ini tidak akan selesai akan tetapi malah semakin memburuk. Kapitalisme yang memanfaatkan keuntungan semata tanpa memperhatikan apapun adalah salah satu ciri khasnya. Kapitalisme tidak memandang nyawa manusia yang patut dihargai. Nyawa dalam kapitalisme seakan barang yang bisa diperjualbelikan.
Mekanisme Islam dalam menangani kesehatan sudah jelas dalam penerapannya. Negara Islam mengatur permasalah rakyat disandarkan pada kemaslahatan umat. Harus diperhatikan mana kebijakan yang memberikan maslahat dan mudharat. Terkait infrastruktur kesehatan, jika memang dibutuhkan oleh umat, maka khalifah akan memberikan layanan terbaiknya.
Terutama jika ada penyakit yang cukup berbahaya dan mengancam nyawa, maka negara akan dengan cepat memberikan tindakan preventif. Mengenai pembiayaan yang menjadi kekhawatiran, maka dalam negara Islam tidak perlu mengkhawatirkan mengenai hal ini karena kesehatan adalah hal wajib yang harus diterima umat. Negara Islam akan memberikan secara gratis, dengan pembiayaan dari baitul mal. Sudah seharusnya, umat menerima dengan gratis karena nyawa juga menjadi tanggung jawab dari Khalifah.
Negara Islam telah jelas memberikan gambaran mengenai peraturan kesehatan selama 13 abad lamanya. Bagaimana Khalifah mengatur urusan kesehatan umatnya tanpa memikirkan apa keuntungannya. Berbanding terbalik dengan kapitalisme, yang terus-menerus menjadikan sesuatu sebagai komoditas. Ironinya, masih banyak muslim enggan untuk menerima Islam sebagai landasan hidup bahkan negara. Padahal negara dengan sistem kapitalisme tidak juga memberikan kesejahteraan seperti yang didambakan, masih banyak masyarakat yang kehilangan nyawa hanya karena tidak bisa membayar biaya kesehatan.
Views: 9
Comment here