Oleh Siti Alfina, S. Pd (Aktivis Muslimah)
Ketika hukum bisa dimanipulasi maka dipastikan kehancuran akan menanti. Saat keadilan dizalimi bisa dipastikan kebinasaan akan menanti. Saat penegak keadilan mengkhianati bisa dipastikan azab Allah akan menghampiri.
Wacana-edukasi.com — Problem peradilan di Indonesia masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah untuk diselesaikan oleh para penegak hukum. Adanya dilema peradilan ini menjadikan rasa keadilan itu sesuatu hal yang sulit untuk didapatkan bagi pencari keadilan.
Hukum yang pada hakikatnya dibuat untuk mencegah warga dari tindakan kejahatan dan kezaliman, justru menjadi binasa ketika berubah menjadi ‘pasar’ yang seolah dapat diperjualbelikan. Akibatnya, keputusan pengadilan sering tunduk terhadap pihak-pihak yang mampu menawarkan harga lebih tinggi.
Baru-baru ini masyarakat kembali dipertontonkan adegan ‘matinya keadilan’ negeri ini. Dalam persidangan di PN Jakarta Timur, Kamis (24/6/2021), Majelis Hakim yang diketuai Khadwanto, SH yang mengadili Habib Rizieq Shihab (HRS) telah menjatuhkan vonis bersalah dengan hukuman 4 tahun penjara dalam kasus berita bohong serta mengakibatkan keonaran terkait hasil swab test di Rumah Sakit Ummi, Bogor (Detiknews, 25/06/2021).
Jika ditelisik secara bahasa, makna dari keonaran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keributan, kebisingan, keriuhan, kegemparan, kerusuhan.
Jika keonaran yang dimaksud seperti itu pasti akan menimbulkan korban dan keresahan di masyarakat. Lantas adakah korban yang dirugikan dengan kasus HR5 ini?
Walaupun pernyataan ini sudah dibantah oleh yang bersangkutan dan dibela oleh pengacara, para saksi fakta, saksi pidana serta saksi ahli sosiologi yang dihadirkan dalam persidangan tetap saja vonis diketok palu oleh hakim.
Vonis yang Ironis
Putusan vonis penjara 4 tahun terhadap HR5 ini telah menimbulkan kritikan dan komentar tajam di publik dari berbagai kalangan masyarakat.
Menurut saksi ahli Sosiologi, Musni Umar menyatakan pada awalnya kasus yang dituduhkan kepada HR5 sehingga menyeret beliau ke pengadilan sudah melanggar prinsip equality before the law (kesamaan di depan hukum). Setiap persoalan yang merugikan masyarakat baik bermotif pidana atau perdata dibawa ke ranah hukum untuk mendapatkan keadilan. Sementara kasus HR5 ini dilakukan aparat penegak hukum diduga keras untuk memenjarakan beliau (Arahjaya.com, 25/06/2021).
Kritikan juga dilontarkan dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, beliau menilai vonis tersebut tidak adil dan sangat menggelikan hanya gara-gara kasus swab test, unggah beliau di video YouTube pribadinya Fadli Zon Official
(Detiknews.com, 25/06/2021).
Hal yang sama juga datang dari Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI KH Muhyiddin Junaidi sangat menyayangkan vonis hakim ini. Beliau menilai putusan ini penuh dengan muatan politis, mencerminkan ketidakadilan, sangat zalim dan terlalu dipaksakan sehingga harus ditolak, tandasnya dikutip dari suaraislam.id (24/06/2021).
Mengapa kritikan ini bermunculan? Apakah masyarakat merasa gelisah dari putusan ini? Benar saja, masyarakat menilai putusan ini sudah mencederai dan melukai rasa keadilan. Jika adegan seperti ini terus dipertontonkan maka akan berpotensi hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap peradilan negeri ini yang mengaku sebagai ‘negeri hukum’.
Ketika Keadilan Diperlakukan Tidak Adil
Terkait vonis Majelis Hakim tersebut justru menimbulkan keonaran dan kegelisahan di tengah masyarakat. Vonis ini terlalu berlebihan, pasalnya jika aparat hukum benar-benar ingin menegakkan hukum demi mewujudkan keadilan dan kebenaran terkait pelanggaran aturan covid, akan banyak sekali masyarakat yang ditindak dan dibawa ke pengadilan. Barangsiapa yang melanggar prokes siap-siap untuk diproses. Faktanya tidak satu pun berita mencuat ke meja hijau selain beliau.
Kegaduhan pun kembali diperlihatkan tatkala hukuman tak masuk nalar terkesan tebang pilih. Kasus berita bohong lebih berat hukumannya ketimbang kasus pidana lainnya seperti kejahatan perampokan harta rakyat, koruptor, narkoba, pembunuhan dll.
Kasus Jaksa Pinangki misalnya, yang terbukti bersalah menerima suap USD 450 ribu dari Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa MA, melakukan tindak pidana pencucian uang serta pemufakatan jahat. Kasus yang beruntun sedemikian jahat dan jelas merugikan negara ini justru mendapatkan pemotongan hukuman dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Masih banyak lagi fakta yang terjadi mendapatkan perlakuan yang sama dari aparat penegak hukum. Bahkan ada yang sampai bebas dari jerat hukuman walaupun kejahatannya menggunung.
Lagi-lagi hal ini semakin mencederai rasa keadilan masyarakat dan semakin menunjukkan muka dua peradilan di Indonesia. Ketidakadilan yang terjadi menjadi pemandangan khas yang dapat disaksikan oleh siapa pun.
Sejatinya problem peradilan yang berlaku di negeri ini terletak pada sistem peradilan itu sendiri. Yaitu diberlakukannya peradilan sekuler. Di mana peradilan sekuler memikiki model pengadilan yang berjenjang dan berbelit-belit, tidak efisien, menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya sehingga memberikan peluang kemenangan lebih besar bagi pemilik modal. Mengandung banyak kelemahan, rentan untuk dipermainkan dan bisa diatur sesuai kepentingan. Akhirnya peradilan menjadi celah yang menguntungkan para mafia peradilan.
Jadi, wajar saja kalau hukum peradilan lebih dikenal dengan istilah ‘tumpul ke atas tajam ke bawah’ atau ‘lemah untuk pejabat tegas untuk rakyat’, akibatnya menghasilkan ketidakadilan yang sistematis.
Ketidakadilan Pangkal Kebinasaan
Ketika hukum bisa dimanipulasi maka dipastikan kehancuran akan menanti. Saat keadilan dizalimi bisa dipastikan kebinasaan akan menanti. Saat penegak keadilan mengkhianati bisa dipastikan azab Allah akan menghampiri.
Allah ﷻ berfirman :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah : 8)
Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa adil itu dekat dengan takwa. Sebaliknya tidak adil berarti jauh dari takwa. Takwa menghadirkan keberkahan dari langit dan bumi. Sebaliknya ketidaktakwaan menghilangkan keberkahan.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya :
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS. Al-A’raf ayat 96)*
Jelas sekali bagi kita, ketidakadilan hukum melahirkan kebinasaan. Siapa pun di antara kita yang mereguk nikmat di atas ketidakadilan berarti sama saja meridai dan menghendaki datangnya kebinasaan bagi kita. Na’udzubillahi min dzalik.
Keadilan harus ditegakkan seadil-adilnya seperti yang pernah dicontohkan Rasulullah ﷺ. Dalam salah satu khotbahnya, beliau mengingatkan tentang salah satu pemantik kebinasaan kaum terdahulu sebagai berikut :
“Orang-orang sebelum kalian menjadi binasa karena saat ada orang dari kalangan terhormat (pejabat, penguasa, elit masyarakat) mencuri, mereka membiarkannya dan saat orang dari kalangan rendah (masyarakat rendahan, rakyat biasa) mencuri, mereka akan menegakkan sanksi hukuman atasnya. Demi Allah, andai Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.” (HR Al-Bukhari)*.
Ketegasan itulah yang dicontohkan Rasulullah ketika menegakkan hukum di atas kesalahan yang terjadi. Tidak memihak, menzalimi bahkan mengkhianati. Karena beliau meyakini bahwasanya hukum hanyalah milik Allah.
Tidakkah kita merindukan keadilan yang amat teliti ini?
Wallahu a’lam bi ashawab
Views: 89
Comment here