Opini

Kebahagiaan dalam Konsumsi, Solusi atau Ilusi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Ummu Nazriel (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Wacana-edukasi.com, OPINI–Kondisi ekonomi Indonesia pasca-Lebaran 2025 menunjukkan gejala yang tidak menggembirakan. Banyak pihak, mulai dari pelaku usaha kecil hingga pedagang besar, mengeluhkan menurunnya daya beli masyarakat. Fenomena ini terjadi bukan hanya di daerah-daerah, tetapi juga di pusat perdagangan nasional seperti Jakarta.

Para pedagang di kawasan Tanah Abang, yang dikenal sebagai pusat grosir terbesar di Asia Tenggara, bahkan mengakui bahwa situasi tahun ini jauh lebih sepi dibanding tahun-tahun sebelumnya. “Sepi, bahkan lebih parah dari tahun lalu,” ujar seorang pedagang sebagaimana dilaporkan Metro TV(www.metrotvnews.com).

Lemahnya daya beli masyarakat tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor. Kenaikan harga kebutuhan pokok, tarif listrik, BBM, hingga tarif layanan kesehatan dan pendidikan menjadi beban berat bagi keluarga menengah ke bawah. Tidak hanya itu, kondisi global yang tidak menentu juga berdampak pada melemahnya ekspor dan investasi, yang pada gilirannya menurunkan kesempatan kerja. Banyak perusahaan melakukan efisiensi, termasuk dengan memutus hubungan kerja karyawan. Akibatnya, masyarakat kehilangan penghasilan, dan kondisi finansial rumah tangga menjadi semakin tidak stabil.

Dalam kondisi seperti ini, masyarakat cenderung mencari cara instan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu cara yang dianggap “mudah” adalah dengan berutang melalui skema pembayaran digital yang dikenal sebagai “paylater”. Saat ini, layanan paylater sangat marak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Bahkan menurut data yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), utang paylater masyarakat di perbankan saja telah mencapai Rp21,98 triliun per Februari 2025. (kompas.com/read/2025/04/12)

Angka-angka ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah sangat tergantung pada utang untuk membiayai konsumsi sehari-hari. Hal ini juga diperkuat oleh pengamatan media seperti RRI, yang melaporkan bahwa setelah Lebaran, banyak masyarakat di berbagai wilayah harus berpikir keras untuk bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga (rri.co.id/daerah).

Namun, persoalan tidak berhenti pada angka-angka dan fakta ekonomi semata. Di balik fenomena ini terdapat masalah yang lebih dalam, yaitu sistem kehidupan yang membentuk cara pandang dan perilaku masyarakat.

Sistem kapitalisme sekuler yang diadopsi oleh negara telah menciptakan budaya konsumtif yang sangat kuat. Dalam sistem ini, kebahagiaan diukur dari kepemilikan materi. Seseorang dianggap sukses jika mampu membeli barang-barang mahal, mengikuti tren, dan hidup mewah. Inilah yang mendorong masyarakat untuk terus berbelanja, bahkan demi mencukupi gaya hidup mereka tidak segan untuk berutang.

Paylater menjadi alat yang sangat efektif dalam mendukung budaya konsumerisme ini. Iklan-iklan digital yang menggoda, fitur belanja yang instan, dan kemudahan transaksi online mendorong masyarakat untuk membeli tanpa berpikir panjang.

Ironisnya, banyak dari layanan paylater tersebut menerapkan skema berbasis riba, yakni ada bunga atau denda keterlambatan pembayaran. Praktek ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam, yang secara tegas mengharamkan riba dalam bentuk apapun. Allah SWT berfirman dalam Alquran: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Beban utang yang makin besar akibat penggunaan paylater bukan hanya membuat masyarakat makin tercekik secara ekonomi, tetapi juga menjerumuskan mereka dalam dosa. Hidup yang penuh utang adalah hidup yang jauh dari ketenangan. Rasulullah SAW pun mengingatkan dalam sabdanya bahwa orang yang berutang cenderung berdusta dan mengingkari janji. Hal ini menunjukkan bahwa utang bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan moral dan spiritual.

Sistem Islam menawarkan solusi menyeluruh atas berbagai persoalan ini. Dalam Islam, negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat, baik berupa pangan, papan, maupun sandang. Negara juga menjamin layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan secara gratis atau terjangkau. Islam melarang praktik riba dan menutup semua celah yang mengarah pada konsumerisme yang berlebihan. Budaya hidup sederhana, kesadaran akan tanggung jawab di hadapan Allah, dan orientasi hidup yang tidak semata materi, menjadi prinsip hidup dalam masyarakat Islam.

Negara Islam atau Khilafah, dalam sistemnya, memiliki sumber pemasukan tetap yang sah secara syariat, seperti fai, kharaj, jizyah, ghanimah, serta hasil pengelolaan sumber daya alam yang merupakan milik umum. Dengan pengelolaan yang amanah dan adil, negara tidak hanya mampu menjamin kesejahteraan rakyat secara individu per individu, tetapi juga mampu membentuk masyarakat yang kuat secara spiritual. Dalam sistem ini, masyarakat tidak akan dibiarkan terjerumus dalam jebakan utang hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa krisis daya beli, maraknya utang paylater, dan budaya konsumtif yang tidak terkendali adalah buah dari sistem sekuler kapitalisme yang gagal. Sistem ini membentuk pola pikir yang salah dan mendorong masyarakat untuk menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang bersifat duniawi dan fana. Solusi jangka pendek seperti subsidi atau relaksasi utang hanya bersifat tambal sulam. Yang dibutuhkan adalah perubahan sistemik menuju penerapan Islam secara kaffah.

Dengan kembali kepada sistem Islam yang menyeluruh, masyarakat akan dibentuk menjadi pribadi yang bertakwa, negara akan berperan aktif dalam menjamin kesejahteraan, dan nilai-nilai kemanusiaan akan dikembalikan pada tempat yang semestinya. Bukan dengan menjadikan manusia sebagai target pasar yang dieksploitasi, tetapi sebagai makhluk mulia yang memiliki hak untuk hidup layak, bermartabat, dan diridhai oleh Allah SWT.[WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 2

Comment here