Oleh: Muzaidah (Aktivis Muslimah)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat 1 menegaskan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pasal ini mengandung prinsip bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum tanpa pengecualian.
Namun, dalam praktiknya, keadilan hukum di negeri ini masih jauh dari harapan. Hukum tampak lebih berat bagi rakyat kecil, sementara mereka yang memiliki kuasa dan harta sering kali mendapat perlakuan istimewa. Masalah-masalah yang seharusnya dapat diselesaikan secara kekeluargaan justru sering kali berujung pada proses hukum yang panjang dan merugikan pihak yang lemah.
Salah satu contoh nyata adalah kasus yang menimpa warga Rempang. Reskrim Polresta Barelang, melalui Ajun Komisaris Debby Tri Andrestian, menetapkan tiga warga Rempang sebagai tersangka dalam dugaan penyerangan terhadap petugas PT Makmur Elok Graha (MEG). Insiden ini bermula dari penolakan warga terhadap proyek yang dinilai merampas hak mereka pada Desember 2024. Ketiga warga yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Siti Hawa (67 tahun), Sani Rio (37 tahun), dan Abu Bakar alias Pak Aceh (54 tahun). Mereka dikenakan Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan orang (tempo.co, 07/02/2025).
Padahal, warga Rempang hanya berusaha mempertahankan hak mereka atas tanah yang telah lama mereka tempati. Mereka memiliki hak untuk menolak penggusuran yang dilakukan tanpa persetujuan, tetapi justru mereka yang dijerat hukum. Kejadian ini menunjukkan betapa hukum sering kali berpihak pada kepentingan pemodal besar dibandingkan rakyat kecil.
Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan dengan tegas bahwa ia tidak akan membiarkan aparat hukum bertindak semena-mena. Dalam peringatan Hari Lahir ke-102 Nahdlatul Ulama di Jakarta Pusat, ia mengatakan, “Saya ingatkan semua aparat, kesetiaanmu adalah pada rakyat dan bangsa Indonesia. Kalau tidak setia, saya akan tindak saudara sekalian. Saya berharap ada kesadaran aparat, seluruh institusi, bersihkan dirimu sebelum kau dibersihkan!” (tirto.id, 05/02/2025).
Pernyataan tersebut memang terdengar tegas, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketidakadilan hukum masih terjadi. Kasus Rempang hanyalah satu dari sekian banyak contoh bahwa ketegasan pemerintah belum sepenuhnya memberikan dampak positif bagi rakyat kecil.
Berdasarkan survei, sekitar 41,6% masyarakat menilai bahwa penegakan hukum di Indonesia dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo berjalan positif. Namun, angka ini juga mengindikasikan bahwa lebih dari separuh masyarakat masih merasa bahwa sistem hukum belum bekerja dengan baik. Fenomena “no viral, no justice” di mana kasus baru mendapatkan perhatian serius setelah menjadi viral menjadi bukti bahwa hukum di negeri ini masih belum tegak secara adil.
Kasus korupsi yang melibatkan Harvey Moeis juga mencerminkan ketimpangan dalam sistem hukum. Awalnya, ia hanya divonis 6,5 tahun penjara, tetapi setelah desakan publik yang besar, hukumannya ditingkatkan menjadi 20 tahun. Namun, pertanyaannya, apakah hukuman tersebut benar-benar akan dijalankan dengan adil? Dalam sistem demokrasi-kapitalis yang berlaku saat ini, hukum sering kali tebang pilih lembut terhadap kalangan elite, tetapi keras terhadap rakyat kecil.
Sistem demokrasi yang mengutamakan kepentingan pemilik modal telah melahirkan berbagai praktik korupsi, suap, dan kolusi. Kezaliman ini muncul akibat penerapan sistem sekuler yang meniadakan peran agama dalam hukum. Banyak aparat yang merasa tidak diawasi oleh Tuhan, sehingga mereka mengambil keputusan hanya berdasarkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Ketika sistem hukum sekuler diterapkan, keadilan menjadi sulit dicapai. Hukuman yang dijatuhkan tidak selalu memberikan efek jera, dan kejahatan terus meningkat. Korupsi semakin merajalela, sementara rakyat kecil terus menjadi korban ketidakadilan.
Sistem Islam sebagai Solusi Keadilan
Berbeda dengan sistem sekuler, Islam menetapkan hukum berdasarkan syariat yang berasal dari Allah Swt. Hukum ini tidak dapat diubah oleh kepentingan manusia, sehingga keadilan dapat ditegakkan tanpa pandang bulu. Dalam Islam, baik pemimpin maupun rakyat wajib tunduk pada hukum yang berlaku. Tidak ada diskriminasi antara orang kaya dan miskin, serta tidak ada celah bagi praktik korupsi dan kolusi.
Islam juga tidak mengizinkan perampasan hak rakyat. Jika suatu tanah telah dimiliki dan dikelola dengan baik oleh seseorang atau komunitas, negara tidak boleh mengambilnya secara paksa. Prinsip ini bertentangan dengan praktik yang sering terjadi dalam sistem sekuler, di mana pemodal besar dapat dengan mudah mengambil tanah rakyat dengan dalih pembangunan.
Ketika hukum Islam diterapkan, keadilan akan terwujud karena sistem ini didasarkan pada ketakwaan. Takwa membawa keberkahan, sementara ketidakadilan hanya akan mendatangkan kehancuran. Rasulullah saw. Pernah mengingatkan tentang bahaya ketidakadilan dalam penegakan hukum.
Beliau bersabda, “Orang-orang sebelum kalian menjadi binasa karena saat ada orang dari kalangan terhormat mencuri, mereka membiarkannya. Namun, saat ada orang dari kalangan rendah mencuri, mereka menegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.” (HR. Al-Bukhari).
Hadis ini menunjukkan bahwa dalam Islam, hukum harus ditegakkan secara adil tanpa memandang status sosial seseorang.
Oleh karena itu, hanya sistem Islam yang dapat menjamin keadilan sejati. Sistem ini telah diwariskan oleh Rasulullah saw. Dan diterapkan oleh para sahabat, terbukti mampu menciptakan masyarakat yang adil, tenteram, dan sejahtera.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). [WE/IK].
Views: 7
Comment here