Oleh : Teti Ummu Alif
(Pemerhati Masalah Umat)
wacana-edukasi.com, OPINI– Peristiwa memilukan kembali terjadi. Tepatnya di Desa Parigi Mulya Kecamatan Cipunagara Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dimana seorang ibu tega menghabisi nyawa anaknya sendiri dan membuangnya di saluran irigasi dengan kondisi tangan terikat dan bersimbah darah. Dilansir dari Kompas.com pada 4/10/2023, korban yang berinisial MR (13) ditemukan dalam keadaan tak bernyawa di saluran irigasi di blok Sukatani Desa Bugis Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu. Dari hasil penyelidikan pihak berwajib ditemukan bahwa korban dihabisi oleh ibunya sendiri yang dibantu dengan paman dan kakeknya.
Berdasarkan informasi korban selama ini lebih banyak tinggal di jalanan setelah sang ayah bercerai dengan ibunya. Ia juga kerap tinggal di rumah kakeknya atau di pos ronda. Mirisnya, korban yang seharusnya duduk di bangku SMP itu terpaksa putus sekolah. Agar bisa makan ia meminta-minta bahkan mencuri.
Menanggapi peristiwa tersebut, Psikolog dari Universitas Ahmad Yani Cimahi, Miryam Sigarlaki mengatakan bahwa anak adalah korban perceraian. Maka salah satu penyebab ibu korban melakukan kekerasan adalah dampak perceraian baik persoalan emosional atau lainnya (jpnn.com 6/10/2023).
Ya, memang harus diakui bahwa saat ini kekerasan terhadap anak dilingkungan keluarga sudah masuk tahap darurat alias mengkhawatirkan. Menurut data dari KPAI sepanjang pengaduan ke KPAI dari tahun 2011 hingga 2021, kasus pada klaster lingkungan keluarga dan pengasuhan allternatif memiliki jumlah kasus tertinggi. Pada tahun 2022 saja terdapat 1.706 kasus pemenuhan hak anak berasal dari klaster lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif (dataindonesia.id).
Tak bisa dimungkiri bahwa kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantaranya faktor ekonomi, emosi yang tak terkendali, kerusakan moral hingga lemahnya iman. Sistem sekular kapitalisme yang diterapkan di negeri ini tentu berperan besar dalam memicu munculnya berbagai faktor yang merusak fungsi keluarga. Pasalnya, sistem sekular memisahkan agama dari kehidupan menjadikan keluarga muslim jauh dari pemahaman islam yang shahih dan kaffah. Alhasil, hukum-hukum islam yang sejatinya memiliki aturan komprehensif tentang keluarga tidak lagi dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan keluarga-keluarga muslim. Nilai-nilai islam di tengah keluarga pun sedikit-sedikit menjadi luntur.
Di sisi lain, derasnya arus kapitalisasi dan liberalisasi turut menggerus nilai-nilai islam dalam keluarga. Akibatnya, masalah demi masalah menimpa keluarga muslim hingga semakin parah. Sebagai konsekuensi tidak dipahami dan dilaksanakannya nilai-nilai islam dalam keluarga salah satunya adalah terganggunya relasi suami-istri. Hak dan kewajiban suami- istri yang telah diatur dalam islam menjadi terabaikan. Sehingga, munculnya berbagai masalah dalam keluarga tidak terhindarkan termasuk kasus perceraian dan ketidakharmonisan suami-istri. Hasilnya, keluarga menjadi rapuh dan berimbas pada nasib anak-anak. Undang-undang tentang perlindungan anak dan pembangunan keluarga pun tidak mampu menyelesaikan persoalan itu. Sebab, UU tersebut dibangun dengan ruh sekular dan kapitalis. Dari sini tampak bahwa negara abai terhadap pengurusan urusan rakyatnya.
Solusi untuk persoalan keluarga sesungguhnya hanya akkan ditemukan dalam islam. Penerapan islam secara sempurna dalam kehidupan akan menjamin terwujudnya berbagai hal penting dalam kehidupan seperti kesejahteraan, ketentraman jiwa, terjaganya iman dan takwa kepada Allah Swt. Sebab, islam merupakan ideologi atau sistem hidup yang sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal. Keluarga adalah tempat pertama bagi setiap manusia memahami makna hidup. Keluarga dalam islam berkewajiban membentuk kepribadian islam kepada seluruh anggota keluarganya. Keluarga juga harus menjadi madrasah yang akan mengajarkan hukum-hukum islam kepada seluruh anggota keluarganya. Pun, keluarga harus menjadi benteng yang melindungi seluruh anggotanya dari gangguan dan ancaman fisik maupun non fisik dari luar. Keluarga juga harus memastikan setiap anggotanya sehat secara fisik dan psikis. Terpenting keluarga harus menjadi tempat lahirnya generasi berkualitas dan pejuang islam. Tidak diragukan lagi bahwa peran orang tua yang vital dalam keluarga memang menjadi kunci keberhasilan keluarga, masyarakat dan bangsa. Tak hanya itu kesuksesan keluarga membina generasi pemimpin akan membawa pengaruh pada pembentukan peradaban dunia.
Memang benar dalam islam, negara Khilafah memang tidak boleh mencampuri urusan privasi keluarga. Namun, negara senantiasa memastikan setiap anggota keluarga mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik. Hal ini akan dilakukan negara melalui serangkaian mekanisme kebijakan yang lahir dari hukum syariat. Sebagai pengurus rakyat, Khilafah harus menjamin kesejahteraan, keamanan dan keadilan keluarga dengan penerapan aturan islam kaffah. Jaminan terbukanya lapangan pekerjaan yang luas, kesehatan dan pendidikan gratis akan di berikan negara. Peran perempuan sebagai Ummu warabbatul bait pun akan sangat optimal dalam Khilafah. Ibu tidak akan dibebani kewajiban mencari nafkah atau dieksploitasi demi mengaktualisasikan diri. Muslimah sebagai pembina generasi akan begitu dimuliakan masyarakat dan negara. Sebab, itulah peran politis dan strategis muslimah. Selain itu, negara Khilafah juga akan mengedukasi masyarakatnya tentang hukum-hukum keluarga. Sehingga, tidak akan lagi kita temui kasus seorang ibu stres dan emosional yang mengorbankan anak yang tak berdosa. Kapankah itu terjadi? Wallahu a’lam.
Views: 8
Comment here